Oleh : Bahren Nurdin & Hermanto Harun*
Suasana Pilgub (Pemilihan gubernur) yang seperangkat dengan wakilnya di Jambi, semakin mendekati gelanggang pertandingan. Ada beberapa kandidat yang telah memproklamirkan diri dengan kesiapan bertarung di 2010 nanti, ada juga yang masih malu-malu mau, atau menunggu ‘wangsit’ dan titah untuk menjadi manusia nomor wahid di tampuk kekuasaan Jambi. Walau semua komunikasi dan basa-basi politik untuk merenggut kekuasan itu terus
bergerak dinamis, sambil mengukur kelaikan dan keterterimaan publik terhadap eksaptabelitas dan ketokohan diri sang calon nakhoda.Perhelatan Pilgub nantinya diperkirakan akan lebih hot dan semarak, karena kepemimpinan Zulkifli Nurdin selama dua periode lalu akan segera bersandar di darmaga akhir politik kekuasaannya. Dengan segala suka dan duka, beberapa tahun terakhir ini, biduk kekuasaan itu didayung sendirian, karana beberapa ‘penggawa’nya telah terperangkap dalam beberapa jeratan kasus hukum yang berkaitan dengan korupsi, yang akhirnya harus mengakhiri karir politik dibalakang bui. Hingga hari ini, tokoh pengganti Zulfkifli masih menjadi teka teki politik, yang baru mampu diterka dalam kasak-kusuk wacana.
Selama sepuluh tahun terakhir, Provinsi Jambi telah bergerak dengan segala dinamika politik dan pembangunan. Tentu, segala keberhasilan yang telah diraih harus diapresiasi, dengan tanpa mengendapkan berbagai macam kegagalan, ketimpangan dan hal ‘minor’ lain yang mesti diperbaiki. Semua itu menjadi ‘pe-er’ yang harus mendapat tempat untuk dikomunikasikan, agar solusi jitu dalam penyelesaiannya dapat terealiasasikan. Dengan demikian, momentum pemilihan gubernur dan wakil gubernur 2010 mendatang menjadi peristiwa penting dalam menentukan nasib negeri Sembilan Lurah ini, sekaligus dapat meretaskan harapan masa depan yang terarah dan lebih bermakna bagi identitas negeri Melayu yang masih bergelut dalam rumor keterbelakangan. Untuk mencapai semua cita itu, maka garis start yang paling urgen adalah pemantapan orientasidan pemahaman yang benar tentang apa sesungguhnya esensi atau substansi dari pemilihan kepala daerah (Pilkada) tersebut. Karena, secara konstitusional, Pilkada telah diatur di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, telah disusun aturan-aturan hukum penyelenggaraan pilkada, terlepas dari dinamika kontropersial yang menyertainya. Pilkada dipahami sebagi cara untuk mendapatkan pemimpin daerah yang bertugas menjalankan roda pemerintahan di daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Dalam pemaknaan yang lebih luas, Pilkada tidak lebih dari sebuah cara atau alat untuk menyeleksi jutaan orang raknyat Indonesia hingga didapatkan pemimpin yang dipercaya, kredibel dan laik untuk menjadi nakhoda bagi rakyatnya. Dari itu, yang berhasil lolos dari seleksi ini,idealnya mestilah orang yang terbaik, yang segala kebijakan kekuasaannya beranjak dari sensitifitas jeritan rakyat. agar harapan dan asa yang dititipkan kepada penguasa dapat terwujud seiring dengan kepercayaan yang telah mereka nobatkan. Minimal, Pilgub mendatang harus berangkat dari pemahaman di atas, sehingga hajatan demokrasi rakyat itu tidak dicederai oleh berbagai kepentingan, kecuali hanya filterisasi untuk menjaring duet putra terbaik tanah melayu ini. Ini artinya, masyarakat Jambi harus lebih objektif dalam melihat, menilai kepribadian sang kandidat, agar tidak mudah terbius oleh sekedar akuan ’terbaik’, atau cepat terkesima dengan penampilan-penampilan matrealistik, tergiur oleh berbagai pemberian yang berpoles derma, yang semua itu menyimbunyikan syahwat kekuasaan semata.
