“Terima kasih saudara-saudara sudah datang. Saya….”
”Sebentar, bro. Ini rapat formal atau informal? ”
”Boleh jadi kedua-duanya. Ok. Izinkan saya menyampaikan bebapa hal mengapa kita berkumpul di sini”
”Formal? apa kita punya organisi. ha ha ha ha….”
”Nah itu juga salah satu topik yang akan kita bicarakan hari ini. Lebih baik gak ada organisasi tapi solit, dari pada berorganisasi tapi mandul, ha ha ha…. Tapi pada dasarnya menurut saya……”
”Tapi… sebaiknya mau formal atau tidak, perbincangan ini kita awali dengan baca basmalah dulu. Biar nanti hasilnya diridho’i oleh Allah subhanahuwata’ala”
”Oke pak Ustadz….” semua tertawa….
”Mari kita buka pertemuan ini dengan membaca basmalah” sangat serius.
”Bismillahirrahmanirrahim”
Empat orang mahasiswa itu berkumpul di suatu tempat yang mereka rahasiakan. Masih di seputaran kampus mereka sendiri, tapi tidak tahu pasti di mana. Tidak ada yang tahu kecuali mereka berempat saja. Siapa mereka ini? Agak sulit memberi label kepada mereka. Sebutlah aktivis, tapi mereka tidak mau menyebut diri mereka aktivis. Sebutlah mereka pembesar organisasi kemahasiswaan, tapi mereka tidak tercatat sebagai pengurus. Sebutlah pula mereka pengurus atau pembesar organisasi mahasiswa berbasis kedaerahan. Tidak. Mereka datang dari empat daerah yang berbeda. Atau mereka ini yang tergolong dengan apa yang disebut Sang Pujangga Khairil Anwar sebagai Binatang Jalang?
”Apa saudara-saudara sudah membaca koran hari ini?”
”Malaysia ato Indonesia?”
”Begini Riq, sebelum lebih jauh, saya ingin diperjelas dulu apa yang akan kita bahas pada pertemuan ini? Jadi…” sela Rasyad.
”Oke, saudara-saudara. Saya baru saja dapat informasi akurat bahwa seminar dibatalkan. Info ini akurat dan dapat dipercaya.”
”Apaaa…?” Rasyad dan Joni hampir bersamaan. Sementara Pratomo hanya sedikit mengerutkan kening.
”Apa alasanya? Siapa yang mengambil keputusan pembatalan tersebut? Bagaimana tanggapan KBRI? Siapa saja yang sudah tahu hal ini?” pertanyaan Joni bertubi-tubi. Joni, salah seorang mantan aktivis dari Jakarta. Melanjutkan master di Negeri Melayu ini nyambi sebagai wartawan salah satu media online ternama di Indonesia yaitu menit.com. Kebiasaan wartawan melemparkan pertanyaan bertubi-tubi baru saja ia tunjukkan secara alamiah.
”Itulah makanya saya kemudian mengundang saudara-saudara ke sini. Ini masalah serius. dan…”
”Begini…” potong Joni menyela
”Tunggu bro, saya lanjutkan dulu” balas Eriq memotong
“Dan saya ingin kita membicarakan ini dengan baik sebelum berita ini tersiar ke seluruh mahasiswa Indonesia. Nah saya ingin pendapat saudara-saudara semua. Silakan…” pungkas Eriq
Ke empat peserta rapat ‘gelap’ itu nampak mengerutkan kening. Ya. Keempat-empatnya adalah peserta. Hanya saja karena yang mengundang teman-temannya adalah Eriq, maka dialah yang kemudian memimpin rapat itu. Eriq adalah salah seorang mantan aktivis mahasiswa perguruan tinggi negeri tertua di Yogyakarta. Beberapa perhelatan pergerakan mahasiswa Indonesia periode 1999-2003 pernah diikutinya. Tidak hanya mengikuti, mendesain, dan menysusun starategi pergerakan pun dia pernah. Namun karena beragai alasan dia tidak pernah mau menonjolkan diri. Dia selalu bermain di belakang layar. Dia tidak pernah menjadi korlap atau jabatan apa pun di bagian depan. Yang lebih mengerikan lagi ia pernah berasama-sama aktivis mahasiswa asal Sumatera mempersiapkan Sumatera merdeka, jika Aceh berhasil memeredekakan diri. Tapi lagi-lagi di balik layar. Biasanya jika ia menghadiri rapat-rapat pada masa itu dia lebih cenderung memakai nama samaran yang selalu berubah-rubah. Menyebutkan diri dari fakultas berbeda-beda. Maka jika ditanya kepada aktivis-aktivis seperjuangannya tantang dirinya pasti tidak ada yang kenal. Karena ia memang tidak penah mau dikenali. Gambarnya tidak pernah muncul di halaman koran atau foto-foto kegiatan pergerakan mahasiswa. Sama juga seperti yang ia lakukan hari ini, memimpin rapat terselubung. Bagi dia rapat-rapat seperti ini sudah sangat biasa.
