“Astaghfirullah al-‘Azim”
Hanya itu satu-satunya kata yang terucap di mulut Aan dibarengi rasa kaget saat melintas di sisi mobil mewah itu. Ia ingin menoleh sekali lagi ke belakang dan menghentikan langkahnya untuk memastikan apa sesungguhnya yang terjadi. Tapi itu tidak mungkin ia lakukan. Tidak perlu ia pastikan lagi karena tadi memang sudah jelas walau agak remang bercahayakan lampu jalan. Sudah jelas yang di dalam mobil itu adalah Aini alias Siti Erawati Husnaini
Dia tetap melangkah dengan sejuta tanya di dalam benaknya sambil menanti bis kampus melewatinya. Rasanya tidak masuk di akalnya gadis itu melakukan perbuatan sehina itu. Mungkinkah aktivis da’wah kampus sekaliber dia melakukan perbuatan sejelek itu. Perbuatan yang jelas-jelas dilarang agama. Jelas sekali di matanya ketika ia melewati mobil itu tadi Aini sedang berbisik mesra dan kemudian dicium keningnya oleh seorang lelaki yang ia yakini lelaki itu bukan muhrim atau suaminya. Aini belum menikah. Dia tahu persis tentang gadis itu. Dicium? Rasanya tidak mungkin..! Di mana harkat wanita yang selalu dia isukan dalam setiap diskusi? Bukankah perbuatan seperti ini akan merendahkan harga dirinya sendiri? Atau…selama ini Aini hanya bertopeng dengan jilbabnya yang lebar dan panjang? Hapalan haditznya yang se-hardisc. Kegiatan agamanya yang selalu padat. Wah..kejadian ini benar-benar mencuri naluri keingintahuannya. Tapi…untuk apa? Bukankah itu urasan pribadi Aini?
Ia terus melangkah menyisiri trotoar kampus kebanggan tanah Melayu itu. Pemuda yang bernama lengkap Budiman Zulkarnaen itu memang sangat suka menelusuri jalanan di kampus ini. Ia suka dengan suasana yang masih alami. Pohon-pohon nan rindang masih menjadi payung penghuninya ketika panas datang. Tapi kini tak lagi panas karena magrib baru saja berlalu. Tapi beginilah kampus ini, datangnya malam tak menghentikan detak nadinya. Fakultas masih ramai dengan mahasiswanya. Kantor-kantor administrasi masih dipenuhi para karyawan. Kelas masih merdu dengan ayat-ayat ilmu dari para dosen. Bis kampus belum berhenti tuk mengangkut para pengembara pengetahuan yang bergerak dari satu fakultas ke fakultas lain. Mobil dan motor masih sibuk menggelindingkan rodanya. Mungkin inilah cermin dinamika sebuah peradaban haus ilmu.
Akhirnya sampailah ia di tempat perhentian bis kampus di mana ia biasa menunggu. Di depan perpustakaan kampus yang juga tercatat sebagai perpustakaan terbesar di Asia Tenggara. Di sana sudah ada beberapa mahasiswa lainnya yang sedang menunggu. Mereka ini tetntu adalah yang segolongan dengan dirinya. Segolongan karena sama-sama tidak memiliki kendaraan pribadi. Tak ada motor apalah lagi mobil. Tapi baginya menunggu bis di kampus ini adalah kesengan tersendiri dalam mengukir sebuah memori. Rasanya tak cukup sepuluh buku diari tuk menceritakan kisah yang terlewati di dalam kampus ini khusunya perjalanan hari menanti bis kampus. Tapi bagi dia biarlah semua itu terukir di jejak memori langkahnya.
