Selfie yang saya maksud memiliki makna konotasi pesta-pora dan euphoria. Pesta (demokrasi) telah usai. Pemilukada serentak (Pilgub 2015) sudah berjalan dengan baik. Pelantikan sudah berlangsung dengan khikmat. Serah terima jabatan (sertijab) pun sudah berlangsung agung dan meriah dengan ucapan selamat dari berbagai penjuru lapisan masyarakat. Rasanya sudah saatnya ‘pesta’ itu dihentikan karena di penjuru negeri Jambi ini sedang dikepung berbagai bencana, salah satunya banjir.
Sebanyak 10 kabupaten dan kota se-Provinsi Jambi, 30 kecamatan, 76 desa, 4.231 unit rumah, 20 sekolah, 7 jembatan, dan 19 fasilitas umum lainnya saat ini sedang terendam banjir (BPBD; Jambi Ekspres 16 Februari 2016). Apa arti angka-angka ini? ini adalah angka-angka penderitaan. Ada ribuan bahkan jutaan rakyat ‘Sepucuk Jambi Sebilan Lurah’ ini yang sedang menghadapi musibah. Mereka tentu saja membutuhkan perhatian untuk bersama-sama pemimpin mereka menghadapi kesulitan-kesulitan selama bencana melanda.
Pemimpin Harus Hadir
Saat bencana seperti ini kehadiran seorang pemimpin di tengah mereka sangat berarti. Hadir, baik secara fisik maupun non fisik. Secara fisik tentu saja sangat diharapkan kehadiran seorang gubernur untuk melihat langsung bagaimana air telah berada di tengah rumah mereka. Kehadiran secara fisik akan memompa semangat hidup bagi masyarakat yang sedang terkena musibah. Inilah salah satu bentuk nyata kepedulian seorang pemimpin untuk sama menderita, sama bahagia. Maka sangatlah tidak elok dan melukai hati masayarakat ketika masyarakat direndam banjir, gubernunya menebar pesona dengan selfie ria melalui berbagai media.
Kehadiran secara non fisik tentunya adalah berupa kebijakan. Semua kekuatan yang dimiliki oleh pemerintah daerah Provinsi Jambi harus dengan cepat dikerahkan. Cepat tanggap! Semua instansi atau badan-badan yang bertugas menangani bencana harus cepat dikoordinasikan di lapangan agar semua bisa bergerak dengan baik untuk menangani bencana sehingga masyarakat dapat bantuan sebagaimana mestinya. Sederhananya, seharusnya gubernur sudah memimpin rapat koordinasi dengan semua stakeholder untuk menangani bencana saat ini untuk menentukan langkah-langkah yang diambil. Dengan data statistic yang ada, tidakkah seharusnya Jambi sudah masuk darurat banjir? Hal-hal semacam ini tentu sangat penting karena menyangkut dengan kebijakan dan anggaran. Jangan sampai nanti karena gubernurnya sibuk selfie tebar pesona, kebijakan-kebijakan yang seharusnya bisa cepat diputuskan malah terbengkalai dan yang akan menjadi korban adalah masyarakat.
Masyarakat telah hadir (datang ke TPS) untuk memilih pemimpin mereka sendiri. Kini saat masyarakat dalam kesulitan menghadapi bencana, sudah saatnya pemimpin yang mereka pilih hadir di tengah mereka. Datangi mereka untuk merasakan apa yang mereka rasakan. Empati dari pemimpin mereka merupakan penguat dan sumber harapan bagi mereka. Bencana memang tidak dikehendaki karena ia datang atas kehendak Allah. Masyarakat tidak punya pilihan kecuali menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan yang muncul karenanya. Maka, hadirlah, Pak Gubernur. Mereka sedang menunggu Bapak.
Tingkatkan Sense of Crisis
Banjir yang saat ini mengepung Provinsi Jambi tidak boleh dianggap ‘biasa’ saja. Atau hanya dianggap ‘tamu’ tahunan. Pembesar negeri ini harus menganggap bencana ini sesuatu yang membahayakan bagi raknyatnya. Ada nilai-nilai sense or crisis dalam artian harus memiliki kecemasan dan kekhawatiran. Memang saat ini belum ada korban nyawa, tapi jika tidak waspada tidak menutup kemungkinan akan terjadi. Sudah dapat dipasitikan bahwa banjir akan membawa dampak-dampak yang lain seperti penyakit kulit, demam berdarah, gangguan pencernaan, ISPA, leptospirosis, hepatitis A, dan lain sebagainya. Ketika banjir datang itu artinya harus diartikan sebagai warning bagi pemimpin negeri ini untuk siap-siap membantu masyarakat. Warning bahwa masyarakat dalam kesulitan.
Belum lagi berbicara kesulitan masyrakat dalam mengais rejeki. Sudah dapat dipastikan para korban banjir tidak bisa beraktivistas seperti biasa dalam mencari nafkah. Perekonomian mereka terganggu. Di sisi lain anggota keluarga perlu makan dan minum. Jika pemerintah tidak menganggap ini sebuah krisis maka dikhawatrikan akan menyengsarakan rakyat. Pada kondisi ini, seorang pemimpin harus mampu menjadi solusi bagi rakyat yang dia pimpin.
Dampak lain dari bencana banjir yang sedang dihadapi adalah dampak psikologi bagi anak-anak. Dengan terendamnya beberapa fasilitas umum seperti sekolah, maka ini akan sangat berdampak pada psikologi anak. Anak akan kehilangan kesempatan belajar. Selama banjir belanda mereka tidak bisa bersekolah dan mereka dalam tekananan kekhawatiran dan kecemasan. Sudah seharusnya pemerintah menyediakan tempat penampungan atau mencarikan solusi tempat sekolah sementara bagi anak-anak yang terdampak banjir. Banjir tidak boleh dijadikan alasan untuk mereka tidak sekolah. Lagi-lagi, ini sangat membutuhkan pemikiran dan kepedulian seorang pemimpin. Diperlukan sense of crisis!
Akhirnya, tulisan ini sifatnya hanya sekedar mengingatkan kita semua. Pesta (demokrasi) telah usai. Saatnya pemimpin dan masyarakat bahu membahu menyingsinkan lengan baju untuk terus maju. Saat ini bencan banjir di depan mata. Sebagai masyarakat, melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan pesan, “Pak Gubernur, sudahi segala ‘pesta-pora’ dan turunlah ke tengah masyarakat karena masyarakat sekarang sedang menanti kehadiran Bapak!” Semoga.
Discussion about this post