”Apa berita ini datang dari ketua KPI” tanya Pratama sambil mengerutkan kening serius.
”Ya. Riq, dari mana lo dapat informasi ini? Jangan-jangan cuma isu belaka” tambah Joni dengan logat Betawinya yang totok.
”Betul juga, kita harus benar-benar pasti dulu bahwa berita ini syaheh. Sesuai ajaran agama, kita tidak boleh percaya begitu saja terhadap berita yang belum pasti” sambung Rasyad dengan gaya ustadznya yang kental.
”Jadi saudara-saudara meragukan saya?” sanggah Eriq sedikit meninggi
”Ya, kita harus tau pasti dulu Riq. Takut nanti kita sendiri yang kena?”
”Maksud lo apa Jon? Dari awal saya sudah bilang bahwa informasi ini akurat dan saya dapat dari… ”
”Riq…… ” Pratomo mencoba untuk bicara namun seakan di-pause membuat ruangan jadi hening. Tentu saja keheningan ruangan itu tidak sehening isi kepala ‘binatang-biantang jalang’ itu. Para calon master yang dikirim dari berbagai penjuru tanah air Indonesia. Eriq dari Sumatera. Joni dari Jakarta. Pratomo dari Surabaya, dan Rasyad dari Jogja. Mereka adalah generasi yang hidup pada masa peralihan Orde Baru dan Reformasi. Masa peralahin yang menuntut mereka kritis terhadap perkembangan politik Indonesia yang tidak stabil pada masa itu. Mereka adalah api-api yang mengobarkan semangat reformasi.
”Oke, kalau begitu kita ambil jalan tengah. Kita buat dua asumsi. Asumsi pertama, berita ini tidak benar. Asumsi kedua berita ini benar. Nah kita siapkan segala sesuatunya untuk menghadapi kedua asumsi ini, bagaimana?” tanya Pratama yang juga pernah menjabat sebagai presiden mahasiswa di Surabaya.
”Cerdas..!” sambut Joni.
”Saya setuju” jawab Eriq
”Ya bagus juga saya rasa” sahut Rasyad sambil mengelus-elus jenggotnya yang tak seberapa menjembul di dagunya. Rasyad salah saeorang akitvis organisasi mahasiswa keislaman. Organisasi yang membesarkan namanya menjadi mahasiswa muslim sejati.
”Baik, saya rasa opsi pertama tidak perlu kita bahas panjang lebar. Artinya, jika informasi ini tidak benar, maka acara seminar itu akan berjalan sebagaimana mestinya. Dan…”
”Jelas perlu kita bahas juga, Riq. Karena saya dengar KPI mencoba membelokkan isu dan isi seminar tersebut. Dari isu kritis hubungan RI-Malaysia menjadi isu ecek-ecek tentang beasiswa. Lo taulah. Bosan bahas beasiswa terus, yang mendapatkannya hanya orang-orang yang ada koneksi di KBRI atau Dikti. Oiya, saya kemaren bertemu ketua KPI” terang Joni
”Kalau itu persoalannya kita harus panggil ketua panitia dan ketua KPI” sambung Eriq mantap.
