Ini kisah inspiratif dari seorang ibu. Namanya Siti Munawaroh. Wanita tangguh yang saya sebut ‘penakluk Jakarta’. Dia adalah penjual gorengan di pasar Gang H. Sai’un. Kepingan-kepingan gorengan itulah yang membuat ia mampu selama puluhan tahun bertahan di Jakarta. Meninggalkan kampung halaman di salah satu kabupaten di Jawa Barat, ia berjuang melawan ‘ganasnya’ kehidupan kota metropolitan. Berhasil!
Tidak madah memang. Sebuah perjalanan panjang yang penuh perjuangan dan kerja keras. Ditinggal mati suami tercinta dengan dua anak yang masih kecil-kecil. Hidup di rantau, tidak banyak sanak saudara yang dapat dimintai pertolongan. Satu-satunya cara terhebat untuk menerima kenyataan hidup tersebut adalah dengan memperjuangkannya. Itulah yang ia lakukan. Ia sinsingkan lengan baju, berjuang dengan seluruh jiwa dan raga, siang dan malam. “Saya harus membesarkan anak-anak, Pak. Mereka harus sekolah”. Katanya tegar. Hebat.!
Dua anak yatim itu ia besarkan dengan penuh suka duka. Selama puluhan tahun menempati kamar kontrakan. Satu kamar diisi tiga orang, walaupun beberapa tahun terakhir Si Sulung sudah tidak lagi tinggal dengan dia karena sudah bekerja, kecuali akhir pekan. Ya, anak tuanya kini sudah tamat sekolah dan bekerja di salah satu hotel di Jakarta. Alhamdulillah sedikit-sedikit sudah pula bisa membantu sekolah adiknya yang kini masih duduk di bangku sekolah menengah.
Roda kehidupan berputar setiap hari. Selama puluhan tahun pula ia berjibaku dengan panasnya penggorengan. Pagi-pagi sekali, sekira pukul dua dini hari ia sudah membawa barang-barang dagangannya ke pasar. Bahan-bahan yang akan dijadikan gorengan sudah pula disiapkan sebelumnya. Ada tempe, tahu, bakwan, ubi, risol dan lain sebagainya telah dipersiapkan sedemikian rupa. Setelah menyiapkan bahan-bahan itu, barulah bisa beristirahat pada pukul 10 malam. Itu artinya, setiap hari ia hanya bisa istirahat sekitar empat jam.
Banyak pula cerita pilu yang dilewati. Ketika dulu berjualan di seputaran komplek Grand Wijaya Center (sekitar 5 menit jalan kaki dari Gang H. Sai’un), entah berapa kali harus ‘kucing-kucingan’ dengan para petugas ketertiban. Suatu ketika, setelah beberapa saat alat-alat dagangan gorengannya digelar, datanglah petugas negara yang bertindak atas nama negara demi menegakkan hukum negara terhadap warga negara. Tanpa ampun semua ‘digaruk’. Isak tangis dan kesedihan Ibu Siti tidak digubris. Dua anak yatim yang menggantungkan hidup dari kuali-kuali yang mereka bawa itu, tidak mereka pedulikan. Atas nama negara!
Pertanyaanya, jika mereka yang berseragam itu bertindak atas nama negara, lantas apakah negara peduli dengan anak-anak yatim yang ada di rumah Ibu Siti?
Ibu Siti berhenti? Tidak! Lagi-lagi perjuangan harus dilanjutkan. Tidak ada yang bisa membantunya untuk mendapatkan kembali barang-barang yang ‘dirampas’ itu. Prosesnya panjang dan harus membayar pula. Cara terbaik, diikhlaskan. Keuntung yang tidak seberapa dari jualan gorengan selama ini pun harus dikuras untuk membeli peralatan yang baru. Ibu Siti sadar bahwa air mata tidak akan bisa membuat kenyang dua perut anak yatim yang menanti di rumah. Teriakan pilu tidak akan bisa mengurangi biaya sekolah mereka. Dia pun tahu persis bahwa negara ini belum berpihak kepada kaum lemah seperti dirinya! Tapi semangatnya tidak pernah lemah!
Ibu Siti memang tangguh. Dialah sang penjaga anak yatim yang in sya Allah mendapat berkah dari Allah. Perjuangannya memang masih panjang. Si Bungsu masih duduk dibangku SMA. Cerita kehidupan di ibu kota selalu saja menantang bagi siapa saja. Hanya orang-orang hebatlah yang mampu bertahan hidup. Paling tidak sampai hari ini, Ibu Siti telah membuktikan dirinya layak sebagai penakluk Jakarta!
*Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post