Apakah dulu orang tidak membuka lahan untuk pertanian dan perkebunan? Apakah dulu mereka tidak membakar hutan? Jawabannya, ‘ya’. Mereka membuka lahan dan membakar hutan. Tapi mengapa tidak menimbulkan kabut asap seperti saat ini? Jawabannya, karena dulu mereka tidak serakah dan melakukan pembukaan lahan dengan cara-cara yang arif lagi bijaksana (wisdom). Catat itu!
Ini perlu digarisbawahi. Keserakahan maksudnya, dulu orang membuka lahan tidak lebih dari apa yang mereka butuhkan untuk hidup. Dalam satu keluarga, paling seluas dua atau tiga hektar untuk kemudian ditanami pohon karet dan padi. Sekarang? Ratusan hektar! Atas nama kepentingan korporasi, hutan dibabat habis dengan cara-cara yang tidak bijak pula. Tapi sering kali yang dipersalahkan dan menjadi korban tetap saja masyarakat.
Melalui artikel singkat ini, saya hanya ingin mengingat kembali bagaimana orang dusun saya membuka lahan dengan layak dan bijak. Saya kebetulan tumbuh di generasi peralihan yang masih merasakan kehidupan tradisional dan menikmati kemajuan tekhnologi (shifting period).
Inilah beberapa langkah yang mereka lakukan dalam membuka lahan yang masih saya ingat dengan baik. Mereka membuka lahan untuk berkebun karet, namun selama dua tahun pertama (sebelum pohon karet besar) juga ditanami padi dan sayur mayur. Terminologi yang saya gunakan adalah istilah dusun saya sendiri (Desa Paseban, VII Koto Ilir, Tebo – Jambi).
Mancah; kegiatan ini dilakukan setelah terlebih dahului melakukan penentuan dan pengukuran lahan. Ini sangat penting agar tidak mengambil tanah orang lain. Mancah artinya membersihkan calon lahan dengan membabat pohon-pohon kecil yang tumbuh di bawah pohon-pohon besar. Pohon yang berukuran sebesar betis orang dewasa boleh ditebang saat mancah. Biasanya, setelah dipancah, lahan mulai nampak terang dan yang tersisa adalah pohon-pohon besar.
Nobang; kegiatan ini adalah menebang pohon yang besar. Pada zamannya tidak menggunakan mesin tapi alat tradisional seperti _beliung_ atau gergaji. Proses ini memerlukan pengalaman dan ilmu tinggi. Banyak hal yang dipertimbangkan termasuk salah satunya arah angin. Ke arah mana pohon-pohon yang ditebang akan roboh sudah diperhitungkan dengan baik. Ini akan sangat berdampak terhadap proses pembakaran nantinya.
Merodah; pohon yang telah ditebang tidak dibiarkan begitu saja tetapi dahan-dahan yang besar dipotong atau dicincang menjadi kecil. Ini perlu dilakukan agar ketika dibakar akan cepat hangus dan tidak menimbulkan asap. Dengan kegiatan ini, pohon-pohon yang ditebang akan merata dan menyebar di permukaan tanah.
Makar; ini kegiatan yang krusial dalam membuka lahan yaitu membakar. Tapi dulu mereka melakukannya dengan sangat baik sehingga tidak menimbulkan dampak lingkungan. Ada beberapa hal yang paling mereka perhatian. Pertama, kondisi pohon yang dibakar. Pohon-pohon yang hendak dibakar dipastikan sudah separoh lapuk, atau minimal sudah mati. Asap akan membubung tinggi jika yang dibakar itu adalah pohon yang masih hidup atau separuh mati. Dulu mereka tahu persis lahan yang seperti apa yang sudah boleh dibakar. Kedua, waktu; lahan dibakar pada saat musim kemarau dan pada jam-jam tertentu. Mereka membakar lahan ketika angin sedang berhembus kencang. Kadang-kadang mereka memiliki ‘nyanyian’ khusus untuk memanggil angin. Dengan cara ini, tidak dibutuhkan waktu lama, lahan akan terbakar habis tanpa asap yang berarti.
Morun; kegiatan ini adalah membakar sisa-sisa pohon yang tidak habis terbakar. Setelah dibiarkan beberapa waktu, sisa bakaran tersebut dikumpulkan kembali dan ditumpuk yang kemudian dibakar sampai hangus. Lagi-lagi, dengan perhitungan dan perlakuan yang tepat.
Dari langkah-langkah ini, nampak sekali batapa bijaksananya mereka dalam membuka lahan. Maka, naif sekali rasanya jika masyarakat yang dipersalahkan atas timbulnya asap. Jika harus jujur, tidak akan ada 10%-nya lahan yang dimiliki oleh masyarakat dibanding yang dikuasai oleh perusahaan. Sementara jelas sekali bahwa perusahaan telah mengabaikan kearifan-kearifan lokal dalam proses pembukaan lahan. Sudahlah serakah, tidak bijak pula!
Akhirnya, alam memang sudah tidak lagi bersahabat karena manusia telah merusak persahabatan itu sendiri. Alam marah karena manusia semakin serakah. Kapitalisme telah membumihanguskan nurani kemanusiaan. Nilai-nilai kearifan lokal telah terbakar menjadi abu dan terbang bersama kelamnya asap membubung ke langit. Entah kapan ia akan kembali ke bumi. Entahlah!
Discussion about this post