”Kita? Emang kita ini siapa? Ada hak apa untuk memanggil ketua KPI?” tanya Rasyad yang membuat ketiga orang lainnya bengong. Sedikit tersenyum dan saling liat satu sama lainnya sebelum kemudian mereka tertawa terbahak-bahak. Dasar mantan aktivis. Mereka lupa bahwa mereka sekarang tidak lagi seperti dulu di tanah air. Lebih-lebih ketika menyadari mereka bukan siapa-siapa di KPI. KPI (Kumpulan Pelajar Indonesia) adalah organisasi mahasiswa khusus bagi pelajar Indonesia yang sedang belajar di luar negeri, di seluruh dunia. Dimana pun ada mahasiswa Indonesia, di sana secara otomatis terbentuk KPI. Malaysia merupakan salah satu negara yang paling banyak terdapat pelajar Indonesia. Ini tentu saja logis mengingat jarak Inodonesia dan Malaysia yang masih bertetangga membuat pelajar Indonesai mudah datang ke negara ini untuk menuntut ilmu walaupun secara kualitas, pendidikan Malaysia dan Indoneisa masih plus minus. Artinya, Malaysia ada lebih dan kurangnya begitu juga Indonesia. Terbukti bahwa mahasiswa Malaysia juga banyak belajar di berbagai universitas di Indonesia. Namun dibanding negara-negara lain, di Malaysia merupakan jumlah terbesar pelajar Indoneisai dan secara otomatis KPI di Malaysia merupakan oraganisasi yang besar karena memiliki anggota yang banyak. KPI seyogyanyalah memiliki peranan strategis dalam menejmbati hubungan Indonesia dan Malaysia, lebih-lebih pada situasi sekarang ini. Hubungan Indonesia dan Malaysia tidak begitu harmonis karena masyarakat Indonesia marah oleh ulah Malaysia yang sering mengklaim harta warisan budaya Indonesia seperti batik, rendang, Reog Ponorogo, sampai ke persoalan perebutan pulau-pulau di perbatasan.
KPI kemudian diharapkan mampu menjadi organisasi intelektual yang akan berkontribusi terhadap kedua negara ini. Itulah kemudian atas prakarsa dari ke empat orang ini KPI bersedia membuat seminar yang membahas hubungan kritis RI-Malaysia tersebut. Tidak tanggung-tanggung, seminar tersebut akan mendudukkan empat menteri sekaligus. Menteri Pertahanan dan Menteri Pariwisata kedua negara. Namun sayang seminar itu sekarang terancam batal. Berbagai rumor pun berkembang di kalangan anggota KPI. Sejauh ini, isu yang beredar bahwa batalnya acara tersebut ditengarai oleh ketidak becusan panitia dan ketua KPI.
”Mengenai pembelokan isu dan isi, saya rasa tidak begitu penting untuk kita bahas sekarang. Jika itu memeng terjadi, bisa kita bahas paling tidak minggu depan. Seminggu sebelum hari H. Maksud saya, bukan bararti tidak penting, tapi saya rasa tepatnya tidak signifikan. Tapi yang monggo, terserah kawan-kawan semua” tanggapan Pratomo. Begitulah jika para aktivis sedang rapat. Kata-kata sapaan sering tidak beraturan, dari saudara-saudara, bro, ente, antum, kawan-kawan, teman-teman, hingga bapak-bapak.
”Saya gak punya bahan tuk bahas opsi ke dua” sela Joni
”Betul, saya tidak mau bersu’uzon. Kita harus pastikan terlebih dahulu apakah betul seminar ini betul-betul dibatalkan. Kita harus selidik. Tidak baik mempercayai isu” Rasyad menyambung Joni.
”Bagaimana kalau pertemuan ini kita tunda 2 hari lagi” tawaran Pratomo. Sekali lagi ruangan itu menjadi hening. Masing-masing sibuk dengan isi kepala sendiri.
”jika itu kepusan kita bersama, why not?” jawab Eriq ringan.
==== OoO===
“Saudara Ketua, saya rasa anda orang yang paling bertanggung jawab atas batalnya seminar ini. Anda tidak be…”
“Sabar saudara-saudara. Kita berkumpul di sini untuk mencari yang terbaik. Bukan untuk saling menyalahkan”
“Apa lagi yang terbaik…? Nothing…! Ketua panitia, mengapa ente diam? Dari awal kami sudah sampaikan. Jika anda tidak sanggup, mundur..! tapi dari awal-awal. Sekarang semua sudah….”
”Tolong juga pahami. Saya sebagai ketua KPI juga menyayangkan hal ini terjadi. Tapi…”
”Dan juga harus bapak-bapak ketahui bahwa seminar ini dibatalkan bukan keputusan saya sebagi ketua panitia, juga bukan ide ketua KPI, tapi adalah hasil keputusan rapat bersama. Seluruh panitia dan dihadiri oleh pengurus KPI dan KBRI. Jadi harap maklum”
”Kita juga harus menyadari bahwa KPI adalah organisasi mahasiswa. Jadi tidak boleh terlalu jauh masuk ke dalam hal-hal yang bersifat politis. Lebih-lebih kita sedang di negeri orang. Kita tidak bisa sebebas kawan-kawan mahasiswa di tanah air. Kita harus mengikuti aturan main negera ini. Dikhawatirkan acara semacam ini bukan membantu menyelesaikan masalah, namun akan….”
