Oleh: Bahren Nurdin, MA
Dalam kajian sastra, pada tataran yang sangat sederhana Alex Martin and Robert Hill (1996), mendefinisikan simbol, “Symbols are signs – words or pictures- which represent something else”. Maksudnya, simbol adalah sesuatu yang berupa kata-kata atau gambar yang merepresentasikan sesuatu yang lain. Itu artinya, sesuatu yang tertulis atau yang tergambar memiliki makna lain. Teori ini agakanya sederhana tetapi memerlukan kajian mendalam kerena berbicara sesuatu yang tersirat bukan yang tersurat; behind the text.
Walaupun tidak berbicara tentang sastra, kasus dugaan ‘penistaan agama’ yang terjadi pada Hotel Novita Jambi, beberapa waktu lalu, menarik juga untuk dilihat dalam kajian simbol ini. Dalam artikel singkat ini saya ingin memberikan gambaran lugas bagaimana sesungguhnya sesuatu yang nampak sederhana tetapi menimbulkan dampak yang luar biasa. Sebenarnya gambar yang terlukis di lantai lobi hotel tersebut sangat sederhana, tetapi dampaknya membuat hotel tersebut ditutup semetara, ribuan orang turun ke jalan, semua pejabat Negara angkat bicara, polisi nambah kerja, para ulama berfatwa, anak muda ‘angkat senjata’, dan lain sebagainya. Padahal, jika dilihat gambar yang terlihat sangat biasa, tidak memiliki nilai seni yang tinggi.
Ceritanya, ada sebuah ornament peringatan natal yang menggambarkan gereja dengan segala pernak-perniknya. Ada gereja, dihiasi pohon natal dan lampu-lampu hias yang indah. Semua nampak biasa karena memang demikianlah biasanya. Di negari ini, rakyatnya dijamin oleh negara untuk menjalankan keyakinan dan kepercayaannya masing-masing. Ornament yang biasa ini kemudian menjadi ‘luar biasa’ ketika ditambah ‘kaligrafi’ ‘ALLAH’ yang terbuat dari susunan kerikil kecil di lantai dan bergambarkan telapak kaki menyatu dengan ornament natal tersebut. Inilah perkaranya!
Lafaz ‘ALLAH’ adalah sesuatu yang sangat sakral bagi kaum Muslimin. Orang Islam akan sangat marah jika lafal ini dilecehkan. Jangankan di lantai hotel, di sajadah saja, di tempat mereka sujud tidak berani untuk menuliskan lafaz ini. Sesuatu yang sangat tinggi kemudian diletakkan di tempat yang paling rendah; pasti marah! Namun, ada satu hal yang lupa ditanyakan, apa maksudnya?
Ketika masuk wilayah, ‘apa maksudnya’, barulah signifikans kita bicara teori simbol. Untuk memahami sebuah simbol diperlukan interpretasi. Ini juga bukan minus masalah sebab interpretasi sangat pula subjektif. Sangat bergantung pada ‘siapa’ yang mencari makna ‘something else’ tersebut. Melihat gambar yang sama, waktu yang sama, di tempat yang sama, bisa saja saya dan anda memiliki pemahaman yang berbeda. Pada kasus Hotel Novita, gambar (dibaca simbol) lafaz ‘ALLAH’ dia bawah telapak kaki’ diinterpretasi oleh ummat Islam sebagai ‘penistaan’; penghinaan dan pelecehan. Dengan terjemahan inilah kemunian menimbulkan reaksi massa.
Benarkah demikian yang dimaksud oleh pembuat gambar? Ternyata dari berita yang berkembang akhir-akhir ini, ketika sang pembuat ditangkap dan mintai maksud dan tujuan pembuatan gambar tersebut (mudah-mudahan tidak dipolitisir dan direkayasa), orang-orang terbelalak dikejutkan bahwa apa yang diinterpretasikan oleh ummat Islam tidak sama dengan apa yang dimaksud oleh si pembuat. Lantas, gambarnya yang salah atau persepsinya yang tidak benar? Lagi-lagi, pada konteks ini sebenarnya bukan bicara salah dan benar, tapi yang penting bagaimana menyatukan persepsi antara gambar dan makna, antara pembuat gambar dan masyarakat luas.
Sekali lagi, kajian simbol ini memang tidak sederhana. Namun saya sederhanakan saja agar artikel singkat ini mencapai hakekatnya. Kasus Hotel Novita, dalam kajian ini, telah terjadi kesalahan penafsiran sebuah simbol karena simbol yang dibuat memang memiliki multitafsir (banyak makna). Tidak ada yang salah. Orang Islam pasti terusik ketika sesuatu yang bernilai tinggi bagi mereka dihinakan. Begitu juga bagi sang pembuat ‘maksud saya bukan begitu, tapi begini’. Jadi perkaranya ada pada ‘jembatan’ penafsiran dalam menggali makna. Artinya, kasus ini tidak akan melebar jika mampu manyatukan makna antara sang pembuat dengan sang penafsir (masyarakat luas).
Celakanya, proses mempertemukan inilah yang terlalu lamban. Saya hanya membayangkan, jika sesaat kasus ini muncul kepermukaan, malam itu juga, sang pembuat langsung berdiri di depan hotel dan pidato “Bapak dan Ibu yang saya hormati, saya minta maaf. Maksud dari gambar itu adalah bla bla bla. Saya menggambar itu tidak untuk melecehkan Allah kita. Saya minta maaf. Saya bertanggung jawab…dst”. Case closed!
Pesannya, hidup di zaman medsos (medoa sosial) ini, harus ekstra hati-hati dalam meletakkan simbol (kata dan gambar). Orang cepat panik dan gampang menghardik. Bisa saja, kata dan gambar yang anda sampaikan tidak sama seperti apa yang mereka maksud. Sementara, medsos pun memiliki keterbatasan dalam menjembatani pemberian makna. Sebelum anda sempat memberikan klarifikasi atau penjelasan, kata atau gambar yang anda unggah sudah melesat ke ujung dunia. Orang-orang di ujung dunia telah dulu menghujat anda dengan interpretasi mereka masing-masing. Berhati-hatilah!
#BN18012017
Sumber: www.kenali.co
Discussion about this post