Oleh: Bahren Nurdin, MA
Lambaga Adat Melayu (LAM) Kota Jambi akhirnya bersuara menanggapi penggunaan Lacak (pengikat kepala khas Melayu Jambi) yang saat ini sedang menjadi ‘trend’ di tengah masyarakat. Penggunaan Lacak secara luas ini awalnya dilakukan oleh Gubernur Jambi. Lacak kemudian benar-benar ‘booming’ bahkan sampai-sampai hampir seluruh pejabat mengenakan pengikat kepala ini di berbagai acara baik resmi maupun tidak resmi. Gubernur pun telah menggunakannya di berbagai acara resemi nasional.
Namun saat ini terjadi dua kutub yang berseberangan. Gubernur dengan percaya diri ingin memasyarakatkan benda budaya ini, di sisi lain Lembaga Adat Melayu Kota Jambi menolak karena dikhawatirkan akan menghilangkan marwah keagungan benda budaya tersebut. Hal ini semakin memuncak ketika Wali Kota Jambi berada pada salah satu kubu. Jadilah saat ini ‘perang’ dingin Gubernur dan Wali Kota tentang pemakaian Lacak.
Masing-masing pihak memiliki alasan. Pemakaian Lacak sebagai penghias kepala laki-laki Jambi merupakan bagian dari upaya Gubernur untuk meningkatkan perekonomian rakyat dengan visi dan misi Jambi Tuntas 2021. “Salah satu program kita (Pemprov Jambi) mendorong UMKM, biasanya Jambi punya batik dan sekarang kita kembangkan lagi dengan Lacak,” (detiknews.com). Untuk mencapai tujuan ini, sampai-sampai Gubernur menyerukan ASN di lingkungan Provinsi Jambi untuk menggunakan Lacak pada hari-hari tertentu.
Di lain pihak, Wali Kota Jambi menanggapi ringan ajakan Gubernur untuk mengenakan Lacak tersebut, “Kita akan koordinasi terlebih dululah sebelum menggunakan,” (imcnews.id). Hal ini kemudian dipertegas oleh Ketua LAM Kota Jambi sesaat setelah pengukuhan dirinya sebagai Ketua LAM Kota Jambi periode 2017-2011. Ketua LAM terpilih menegaskan pemakaian Lacak tidak boleh dalam keseharian karena ia hanya digunakan acara-acara resmi adat, “Orang adat tidak pernah memakai yang tidak tau arti dan maknanya. Pakaian adat yang saya pakai ini hanya dipakai pada acara resmi, seperti musyawarah adat, mengiring rajo satu hari, pemberian gelar adat, menerima tamu kehormatan dari negara dan manca negara” (infojambi.com)
Jadilah kini masyarakat yang kebingungan melihat para pemimpin mereka ‘berperang’. Lebih bingung lagi para Aparatur Sipil Negara (PNS) di lingkungan Pemerintah Kota Jambi. Gubernur menginstruksikan agar mereka mengenakan Lacak, sementara Wali Kota tidak mengindahkannya. Simala kama, dimakan mati bapak, tidak dimakan mati emak!
Semestinya ‘perang’ ini tidak perlu dipertontonkan kehadapan publik. Bukankah Seloko Adat Jambi telah mengatakan;
Duduk seorang bersempit-sempit
Duduk bersamo berlapang-lapang
Kato seorang kato bepecah
Kato besamo kato mufakat
Agaknya inilah yang tidak lagi digunakan oleh para pemimpin di negeri Jambi ini. Mereka lebih memilih untuk mencari ‘kato seorang’ yaitu dengan mengedepankan ego dan kepentingan masing-masing. Padahal sudah sangat jelas dampaknya; ‘kato bepecah’. Persitegangan semacam ini hanya akan membuat perpecahan di tengah masyarakat. Masyarakat akan semakin terbelah hanya karena pemakaian Lacak. Miris!
Selayaknyalah para pemimpin ini menyediakan diri untuk ‘duduk besamo’ untuk ‘berlapang-lapang’. Artinya, hanya dengan bermusyawarahlah semua solusi dapat diambil. Karena memang hanya dengan mencari ‘kato besamo’ kemudian akan dicapai ‘kato mufakat’.
Di sinilah peran Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Jambi bersama-sama dengan LAM Provinsi memainkan tugas dan fungsinya untuk mendudukkan perkara ini. LAM harus mampu memposisikan dirinya sebagai penengah. LAM tidak pula boleh terseret arus salah satu kubu, apa lagi terbawa kepentingan politik. Tidak boleh! LAM harus benar-benar netral sehingga hal-hal yang berpotensi meresahkan masyarakat dapat diatasi dengan baik dan bijaksana. Dalam masalah Lacak ini, agaknya LAM bisa mengeluarkan semacam aturan mana Lacak yang boleh dipakai harian dan mana yang tidak boleh. Buatlah landasan hukum dan ketentuannya menurut adat atau ‘eco pakai’ yang sesuai. Saya rasa, ini jauh lebih terhormat.
Akhirnya, tentu masyarakat Jambi menginginkan para pemimpin yang dapat mengayomi dan memberi ketenangan bagi mereka. Bukan pula pemimpin yang ‘cerdik membao lebur, pandai membao ancur’. Tidak perlu perang terbuka di tengah masyarakat. Seloko adat Jambi mengatakan “di mano titik di sano ditampung, di mano patah di sano disisip, di mano terbit di sano dituai”. Maknanya, selesaikanlah suatu perkara secara profesional dan proporsional!
#BNODOC21052017
*Akademisi UIN STS Jambi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post