Bukankah pepatah lama mengatakan ‘lebih berat mempertahankan daripada merebut’. Begitu jugalah integritas. Integritas didefinisikan plato.stanford.edu sebagai ;primarily a matter of keeping the self intact and uncorrupted’. KBBI juga memberikan definisi yang mirif yaitu ‘mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran;’
Intinya jujur dan tidak korupsi.
Setiap orang tentunya memiliki potensi untuk memiliki integritas sebagaimana halnya juga memiliki pilihan untuk tidak menginginkannya. Ada begitu banyak orang yang benar-benar mengorbankan banyak hal untuk mencapainya. Ada pula yang telah menghabiskan waktu berpuluh-puluh tahun untuk membangun integritas diri. Namun, tidak jarang pula di antara mereka yang ‘jatuh’ karena kehilangan integritas.
Terkini, kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap salah seorang komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indoneisa, Mas Wahyu Setiawan. Walaupun tidak terlalu intents, saya beberapa kali bertemu dan berkomunikasi via media social dengan beliau, cukuplah buat saya untuk mengatakan bahwa Mas Wahyu memiliki integritas sebelum kemudian ‘dipasangkan’ rompi orange oleh KPK beberapa hari lalu.
Jika dilihat secara singkat, Mas Wahyu bukan orang baru dalam urusan kepemiluan. Ada perjalanan karir yang sangat panjang. Dari kabupaten, provinsi hingga nasional. Sungguh, dia tidak akan sampai ke ‘puncak’ jika tidak memiliki integritas yang kuat. Yakinlah, perjalanan panjang itu telah dilewati dengan keringat dan perjuangan yang tidak ringan. Namun sayang kemudian ia ‘jatuh’ ke pelukan KPK. Begitulah beratnya merawat integritas. Tergelincir sedikit saja, bisa hancur apa yang telah dibangun selama puluhan tahun.
Sesungguhnya ada begitu banyak faktor mengapa mempertahankan integritas itu begitu berat ketimbang membangunnya. Saya mengibaratkannya, orang bisa menahan lapar begitu lama jika tidak menemukan apa pun untuk dimakan. Atau tidak ada makanan di hadapannya. Tapi yakinlah, tidak akan kuat menahan diri untuk tidak memakan sesuatu yang ada di depan matanya walaupun ada begitu banyak larangan dan hukuman yang menghalangi.
Dengan kata lain, orang dengan sangat mudah mengatakan ‘jangan korupsi’ ketika tidak ada yang bisa dikorupsi, atau tidak memiliki kesempatan dan kekuasaan untuk korupsi. Tapi bagaimana jika peluang itu terbuka lebar? Kesempatan ada di depan mata?
Di sinilah sesungguhnya ujian integritas itu. Paling tidak ada dua mata ujiannya, internal (dari dalam diri) dan eksternal (faktor luaran).
Pertarungan batin melawan diri sendiri itu tidak mudah, lebih-lebih jika kesempatan itu ada di depan mata. Bathin bergejolak di dalam diri. Pertarungan otak dan hati pasti terjadi. Alibi dan logika berkelahi. Iman dan nafsu bergejolak hebat. Iblis dan malaikat ado jotos. Adu kuat untuk menentukan menang dan kalah.
Jika sudah pada kondisi seperti ini, mempertahankan integritas persis seperti berada di medan perang. Pasti ‘berdarah-berdarah’. Mereka yang keluar dari ‘perperangan’ ini ada dua jenis; pemenang atau pecundang. Dalam konteks ini, Mas Wahyu kalah perang!
Begitu juga faktor eksternal. Godaan untuk melakukan korupsi itu datang dari berbagai penjuru, dari orang per orang, organisasi, hingga sistem. Semua bisa saja menjadi factor pendorong untuk melemahkan integritas seseorang. Dipastikan ada orang-orang tertentu yang selalu ‘kekeh’ menggoda para pemegang integritas. Tawarannya pun biasanya berbagai bentuk, dari uang, fasilitas, hingga pemuas nafsu (maaf).
Terakhir, hidup di zaman sekarang merawat integritas itu berat dan penuh godaan. Namun, bukan berarti tidak bisa. Pasti bisa! Jalannya cuma satu, dekatkan diri kepada Allah. Allah-lah sebaik-baik penjaga integritas dalam jabatan apa pun. Semoga.
*Ditulis oleh: Bahren Nurdin (Akademisi UIN STS Jambi)
sumber foto: www.ayoksinau.com
Discussion about this post