Oleh: Bahren Nurdin
Nampaknya sulit bagi saya untuk tidak membandingkan Jogja di era sebelum tahun 2000 dengan apa yang saya temukan di Pare saat ini. Setiap hal seakan terulang kembali apa yang telah menjadi memori puluhan tahun di sana. Hal terkecil masalah makan misalnya, saya masih merasakan makan siang dengan harga delapan ratus rupiah sudah lengkap dengan lauk telur dan sayur mayur. Harga yang sangat bersahabat dengan kantong anak petani seperti saya.
Hal itu pulalah yang dapat digambarkan saat ini terhadap Pare. Saya menjamin di sini masih serba murah dan mudah. Makan murah. Nasi Padang yang notabenenya makan ‘mewah’ bagi anak kost, di sini masih dapat disantap dengan harga 6000 perak. Sebuah harga yang dapat dipastikan tidak dapat diperoleh di tempat lain. Itu artinya makan dan minuman yang lain pun juga masih sangat terjangkau. Temasuk tempat kost-kosan yang masih bisa disewa dengan harga seratus atau dua ratus ribu perbulan.
Selain hal-hal yang bersifat domistik di atas, salah satu syarat mutlah kota ilmu itu adalah mudah dan murahnya mendapatkan ilmu pengetahuan. Paling tidak dilihat dari murahnya harga buku dan mudahnya mendapatkan proses belajar mengajar baik formal maupun informal seperti seminar dan pelatihan.
Bagi kawan-kawan alumni Mesir dan pernah berkuliah di universitas tertua di dunia, Al-Azhar University, dapat dipastikan sudah sangat hafal dengan toko buku – toko buku murah yang disediakan. Sebut saja maktabah Iqro’ atau maktabah Dar Es Salam yang merupakan salah satu surga buku bekas dari ribuan yang lainnya. Di Jogja, dulu kita sangat mengenal ‘Shopping Center’ yang menyediakan berbagai sumber ilmu, dari makalah bekas hingga kamus palsu. Semua demi ilmu.
Begitulah yang saat ini sedang terjadi di Pare ini. Beberapa tokoh buku murah bermunculan. Harganya sangat terjangkau. Buku-buku yang di luar dijual ratusan ribu, di sini cukup dengan puluhan ribu atau bahkan ribuan saja. Bahkan uniknya, ada beberapa buku yang hanya di jual di sini dengan label ‘Khusus Pare’. Anda tidak bisa memperoleh buku-buku itu jika tidak di langsung beli di sini.
Begitu juga dengan fasilitas-fasilitas keilmuan seperti seminar dan pelatihan. Beberapa seminar disediakan gratis atau jika pun bayar cukup dengan cap ‘harga mahasiswa’. Pelatihan-pelatihan bahasa juga ada yang mulai menyediakan dengan harga murah dan bahkan gratis. Tentunya, seminar-seminar di sini tidak seperti diadakan di hotel berbintang, tapi cukup duduk lesehan sambil nyeruput kopi hitam. Semua mudah dan murah. Fasilitasnya boleh mudah dan murah, tapi Ilmunya tetap mahal dan tak ternilai. Begitulah seharusnya!
Inilah ciri-ciri ilmu pengetahuan itu akan berkembang pesat di Pare ini. Seluruh aspek pendukung orang-orang pencari ilmu itu didapat dengan murah lagi mudah. Nilai-nilai ekonimis atau komersilnya tentu tidak dapat dinafikan karena semua memerlukan biaya. Tapi, nilai-nilai itu tidak boleh membunuh nilai ilmu pengetahuan yang lebih besar. Nilai ekonomis yang muncul harus dijadikan nilai tambahan bukan merupakan tujuan utama agar tidak tumbuh kapitalisme.
Akhirnya, para pecinta ilmu (khususnya ilmu bahasa), Pare sudah dapat dijadikan angin segar. Mudah dan murahnya memperoleh ilmu pengetahuan di sini, mudah-mudahan menjadi ‘pupuk’ nan subur untuk tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan bagi semua orang. Berharap kedepannya juga akan tumbuh sekolah tinggi atau universitas-universitas yang jauh dari nilai-nilai komersialisme dan kapitalisme. Semoga. #BN29820122017
*Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post