“Maaf mas saya gak bisa ikut.”
“Lhoo..kok bisa gitu? Gak seru kan kalo..”
“Maaf mas, Papa tak beri izin. Udah mas ya. Wassalam. Klick..”
“Wa’alaikum salam..” Berat rasanya menjawab salam itu apa lagi harus menutup handphone-nya tanpa mendapatkan penjelasan. Pasti ada apa-apanya negh sehingga ia mengambil keputusan secara tiba-tiba. Ia buka kembali sms terakhir dari gadis itu.
“Mas, rombongan berangkat jam 8 tepat lho. Awas kalo terlambat tak suruh push up, haaa…. Sampai ketemu besok. Wassalam”. Itulah seorang Niya yang mudah bergaul, easygoing, flexible, dan tentu saja gadis yang masih memegang teguh syariat Islam. Lhat saja pakaiannya yang selalu menutup aurat dengan baik.
Tapi mengapa pagi-pagi begini ia menelpon menyatakan tidak bisa ikut? Pasti ada yang salah atau telah terjadi sesuatu dengan keluarganya di Indonesia sana. Jam telah menunjukkan pukul 7 lewat 10 menit waktu Malaysia. Tapi ia belum juga siap-siap untuk mengikuti acara itu. Acara perkenalan anggota baru Persatuan Pelajar Indonesia yang ada di Malaysia. Dia masih penasaran dan harus mencari tahu apa sesungguhnya yang terjadi.
“Iya Mas, Niya gak bisa ikut. Barusan dia telapon saya, Papanya Niya gak izinkan pergi ke pantai. Biasaa… anak Papa… haa…” Jawab Onnie teman akrab Niya yang juga salah satu panitia kegiatan tersebut.
“Ya udah deh. Makasih ya..?”
“Ups…tunggu dulu. Keknya Mas kecewa bangat Niya gak ikut? Hayooo…..ada apa gerangan? Oke deh. Sampai ketemu nanti ya Mas. M’kum” Tak sempat ia membalas salam Onnie karena telefon diseberang sana sudah keburu ditutup.
Diam-diam ia malu juga mendengar ledekan Onnie barusan. Tapi benar juga. Mengapa ia harus kecewa? Bukankah tidak ada apa-apa antara mereka??!
Yono, nama lengkapnya Muhammad Cahyono Sugiantoro, seorang pemuda yang sedang galau dalam kegelisahaannya sendiri. Pemuda Semarang itu gelisah menata rasa dalam sukma. “Bukankah dia juga tidak tahu apa yang kurasakan?” “Bukankah aku salalu berpura-pura tuk menutupi rasaku padanya?” “Mengapa aku harus kecewa ketika ia tidak bisa ikut?” “Hmm….Tuhan..apa yang kurasa?” “Inikah rahmatMu yang bernama cinta? Jika ya, mengapa aku harus gelisah karenanya..?? Rabb…Aku mengakui keagunganMu, Jika rasa ini adalah anugrah dariMu, berikan hambaMu ini kekuatan tuk menerimanya…”
Ia masih saja mematung di jendela kamarnya menatap nanar mentari pagi yang mulai menghantam dinding beton bangunan asrama itu. Penghuni asrama yang lain masih saja membenamkan diri di dalam kamar mereka masing-masing. Sekilas terlintas di benaknya betapa pertemuan pertama itu sangat mengagumkan.
“Mas Yono ikut kan acara jalan-jalan ke Port Dickson? Bayar dong RM 20.00 nyaa..” tanya Niya saat itu. “Haloo…ikut kan Mas?” tanya Niya untuk kedua kalinya setelah memperhatian Yono yang sepertinya sedang kebingungan. Sebenarnya Yono tidak lagi kebingungan, melainkan sedang menikmati bahawa ia telah menemukan sesuatu yang istimewa. Apa yang istimewa? “Mas Yono..” ini panggilan yang paling ia suka. Lebih-lebih panggilan itu meluncur dari bibir bidadari manis di hadapannya. Di saat semua orang memanggilnya “Pak Cahyo” tapi Niya memanggilnya “Mas Yono”. Mungkin ini hal yang biasa, tapi bagi Yono saat itu aliran nada suara Niya merayap lembut melalui kupingnya dan mengalir hingga ke sanubari yang paling dalam. Itu lah kehidupan, terkadang sesuatu yang luar biasa itu hanya berangkat dari hal kecil dan biasa-biasa saja. Menurut Niya mungkin biasa-biasa saja tapi bagi Yono itu sangat luar biasa. Mulai hari itulah ia mulai mengagumi Niya. Ia ingin menempatkan Niya pada tempat yang paling istimewa di dalam hatinya karena ia telah mendapat sesuatu yang istimewa pula dari Niya. Tapi Niya tak pernah tahu tentang semua ini.
