Tahun 2003, setelah menamatkan strata satu di Univeristas Gadjah Mada, adalah momentum awal saya mengabdikan diri untuk Indonesia. Menjadi guru adalah cita-cita mulia yang sudah tertanam sejak saya di bangku Sekolah Menengah Atas. Membuat orang lain pintar dan cerdas adalah kepuasan bathin yang tidak ternilai dengan apa pun. Maka sejak itulah saya memutuskan jalan hidup sebagai tenaga pengajar. Itulah peranku yang ingin dipersembahkan sampai akhir hayat, insya Allah. Guru yang berarti gu artinya kegelapan, dan ru artinya terang benderang. Guru adalah seseorang yang membuat sesuatu yang gelap menjadi jelas. Bukankah itu pula yang diamanatkan UUD 1945 yaitu ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Saya harus berperan dan mengambil bagian.
Saya memulai pengabdian kepada bangsa ini sebagai guru honorer di SD N 47 Kota Jambi; guru Bahasa Inggris. Mengajar kelas satu sampai kelas enam. Sangat menyenangkan ketika melihat anak-anak SD mulai belajar bahasa Inggris. Namun tantangan terbesar yang saya hadapi bukan semata pada pengajarannya, namun lebih pada mencari cara dan merubah paradigma siswa bahwa Bahasa Inggris itu menyenangkan. Saya hanya tidak ingin pengalaman buruk saya dalam belajar Bahasa Inggris ketika di SMP terulang pada anak-anak murid saya. Ketika SMP saya adalah orang yang paling takut dengan pelajaran Bahasa Inggris. Saya mencoba membuat pelajaran bahasa Inggris sesuatu yang mudah dan menarik. Ketika guru-guru lain masih berkutat dengan text book yang tersedia, saya sudah memanfaatkan multi media dalam mengajar. Saya sudah mengenalkan metode-metode pengajaran yang tersedia di dunia maya, internet. Saya membawakan gambar-gambar yang menarik dan nyanyian-nyanyian yang mengasikkan bagi anak-anak.
Menjadi guru adalah cara terindah untuk menikmati keunikan-keunikan manusia ciptaan Allah. Tingkah polah para murid menjadikan guru terus berkembang karena ia harus belajar mengajarkan dan memahami. Pengalaman saya selanjutnya adalah mengajar di level sekolah menengah atas. Saya mengajar bahasa Inggris di Madrasah Aliyah Laboratorium (MAL) Kota Jambi. Lain anak SD tentu lain pula anak SMU. Selain mengajar Bahasa Inggris, di sekolah ini saya mulai tertarik dengan ‘pembentukan’ karakter siswa. Saya diberi kepercayaan sebagai Pembina Osis. Menjadi Pembina Osis merupakan tantangan baru dalam mengabdikan diri untuk bangsa ini. Tidak mudah memahami dan membina para remaja yang sedang menjadi jati diri.
Tugas terberat adalah ‘meluruskan’ bagi mereka yang terlanjur memilih jalan ‘bengkok’. Tidak sedikit dari mereka yang sudah terbiasa merokok, menindas adik kelas, alkohol, dan sebagainya. Pengalaman tidak terlupakan ketika harus berlari mengejar siswa sampai harus memanjat pagar. Paling tidak dihabiskan waktu satu tahun untuk menikmati hasilnya. Di masa itu, saya berhasil mengangkat prestasi siswa di berbagai bidang khususnya kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler. ‘kejahatan-kejahatan’ yang mereka lakukan dapat dialihkan kepada hal-hal yang positif. Beberapa tahun kemudian, para ‘pendekar-pendekar’ itu datang dan mengucapkan terima kasih dengan kisah-kisah sukses mereka masing-masing. Begitulah indahnya mengajar dan mendidik. Masih ingat di kurun waktu itu, tiada hari tanpa memberi motivasi. Menyadarkan mereka akan masa depan. Membangkitkan semangat mereka akan kehidupan yang sesungguhnya.
