Oleh: Bahren Nurdin, MA
Apa pentingnya pengembangan pariwisata bagi suatu daerah? Jawaban pertanyaan inilah agaknya yang kurang dipahami atau bahkan belum ditemukan oleh para kepala daerah di Provinsi Jambi, dari gubernur hingga bupati dan walikota. Faktanya, objek-objek wisata yang begitu kaya di provinsi ini masih ‘bobok cantik’. Alhasil, kekayaan yang melimpah ini belum bisa sepenuhnya mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Sayang sekali.
Tulisan ini adalah ulasan saya ketika menjadi narasumber di TVRI Jambi dalam acara Pespektif (24/4/2017) tentang kepariwisataan Jambi. Paling tidak saya melihat ada tiga urgensitas dikembangkannya pariwisata di Jambi. Pertama, peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Kemana masyarakat Jambi menghabiskan liburan? Paling dekat mereka berpelesir ke Provinsi Sumatera Barat. Coba hitung berapa banyak uang yang mereka habiskan? Itu artinya, Sumatera Barat berhasil ‘mencuri’ uang orang Jambi untuk pembangunan daerah mereka.
Kalaulah pemerintah Provinsi Jambi serius menangani objek wisata yang ada, dapat dipastikan masyarakat tidak akan lagi ‘membuang’ uang mereka ke provinsi lain. Mereka akan lebih senang membelanjakan anggaran wisata mereka di dalam daerah sendiri. Namun, lihatlah obyek wisata yang ada, di berbagai daerah (kabupaten/kota), tidak terurus dan cenderung terabaikan.
Kedua, pelestarian. Ada agenda besar pentingnya pembangunan pariwisata di Provinsi Jambi ini yaitu misi pelestarian. Wisata alam misalnya, secara langsung akan menjaga kelestarian alam. Sudah sama-sama diketahui saat ini para ‘penjarah’ hutan mengintai setiap saat. Mereka tidak peduli akan kehancuran bumi. Satu-satunya yang mereka hitung adalah uang yang masuk ke rekening. Salah satu cara untuk menghadang para rampok alam ini dengan menjadikannya destinasi wisata. Menjadikannya milik semua orang.
Begitu juga halnya dengan wisata non alam seperti wisata budaya, wisata reliji, wisata kuliner, wisata sejarah, dan lain-lain. Sangat jelas, dengan dikembangkannya jenis-jenis wisata ini, akan dapat menjaga keberlangsungan kearifan-kearifan lokal yang ada. Kekayaan sumber daya budaya akan musnah dimakan waktu jika tidak dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda bangsa ini. Salah satu cara yang paling tepat adalah dangan menjadikannya obyek wisata.
Ketiga, kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat sekitar. Menggeliatnya kepariwisataan suatu daerah sudah dapat dipastikan akan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat sekitar (multiplier effect). Dengan datangnya pengunjung dari berbagai daerah, perekonomian masyarakat juga akan tumbuh dengan sendirinya. Berbagai kegiatan ekonomi seperti perdagangan dan jasa akan berkembang. Rumah makan/restoran, perhotelan/penginapan, jasa transportasi, oleh-oleh (souvenir), dan lain sebagainya sudah dapat dipastikan akan mendongkrak pendapatan masyarakat.
Namun demikian, tentu saja tugas pengembangan pariwisata tidak seratus persen tergantung pada pemerintah tapi juga harus ada keterlibatan semua pihak. Pihak swasta dan masyarakat tidak boleh berpangku tangan. Lebih-lebih masyarakat yang berada di kawasan wisata terebut yang harus memiliki mindset yang benar dan perilaku yang baik terhadap para pengunjung yang datang. Ini juga menjadi persoalan tersendiri bagi pengembangan wisata di Jambi. Sebagian besar masyarakat yang berada di kawasan wisata yang ada belum membuka diri sehingga belum ‘ramah wisata’. Paling sederhana, premanisme masih terjadi dan tariff parker semaunya.
RAMAH WISATA
Untuk menciptakan masyarakat yang ramah wisata, ada tiga hal yang dapat dilakukan. Pertama, meningkatakan rasa memiliki (sense of belonging). Kesadaran ini harus dimiliki masyarakat sehingga mereka merasa berkewajiban menjaga segala apa yang dimiliki baik objek wisatanya sendiri maupun fasilitas-fasilitas yang dibangun. Jika tidak, inilah yang selama ini terjadi, wc jorok, penunjuk jalan dihancurkan, graffiti (corat coret) liar terjadi di mana-mana, sampah berserakan, dan lain sebagainya.
Kedua, pemahaman wisata. Masyarakat harus memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang objek wisata yang mereka miliki. Sewaktu-waktu para pengunjung membutuhkan penjelasan, paling tidak mereka mampu menjelaskannya secara garis besar. Selama ini sering terdengar jawaban “entah, gak tau” yang membuat pengunjung kecewa.
Ketiga, terbuka terhadap orang luar. Salah satu bentuk ril keterbuakaan itu adalah keramahan terhadap orang luar yang masuk ke daerah wisata tersebut. Dalam Sapta Pesona Wisata Indonesia, urutan keenam disebutkan ‘Ramah’. Hal ini memang sangat penting untuk menciptakan kenyamanan bagi para pengunjung.
Akhirnya, sampai hari ini wisata di Provinsi Jambi masih ‘bobok cantik’ di peraduannya. Belum terbangun maksimal sehingga masih belum mendatangkan manfaat maksimal bagi masyarakat. Geberakan pemerintah sangat ditunggu untuk membangunkan pariwisata dari tidur panjangnya. Semoga.
#BNODOC11425042017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi.
Discussion about this post