“Mas Yono jadi ikut kan? Ini sudah mau berangkat lho..” Telefon Onnie dari seberang sana membangunkan lamunan panjangnya. Ia kemudian menyambar tas yang telah ia siapkan 2 hari lalu, dan berlari menuju tempat yang telah ditentukan oleh panitia. Dari lantai empat asrama itu ia belari pontang-panting seakan tak peduli nyawa taruhannya. Coba saja kalau sampai ia terjatuh, bisa-bisa bukan Port Dickson tapi Pusat Kesihatan UKM atau lebih parah lagi Hospital Kuala Lumpur yang akan menjadi tujuannya.
Benar saja, ketika sampai di tempat yang ditentukan, dari tiga bus yang disediakan oleh panitia, dua bus pertama telah lebih dahulu bergerak. Ia berlari mengejar bus paling belakang yang juga sudah mulai berangkat. Tapi syukur Alhamdulillaah sopirnya baik hati karena masih mau berhenti melihat lambaian tangannya. Sesampai di dalam bus sudah barang tentu nafasnya bagai sapi kepanasan. AC bus tidak cukup kuat menahan lelehan keringatnya. Dengan postur yang berbobot 90 KG sebenarnya tidak mudah baginya berlari seperti tadi. Tapi itulah perjuangan demi kebersamaan. Kebersamaan? Entahlah…
Suasana di dalam bus sebenarnya cukup bersahabat. Beberapa diantara peserta menyumbangkan lagu berkaraoke menyanyi bersama. Ada juga yang tertawa. Ada lagi yang asyik ngerumpi, ada yang cerita kampung halaman, dan lain sebagainya. Tapi bagi Yono semua itu seakan hambar. Ia hanya menyaksikan rintik demi rintik hujan yang membasahi kaca bus disisi kanannya. Dalam hidup ini benarlah adanya bahwa suasana hati akan menjadi penentu. Gula pun kan terasa pahit bila hati yang getir merasakannya. Mentari pun kan jadi gelap gulita bila hati nan galau menyaksikannya.
Itulah kini yang dirasakan Yono. Semua terasa tak indah. Dua jam perjalanan hanya diisi dengan kegalauan dan kegelisahan. Pikirannya masih tak menerima mengapa Niya tak ikut. Kini hempasan ombak menerpa pantai bagai getir menghempas perasaannya. Ia sama sekali tidak tertarik dengan permainan-permainan yang disediakan oleh panitia. Lebih-lebih permainan tarik tambang. Ini permainan yang bertentangan dengan ideologinya. Menurutnya, permainan tarik tambang hanyalah permainan peninggalan para penjajah. Cara-cara kolonialisme mengadu domba masyarakatnya dengan adu otot. Orang dinyatakan hebat jika mampu mengalahkan otot orang lain. Tapi heran entah mengapa permainan satu ini tetep saja lestari bahkan dikalangan intelektual sekali pun. Lihatlah apa yang dilakukan oleh PPI saat ini. PPI adalah perkumpulan para intelektual bangsa yang di dalamnya berkumpul para sarjana dari S1 hingga S3 bahkan calon professor. Tapi ternyata masih saja hobi adu otot ketimbang adu otak untuk menyatakan unggul dari orang lain. Cara-cara yang menyedihkan. Tapi sebenarnya kesediahan itu lebih terasa lagi ketika ia tidak bisa melihat kehadiran Niya. Akhirnya, ia menemukan tempat untuk merebahkan badan di tepi pantai itu. Sejenak kemudian ia terbang membubung tinggi……
Ia terus menelusuri tepi pantai itu. Port Dickson merupakan salah satu pantai kebanggan masyarakat Malaysia. Ombak terus mendebur di pinggiran pasir nan kecil. Sebenarnya tak seimbang antara besarnya ombak dengan butiran pasir pantai ini. Pasir hanyalah butiran-butiran putih tak berdaya. Tapi karena mereka bersama kokoh jua menahan dentuman air garam itu. Kakinya ingin menendang sesutu, tapi tak ada botol minuman yang bisa ditendang, tak ada kantong plastik yang berterbangan, tak ada bongkahan pepohonan yang nyasar. Pantai nan bersih dan menyenangkan. Hanya ada burung-burung laut berterbangan. Ia terus berjalan memisahkan diri dari rombongan.
