Oleh; Bahren Nurdin, MA
Empat tahun silam (November 2013), saya sudah menulis sebuah artikel yang berjudul “Caleg Perempuan; Antara Quota dan Kualitas”. Tulisan ini dimuat di beberapa media, baik cetak maupun online dan dapat ditelusuri di blog pribadi saya www.bahren13.wordpress.com. Untuk menyegarkan ingatan, saya mengutip beberapa pokok pikiran tulisan tesebut.
“Undang-undang No. 8 Tahun 2012 yang dipertegas di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 7 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota Legislatif mengamanatkan 30% keterwakilan perempuan. Ini artinya ada kehendak Negara untuk meningkatkan partisipasi politik kaum hawa dengan menambah keberadaannya (political presence) sehingga diharapkan dapat ikut serta memberikan sumbangan ide (political ideas) dalam berbagai kebijakan”.
“Logika yang dibangun oleh Undang-Undang ini tentu sangat sederhana bahwa semakin banyak jumlah (30%) kehadiran perempuan dalam parlemen maka akan semakin banyak sumbangan ide yang diberikan dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat. Bahkan logika ini lebih disederhanakan lagi dengan cara ‘yang penting banyak dulu’”.
“Untuk menghadapi Pemilu Legislatif 2014 mendatang, fakta yang terjadi hari ini, karena yang dikejar pemenuhan quota 30% keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif baik pusat maupun daerah, partai politik cenderung tidak selektif dalam menempatkan perempuan-perempuan wakil mereka. Bahasa sederhananya, main ‘comot’ yang penting quota terpenuhi.”
“Menurut saya pemenuhan quota (political presence) tidak berbanding lurus dengan sumbangan ide (political idea) yang diberikan. Bahasa lebih sederhananya, banyak jumlahnya belum tentu banyak manfaatnya. Tegasnya, lebih baik tidak perlu memaksakan pemenuhan quota 30% tetapi menempatkan perempuan-perempuan berkualitas di parlemen ketimbang banyak tapi ‘melempem’”
Jadi, jika sekarang muncul Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 yang tidak lagi ‘memaksa’ adanya 30% jumlah keterwakilan perempuan di partai politik, empat tahun silam sudah saya suarakan melalui artikel di atas. Pandangan saya rasanya sangat tegas, kita butuh kualitas bukan sekedar kuantitas!
Inilah tantangan bagi para politisi perempuan pada pileg 2019 mendatang. Masihkah ada kaum perempuan yang naik panggung dan ‘mewarnai’ gedung-gedung dewan di negeri ini? Itulah yang saya sebut ‘perempuan istimewa tanpa hak istimewa’.
Kita sedang mencari perempuan-perempuan yang ‘istimewa’ ini. Bukankah UU No 7, tahun 2017 ini secara positif memberikan keistimewaan yang luar biasa untuk menumbuhkan kepercayaan diri para politisi perempuan untuk membuktikan diri bahwa mereka hadir bukan karena ‘dikasihani’ atau diberi ‘jatah’ oleh undang-undang. Tanpa jatah mereka tampil!
Ini baru kesetaraaan sesungguhnya. Saya yakin, politisi perempuan yang benar-benar membekali diri dengan kualitas yang baik, tidak akan gentar dengan dihilangkannya kewajiban 30% keterwakilan prempuan dalam undang-undang ini. Mereka yang berkualitas akan mempu ‘melintas batas’!
Undang-undang ini juga harus dijadikan motivasi bagi politisi perempuan tanah air untuk membuktikan kepada bangsa ini bahwa mereka bisa tampil tanpa harus ‘merengek’. Jika perlu, buktikan pada pileg 2019 mendatang jumlah perempuan yang hadir di parlemen lebih dari 30%. Saatnya politisi perempuan betul-betul menempa diri dengan memperkaya ilmu dan pengalaman. Ingat, alam akan dengan mudah melakukan seleksi. Seleksi alam lebih ‘nyata’ dari seleksi adminstratif.
Akhirnya, para perempuan tidak perlu ‘baper’ jika ‘jatah’ kehadiran mereka tidak dipertegas 30% pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017. Saatnya membuktikan diri bahwa tanpa ‘quota’ pun masih bisa eksis. Saatnya berjuang dan menjadi perempuan-perempuan istimewa. Jadilah istimewa tanpa hak istimewa! #BNODOC259172017
*Akademisi UIN STS dan Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi [KOPIPEDE] Provinsi Jambi
Discussion about this post