Tahun 2006, setelah dinyatakan lulus sebagai dosen di IAIN STS Jambi, saya total memasuki dunia kampus, walaupun sebelumnya juga telah tercatat sebagai Dosen Luar Biasa (dosen honor). Pengajaran, Penelitian, dan Pengabdian pada Masyarakat (Tridarma Perguruan Tinggi) adalah rel istimewa sebagai akademisi. Namun ternyata tidak pula seindah yang dibayangkan. Di awal 2006 saya sempat mengalami kekecewaan akan dunia kampus di IAIN STS Jambi. Saya tidak menemukan hiruk pikuk akademis. Yang terjadi malah pertembungan perebutan kekuasaan oleh orang-orang akademis itu sendiri. Mereka sibuk rebutan mobil dinas pelat merah. Seminar, menulis, jurnal, loka karya, penelitian, seakan tenggelam ditelan politik praktis kampus; dari dosen hingga mahasiswa. Euporia pemilihan rector langsung sedang terjadi. Saya mencari ‘dunia’ sendiri.
Jika jadi dosen saya hanya mengajar di kelas, lebih baik kembali mengajar di sekolah saja. Maka kemudian saya mendirikan Pusat Studi Humaniora (PSH). Dengan lembaga ini kemudian saya bersama-sama mahasiswa mengadakan berbagai kegiatan akademis. Mengadakan kajian dan seminar setiap hari jumat. Mengadakan pooling dan jajak pendapat. Bedah buku, dan lain sebagainya. PSH kemudian mendapat tempat tersendiri di kalangan mahasiswa dan segelintir kaum akademisi IAIN STS Jambi. Keberhasilan puncak PSH adalah semua seminar yang dilakukan oleh PSH dianggap seminar Fakultas sehingga memudahkan dalam proses akreditasi yang dilakukan oleh BAN-PT. Namun, perjalanan PSH tidak semulus yang diinginkan. PSH tidak mendapat legalitas dari kampus. Akhir tahun 2014 lalu PSH benar-benar ‘dibunuh’ dengan tidak diberikannya ruangan apa pun untuk PSH. Melalui PSH saya setidaknya telah berbuat untuk bangsa ini.
Menjadi guru memang tidak mengenal waktu dan tempat. Kapan saja dan di mana saja. Begitu juga pengabdian pada negeri ini tidak boleh dihalangi oleh siapa pun. Lihatlah para pejuang yang tidak mengenal lelah untuk tetap di jalan perjuangan mereka. Saya pun tidak akan pernah bisa dihentikan. Saya kemudian merubah haluan dengan berfokus pada seminar motivasi pendidikan. Saya mengembangkan diri dengan menambah ilmu di bidang Hypnosis. Kemudian saya dikenal sebagai motivator hypno-motivation dan hypno-teaching. Melalui seminar-seminar ini pula saya menyampaikan pesan kepada banyak orang bahwa bangsa ini harus kita jaga dan kita pelihara. Telah banyak pula guru dan orang tua yang mendapat manfaat dari seminar-seminar yang saya berikan.
Bentuk lain pengabdian yang dapat saya sumbangkan untuk bumi pertiwi ini adalah di bidang dunia tulis menulis. Saya telah berhasil menginisiasi pembentukan Forum Penulis Opini Jambi yang diberi nama PELANTA. Melalui opini-opini yang saya sampaikan di surat kabar, saya menyumbangkan ide dan pemikiran untuk kemajuan bangsa ini, khususnya di Provinsi Jambi. Pesan ‘menegakkan’ kebenaran, terkadang memang penuh resiko. Resiko terberat dari tulisan yang pernah saya muat di sebuah surat kabar lokal adalah saya diharamkan mendapat beasiswa dari Provinsi semasa S2 karena dianggap terlalu vocal dan bertentangan dengan keinginan penguasa waktu itu. Bagi saya, kebenaran dan kejujuran adalah harga mati yang harus dijunjung tinggi untuk negeri ini. Siapa pun yang melawan itu, harus dibumi hanguskan.
Memang belum banyak yang dapat saya sumbangkan untuk negeri ini. Belum sebesar debu bakti untuk bumi pertiwi. Namun tekad terus membulat hingga nanti akhir hayat. Pengabdian tidak akan pernah berhenti. Dengan memperoleh pengetahuan tambahan sebagai Doktor yang dibiayai oleh beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) ini, saya optimis akan menambah ‘kekuatan’ pengabdian pada negeri ini. Semoga.
Discussion about this post