“Hayoo….ngelamunin saya ya..?” Teriak Niya tiba-tiba dari belakang saat langkahnya terus gontai mengitari pantai. Ia bingung dari mana datang gadis itu, ia melihat ke arah belakang, ke depan, ke atas dan kebawah. Tapi biarlah tak perlu ia pertanyakan. Yang jelas ia bahagia kini Niya hadir saat yang tepat. Saat ia membutuhkan teman berjalan dipinggir pantai seperti saat ini.
“Lho..katanya Papa mu gak bolehin kamu ikut? Sekarang kok di sini? Emang tadi naik apa ke sini? Dengan siapa?” tanya Yono curiga.
“Udah gak usah banyak tanya. Yang penting sekarang aku udah di sini. Kamu bahagia kan?”
“Yah…kok kamu GR amat see..? gak ngaruh lagi, kamu ada atau tidak?” Yono mencoba berbohong demi sebuah harga diri. Ia masih mencoba menyembunyikan perasaanya. Heee..itulah lelaki dan harga diri. Ya..!! harga diri adalah satu-satunya kekayaan seorang lelaki. Biasanya seorang lelaki, jangankan hanya berbohong, nyawanya pun akan dikorbankan demi sebuah harga diri. Benar kah..????
“Jujur saja Mas. Tidak usah bohongi hati mu. Mas boleh berbohong dengan semua orang tapi tidak pada hatimu. Yakinlah, mas telah menyimpan sesuatu dalam hati mu sejak pertemuan kita pertama. Ya kan Mas..?” Pertanyaan itu menghujam ke hulu hati Yono.
Mereka terus berjalan berdua. Tentu mereka tidak bergandengan tangan seperti pengunjung lainnya. Bukan muhrim dan dilarang oleh agama. Dan tidak pula berduaan karena ada begitu banyak pengunjung yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Romantis dan mesra tak harus mengorbankan norma agama. Anak-anak sibuk membuat bangunan dari pasir untuk dihancurkan oleh ombak nan garang. Para pemuda bermain sepak bola di ginggir pantai. Beberapa orang lagi hanya berjemur menikmati mentari sore. Sebentar lagi mata hari kan tenggelam di ufuk barat. Romatis dan syahdu.
“Niya…boleh aku jujur? Salahkah bagiku memiliki rasa ini? Aku ingin mencintaimu…? Aku ngin membagi separuh hatiku untuk mu. Tuk kau jaga dan kau miliki” Pertanyaan itu pun menghentikan langkah Niya.
“Mas….aku…” tiba-tiba suara Niya terhenti dan terputus.
“Duuukk….” Sebuah bola tiba-tiba menghantam kepala Yono dan ia pun terbangun dari mimpi indahnya.
“Hoi…kalo mau tidur gak usah di sini. Tidur saja di asrama haaa….” Ejek Robby pada Yono saat melihat Yono baru terbangun dari tidur panjangnya. Yono pun terbangun dan menyaksikan ke sekelilingnya. Orang-orang melihat ke arahnya semua. Entah berapa lama ia tertidur di tepi pantai nan damai itu ditemani angin pantai nan semilir. Sebuah episode hatinya pun telah terlewati walau hanya lewat sebuah mimpi. Walau semuanya terasa hampa tak bermakna tapi cukuplah tuk mengobati rasa yang ia miliki.
Kini acara sudah selesai. Mentari pun tidak lagi siang. Perlahan ia masuk tenggelam bersama ombak sore. Laut nan biru kini memerah menyambut malam yang sesaat lagi menghampirinya. Ia mencoba untuk terakhir kali berdiri menyaksikan mentari tenggelam di ufuk Barat. Sunset yang tersenyum bisu mempertanyakan hatinya. “Wahai Niya-ku, adakah kau tahu, aku sangat ingin membagi separuh hatiku untukmu. Untuk kau miliki selamanya. Niya…biarlah pertemuan kita di mimpiku menjadi perjalanan terindah yang pernah kumiliki. Aku tau, andai pun kau ada di sini, tak mungkin kita berjalan seperti tadi. Biarkan aku tersenyum seindah senyuman senja. Biarkan ku jaga rasa ini seperti laut menelan matahari sore. Rasa itu kan damai di hatiku. Niya…aku tak tahu sampai kapan rasa ini harus kupendam..?” Yono meninggalkan pantai itu bersama rombongan. (bhn)
Malaysia, 31 Juli 2008 (13:29)
Sepenggal cerita tuk Mas Cahyo
Discussion about this post