Oleh: Bahren Nurdin
Sudah matikah Jogja sehingga saya menggunakan kata ‘reinkarnasi’? Memang, kata ‘reinkarnasi’ digambarkan oleh KBBI sebagai ‘penjelmaan (penitisan) kembali makhluk yang telah mati’. Saya hanya meminjam istilah ini paling tidak untuk memberikan gambaran bagaimana Jogja ketika saya pertama menginjakkan kaki di sana pada tahun 1998 dengan Jogja yang beberapa minggu lalu saya kunjungi. Berbeda!
Saya ‘kehilangan’ Jogja. Saya sempat menapak tilas menelusuri jalan-jalan dulu yang pernah ditempuh. Semua berubah. Tentu, tidak bermaksud pula menyalahkan perubahan karena memang yang hakiki itu sesungguhnya adalah perubahan itu sendiri. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Perjalanan waktu akan selalu membawa perubahan demi perubahan.
Dulu, di sepanjang Jalan Kali Urang, dari kampus UGM hingga perempatan Kentungan, berjejer penjual gudeg di pagi hari untuk menyambut perut-perut mahasiswa yang kelaparan di subuh buta. Menyediakan sarapan pagi bagi mereka agar penuh energi dan semangat menuju kampus. Kini, bangunan pencakar langit berjejer menjulang tinggi. Boleh jadi para Si Mbok pedagang gudeg itu telah terusir dari tanah mereka sendiri. Hotel, restoran, dan café mewah menjadi warna ‘baru’ kehidupan kota ini. Sepeda ontel yang dulu berkeliaran kian kemari kini telah terjajah oleh ojek online. Berubah!
Itulah yang saya sebut ‘kematian’. Bukan Jogja secara fisik yang telah sirna, tapi rasa dan nilai yang telah pupus. Semua tergerus dimakan arus zaman nan rakus.
Kerinduan mendalam akan Jogja seakan terobati saat pertama kali menginjakkan kaki di kampung kecil bernama Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Label yang melekat padanya adalah ‘Kampoeng Inggris’. Hampir dua bulan menghabiskan waktu di desa ini, saya menemukan roh Jogja yang begitu kuat dan mengakar. Itulah mengapa saya berani mengatakan bahwa pada masanya Pare akan menjadi jelmaan Jogja; Kota Pelajar.
Pada sebuah restoran kecil saya menemukan kalimat yang cantik, “Pare is not a place, but feeling” (Pare itu bukan tempat, tapi rasa). Wow! Itulah dulu yang saya rasakan ketika pertama menapakkan kaki di Malioboro. Sempat bertanya dalam hati, “apa yang istimewa dengan Jojga?” Jawabannya, ‘Tidak ada!’. Tidak ada yang istimewa, bangunannya biasa, orang-orangnya biasa, makannya juga biasa-biasa saja. Tapi setelah sebulan, setahun, dua tahun baru saya tahu bahwa yang berbeda itu adalah rasa dan nuansa. Budaya ilmu dan peradaban yang membuat ia berbeda.
Sama, tidak banyak yang istimewa di Kampoeng Inggris ini. Semua juga tampak biasa. Bangunan-bangunan juga masih sangat biasa. Rumah-rumah penduduk masih menampakkan keasliannya yang menampilkan kesederhanaan dan kesahajaan. Pohon mangga masih menjadi tanaman wajib di depan rumah. Jambu dan rambutan boleh memerah di pohon. Semua biasa kecuali satu, budaya ilmu.
Lihatlah, semua orang cinta ilmu. Sesuai labelnya ‘Kampoeng Inggris’, maka setiap orang di sini berbahasa Inggris, dari penjual kue keliling hingga tukang becak dan ojek online. Ratusan sepeda berkeliaran ke sana kemari. Tempat-tempat kursus berbagai bahasa ramai dan semarak. Jangan kaget jika ada orang berdiri di pinggir jalan dan berpidato Bahasa Inggris kepada siapa saja yang lalu lalang. Begitulah mereka melatih mental untuk berani berbicara Bahasa Inggris.
Akhirnya, saya betul-betul menemukan rohnya Jogja medio sebelum tahun 2000 di sini. Saya yakin, pada masanya nanti Pare ini akan menjelma menjadi ‘icon’ pendidikan di Provinsi Jawa Timur ini. ‘Bayi’ kecil ini akan tumbuh besar untuk menemui takdirnya sendiri. #BN29719122017
*Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post