Oleh: Bahren Nurdin, MA
Buntutnya, menteri ‘turun gunung’ dan rektor UII pun merasa bersalah lalu menyatakan mundur dari jabatannya. Selanjutnya, kita serahkan saja sepenuhnya kepada pihak kepolisian untuk mengungkap kasus ini dengan cermat. Tidak perlu intervensi pihak mana pun. Pembunuh tetaplah pembunuh yang harus mendapat hukuman baik di dunia maupun di akhirat.
Sungguh, inilah ironi yang terjadi di dunia pendidikan kita akhir-akhir ini. Kasus semacam juga bukan yang pertama terjadi. Senior membunuh junior seakan terus menghantui. Berulang kali di berbagai institusi pendidikan tinggi kasus seperti ini terjadi secara turun temurun.
Kasus yang terjadi di UII ini tentu menyisakan pertanyaan mendalam. Bagaimana mungkin pecinta alam jadi pembunuh. Bukankah pecinta seharusnya menyayangi bukan membenci apa lagi membunuh. Pecinta memiliki jiwa yang mulia bukan membina angkara murka. Pecinta berbudaya dan bermartabat bukan melaknat. Pecinta itu ksatria jiwa dan raga bukan pecundang yang garang dan malang. Pecinta itu saling menghormati bukan memaki. Wahai pecinta…!
Kehilangan Hakikat
Apa hakikat pecinta alam itu? Mencintai bukan membenci. Alam dan seisinya. Izinkan saya membuka kembali album tua yang tersimpan. Rindu membuncah di dada menyaksikan foto-foto kenangan di puncak Merapi, Merbabu, Lawu dan beberapa gunung lainnya. Sungguh jiwa ini bergetar ingin kembali bercengrama dengan alam nan tenang dan bersahaja; damai. Saya memang tidak tergabung dalam organisasi pecinta alam mana pun. Namun ketika dulu menimba ilmu di Universitas Gadjah Mada, saya dan beberapa sahabat sering menghabiskan waktu libur semeseter di puncak gunung. Belajar dari alam.
Universitas alam terbuka. ‘Alam takambang jadi guru’ adalah salah satu hakikat filosofis pecinta alam. Menjadikan alam sebagai guru kehidupan. Mendaki gunung bukan untuk menaklukkan gunung. Bukan itu hakikatnya. Mendaki gunung adalah menggapai puncak kesadaran diri betapa kecilnya menusia dihadapan Tuhan Sang Pencipta. Ketika berada di puncak gunung barulah menyadari batapa indahnya alam semseta ini diciptakan oleh Allah. Mega yang memutih, angin yang semilir, mata hari yang timbul dan tenggelam dengan damai dan indah. Mahluk alam bertasbih kepada Sang Pecipta. Sungguh begitu besar ciptaan Allah. Dengan menyadari betapa kerdilnya diri, saat itulah tumbuh jiwa-jiwa pecinta. Jangankan menghilangkan nyawa orang lain, membunuh semut pun tak kan tega. Semestinya!
Jika dia pecinta alam sejati, ia pasti tidak akan memetik edelweiss nan indah bersemi. Dia takkan menebang pohon walau hanya sebatang ranting. Dia tidak mengotori bumi walau dengan selembar sampah. Dia pasti saling menjaga dan memelihara. Hakikat inilah yang agaknya mulai menghilang digerus euphoria zaman. Inilah akhir zaman, ketika pecinta yang kehilangan cinta, berakhir petaka.
Akhirnya, pecinta tak kan membunuh. Pecinta alam dapat dipastikan akan mencintai Sang Pencipta Alam, alam dan seisinya. Jika mereka menyebut pecinta alam tapi membunuh, maka mereka telah kehilangan hakikat mencintai. Bongkar!
#BN26012017
Sumber: www.kenali.co
http://kenali.co/berita-76264-pecinta-kok-jadi-pembunuh.html#ixzz4Xz2Oh3BU
Discussion about this post