Dalam eskalasi percaturan politik Pilgub tersebut, signal akan adanya kandidat yang telah berpoles aroma “bius” culas itu akan mengemuka. Dari sini agaknya, para kandidat yang selama ini dielukan masyarakat harus tampil ke depan, dan siap mengambil momen dalam memberi pilihan kepada masyakarat. Maka, dalam kontek ini, sepertinya nyali Hasan Basri Agus (HBA) yang pernyataannya bersedia dan siap mencalonkan diri sebagai gubernur Jambi dalam Pilgub mendatang menabur harapan. Sebagai figur yang telah siap naik ke gelanggang pertandingan Pilgub itu, tentunya akan menjadi ikon masyarakat luas dalam menyaring jejak rekam kandidat pemimpinnya. Walau pernyataan siap tersebut, bagi sebagian besar masyarakat Jambi adalah pertanda sikap keseriusan sekaligus keberanian, namun bagi kompetitor politik, hal itu boleh ditengarai sebagai tantangan.
Lantas, setelah pernyataan siap bertanding, asumsi yang menggelinding ke permukaan adalah; laikah HBA menjadi figur pemangku kursi Gubernur Jambi mendatang? Jika laik, mampukah HBA membawa masa depan Jambi menuju program ’emas’ selanjutnya? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Karena, disamping akan mengklaim kebenaran sepihak, juga tidak mudah mengukur keberhasilan yang belum nyata. Namun, untuk mendapatkan jawaban yang tepat, maka tentu harus menggunakan instrumen yang tepat pula. Dengan itu, untuk memberi standar kelaikan HBA, instrumen yang paling tepat adalah me-review kiprah dan prestasinya selama sepuluh tahun terakhir, atau paling tidak selama beliau memikul amanah sebagai ’penguasa’ di Kabupaten Sarolangun. Hal yang sudah jamak, bahwa kepiguran HBA di tengah masyarakat Jambi dapat dirasakan denyutnya, paling tidak dalam rating isu kontestasi kandidat pilgub yang selalu tidak mengabsenkan namanya. Ini disebabkan oleh beberapa program kerakyatan yang diasumsikan sebagai prestasi dan keberhasilan HBA dalam menakhodai Kabupaten Sarolangun, hingga menjadi grand image yang membesarkan citra kepemimpinannya, baik di tingkat lokal maupun nasional. Sebagai sosok yang telah menaun di dunia birokrasi, perjalanan karirnya cukup tergolong mulus dan hampir tidak menemukan nokhtah hitam. Semua itu menjadi track record yang patut diapresiasi. Kepedulian sosial, kesederhanaan, kedekatan dengan masyarakat, dan religiusitas yang dimilikinya dalam menjalani kehidupan sehari-hari, menjadi added value yang membanggakan. Pola pikir kepemimpinan yang visioner dan futuristik, menjadikannya sebagai salah satu kandidat pemimpin Jambi yang berpikir global dan bertindak lokal (think globally and act lokally), artinya, sikap kepemimpinan yang mampu menggiring masyarakat dalam berinteraksi dengan tentangan global, dengan tanpa memberangus dan mengorbankan nilai-nilai kearipan lokal. Senarai asumsi subjektif di atas, jika laik untuk di-reward sebagai bentuk keberhasilan, maka semua itu jelas bukan free ticket, tapi hanyalah pondasi yang dapat dijadikan pijakan untuk memposisikan HBA sebagai salah seorang kandidat yang memiliki nilai tawar di pentas demokrasi Jambi mendatang. Dengan segala kekurangannya yang masih dirahasiakan Tuhan, setidaknya, kepribadian dan prestasi kepemimpinan HBA selama ini, laik untuk dijajakan dalam deretan putra terbaik Jambi yang pantas bernyali maju di pilgub nanti.
Akankah nyali HBA yang telah menyatakan siap bertanding di arena pilgub itu seirama dengan keberanian masyarakat dalam menggantikan ’dinasti’ kekuasaan di Jambi? Atau nyali itu baru sebatas asa untuk sekedar menyemarakkan wacana seketika. Nah, sekarang saatnya untuk bersuara, ”tepuk dada tanya selera”. Wallahualam. (Penulis adalah Dosen IAIN STS Jambi. Mahasiswa Program Master dan Doktor National University of Malaysia}
Discussion about this post