”Cukup, Ketua….! Jangan berkhotbah….!”
”Tunggu, saya belum selesai. Biar saya lanjutkan. Kita harus ingat persetegangan RI-Malaysia hanya provokasi media. Kita juga tidak boleh ikut terprovokasi. Kita tidak boleh membantu media memanas-manasi keadaan RI-Malaysia. Saya sebagai ketua KPI…”
”Ketua…..! Mungkin anda benar. Kami faham mengapa anda berpikir semacam itu. Karena anda dibesarkan di negeri feodalistik ini. Anda sedang S1 di sini kan? Wajar. Daya kritis anda telah dibunuh sama persis seperti Inggris membunuh daya kritis orang-orang melayu di negara ini. Coba, mana ada orang-orang kritis berkeliber dunia seperti Soekarno, Ali Alatas, Adam Malik, dll yang muncul dari negeri ini. Mereka hanya bisa manut dan tunduk pada titah Raja, Raja Inggris… Dan anda…”
”Cukup-cukup…. kita harus berdiskusi dengan tenang. Kita cari solusi. Jangan kita memperturutkan syaitan. Kita sesama anak bangsa di sini. Kita harus dahulukan persaudaraan, bukan permusuhan dan perpecahan. Ber-ide dan berargumentasilah dengan sehat dan cerdas. Siapa pun yang ada di negeri ini, kita adalah anak-anak bangsa yang terpilih. Paling tidak, kita harus memberikan wajah lain selain wajah-wajah buruk yang telah ditorehkan beberapa saudara-saudara kita yang menjadi perampok, pemerkosa, pencuri, pembunuh, di negeri ini. Kita para mahasiswa harus menjadi wajah yang menyejukkan….”
“Justru seminar inilah salah satu wadah untuk melakukan itu semua, bro. Tapi…”
“Ok, izinkan aku berbicara. Saudara ketua KPI, ketua panitia dan kawan-kawan. Terus terang saya dan tentunya kami berempat merasa kecewa dengan keputusan ini. Saya sendiri melihat ini adalah kegagalan ketua panitia dan ketua KPI sebagai penanggung jawab. Kemaren terjadi pembakaran bendera Malaysia dan sweeping di Jakarta. Saya menerima beberapa email dari kawan-kawan Malaysia yang kecewa terhadap hal itu. Nah seminar seperti ini paling tidak dapat kita jadikan wadah untuk bicara dari hati ke hati antara Mahasiswa Malaysia dan kita yang ada di sini. Dan untuk saudara-saudara ketahui saya sudah sebarkan undangan ke kawan-kawan saya di beberapa universitas di Malaysia ini khusus untuk pentolan-pentolan mahasiswa. Tapi…”
”KPI tidak lebih dari Kumpulan Pengajian Ibu-Ibu…!” Eriq menyela
”Sabar Bro, saya belum selesai. Ketua, batalnya seminar ini telah mencoreng nama KPI sendiri. KPI telah mempermalukan diri sendiri. Dan ketua harus ingat, ini akan menjadi batu sandungan terbesar untuk LPJ saudara akhir tahun nanti. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, anggot KPI akan mencatat kegagalan saudara. Saya rasa…”
“Sudahlah saya rasa rapat ini tidak perlu dilanjutkan lagi. Karena kita sudah sama-sama mendengar bahwa keputusan akhir sudah diambil oleh kawan-kawan pengurus KPI dan panitia untuk membatalkan seminar ini. Seabiknya kita bubar saja. Selamat kepada KPI yang sudah menjadi Kumpulan Pengajian Ibu-Ibu…”
Begitulah cuplikan rapat yang hampir kacau balau tersebut. Hasilnya pun tidak menentu. Ketua KPI dan Ketua Panitia beserta perwakilan lainnya yang hadir tidak bisa berbuat banyak menghadapi kekecewaan para pemerkarsa seminar tersebut, khususnya Eriq yang paling emosional diantara teman-temannya yang lain. Mungkin ia tidak terbiasa dengan kegagalan seperti ini. Sejak dari dulu, apa yang dia rencanakan bisa berjalan dengan baik. Sekarang gagal hanya karena dia anggap mahasiswa di sini khususnya yang masih S1 ikut-ikutan mandul dan tidak kritis. Mereka tidak lebih seperti mahasiswa asli Malaysia yang masih dijajah cara berpikir dan daya kritis mereka oleh kerajaan mereka sendiri. Yang sedikit bersuara siap-siap ditangkap pihak kerajaan dan dianggap sebagai pembangkang. Tak lama kemudian rapat pun bubar begitu saja.
===O0O===
Rapat gelap di gelar lagi. Masih di tempat yang mereka rahasiakan.
”Seminar batal, KPI bubar…!” Eriq memberi muqoddimah.
“Bukan… itu bukan solusi menurut ana. Kita harus mencari cara-cara yang lebih cerdas. Ingat, orang cerdas itu adalah orang yang menggigit tapi yang digigit mengucapkan terima kasih. Mereka tidak merasa disakiti. Itu baru cedas“ saran Rasyad.
”Ya karena dulu ente ikut mencalonkan anak S1 sebagai ketua KPI kan?” tanya Eriq senyum-senyum setengah bergurau. Memang perdebatan pemilihan ketua KPI dari kalangan S1, S2, dan S3 waktu itu sangat sengit. Berbagai argumentasi di milis mencari kebenaran mereka masing-masing. Akhirnya, karena mahasiswa S1 lebih banyak dan bisa hadir semua saat pemilihan maka ketua KPI dimenangkan oleh mahasiswa S1. Sementara mahasiswa S2 dan S3 karena berbagai kesibukan banyak yang tidak mempedulikan pemilihan tersebut dan banyak yang tidak datang. Wakil mereka kalah.
”Sudahlah. jangan dibahas masa lalu. gak sehat ha ha ha….” sambung Pratomo.
”Sekarang fakta di depan mata seminar dibatalkan. Malu dengan kawan-kawan saya Malaysia, sudah jelas. Saya sudah kirim email pembatalan acara tersebut. Jujur saya tidak lagi sedikitpun percaya dengan ketua KPI. Seperti yang sudah saya sampaikan, KPI duah mandul khususnya berkontribusi terhadap isu-isu politik kebangsaan. KPI sudah seperti OSIS. Penakut. Tidak keritis. hehehe…” Pratomo berseloroh.
”Pak wartawan, bagaimana menurut pendapat anda?” tanya Eriq sambil melirik Joni yang duduk di sebelah.
”Saya sudah tulis berita mengenai pembatalan seminar ini. Menurut analisa saya, ada orang-orang tertentu yang bermain dibalik layar yang membuat acara ini batal. Sejauh ini saya melihat kepengurusan KPI hanya wayang. Ada dalang yang memainkannya. Dan nampaknya dalang-dalang tersebut sedang perang dengan kita. Jadi sebenarnya sasaran mereka adalah kita bukan KPI. Ini namanya perang dalang, ha ha ha…” analisa Joni.
”Betul, saya rasa hal ini juga terjadi antara Malaysia dan RI. Negara-negara ini hanya wayang yang sedang dimainkan dalang. Siapa dalangnya? Bisa media, bisa Amerika, bisa Singapura, bisa Israil, bisa siapa saja, saya rasa. Dan pasti para dalang-dalang itu sedang rapat gelap seperti kita ha ha ha…” Eriq berapi-api sambil tertawa lepas.
”jika begitu, kita harus menjadi dalang yang cerdas. Wayangnya harus kita mainkan secantik mungkin. Biarkan penonton lupa bahwa wayang itu ada yang memainkanya. Terkadang mereka terlalu fokus kepada cerita wayangnya dan lupa pada dalang. Padahal cerita itu dikarang dan dimainkan oleh dalang” komentar Rasyad.
”Pak ustadz, jangan bersu’uzon. ha ha ha ha….” canda Joni. Tawa pun pecah di ruangan itu.
”Jadi… kesimpulannya. Wayang kita telah batal tampil ni? he he he…. sekarang kita cari siapa dalang yang bermain diseberang?” pungkas Pratomo dengan pertanyaan besar.
Tidak lama kemudian mereka mengakhiri rapat itu dengan berbagai kesepakatan. Mereka membubarkan diri dengan isi kepala masing-masing. Perang dalang belum usai. (Bhn)
Malaysia, 18 September 2009 (4.27)
Discussion about this post