Lima menit kemudian bis yang ditunggu datang, tapi bukan bis kampus yang ia nanti namun bis umum yang bernama RapidKL. Bis umum yang mengangkut mahasiswa UKM yang tinggal di luar kampus. Niatnya untuk menuju fakultasnya di Fakultas Pendidikan untuk menemui dosennya ia batalkan. Fakultas Pendidikan berjarak sekitar tiga kilo meter dari perpustakaan Tun Seri Lanang tersebut. Dengan bis itu ia kemudian memilih pulang ke kos alias Rusun di Hentian Kajang. Di daerah inilah para pelajar asal Indonesia tinggal bersama TKI dan PATI alias Pendadatang Asing Tanpa Izin. PATI sesungguhnya hanya pemanis mulut dari kata Pendatang Haram sebagai sebutan untuk para TKI yang datang tanpa dokumen yang sah. Tapi memang agak sulit menetukan mana yang pati dan mana yang tidak. Tapi apa pun sebutan itu yang jelas mereka adalah anak bangsa Indonesia yang mencoba hidup di negeri tetangga ini. Mereka sesungguhnya sedang mencari suaka hidup. Mereka terusir dari negeri yang katanya subur. Mereka lari dari perbantahan para negarawan dan politisi yang katanya memperjuangkan hak rakyat. Meraka merasa tak lagi nyaman di negeri mereka sendiri. Mereka terjajah di negeri sendiri oleh bangsa sendiri. Ah sudahlah…
“Assalamua’laikum…”
“Wa’alaikum salam”
“ Anti kekampus gak tadi? Eh..ketemu Aini gak?”
“Mmm…tadinya iya sih… tapi katanya mau ke perpus. Jadi aku pulang duluan. Emang napa?” Tanya Anti, teman akrab Aini. Mendengar jawaban ini berdesir darah Aan karena dugannya tidak salah. Tidak salah itu adalah Aini. Haruskah ia beri tahu Anti?
“Halooo….. gimana see? Kok diam. Emang ada apa An?”
“Mmm…gak see. Mmm..gak tanya aja. Makasee ya Nti..” Jawab Aan seadanya
“Ya udah…rindu ya… haaa…. M’laikum” Pungkas Anti sambil menutup hanfon nya di seberang sana. Bagi Aan ledekan Anti tadi tidak lagi menjadi soal. Banyak memang gosip yang beredar bahwa dirinya sedang menaruh hati ke Aini. Tapi itu tidak mungkin. Aini adalah aktivis kampus yang cantik, alim, cerdas, rajin, dan sudah tentu menjadi dambaan setiap aktivis kampus lelaki. Dia sadar bahwa dirinya tidak sealim Wahab, Azwar, Rianto, Nurdin, dan beberapa aktivis kampus lainnya. Dirinya aktivis kampus yang sering di cap liberal oleh teman-temannya. Dia tidak memanjangkan jenggot, atau memakai baju gamis. Baginya hubungan pertikal ke Tuhan tidak perlu di lambangkan dengan apa pun termasuk kopiah haji atau baju gamis. Tapi harus dilakukan dengan benar. Menurut pemahamannya yang dangkal itu bahwa baju gamis adalah kebudayaan orang Arab. Jadi orang non muslim di Arab pun memakai baju tersebut. Menurutnya sekarang banyak orang yang salah memahami makna beragama dan ber-Tuhan. Ketaqwaan tidak bisa disimbolkan dengan hanya berbaju gamis dan berjenggot panjang. Bagaimana dengan Aini? Berjilbab panjang. Tapi…
Teka-teki Aini ternyata tidak hanya dirasakan oleh Aan. Beberapa teman sekampusnya juga pernah menyaksikan hal yang sama. Tapi mereka saling menjaga rahasia dan salaing mencari kepastian. Dua minggu sudah berlalu dari kejadian itu namun titik terang pemastian dugaan itu belum juga terkuak. Pertanyaan yang harus dibuktikan adalah benarkah gadis itu Aini? Tidak boleh menuduh tanpa bukti yang kuat. Ia harus mentaati aturan main hukum yaitu praduga tak bersalah. Jadi dugaan pertamanya harus positif bahwa Aini tak bersalah. Inilah hukum yang terkadang dijadikan tameng bagi pelanggar hukum. Banyak anggota DPR RI yang melakukan tindak korupsi berlindung di balik praduga tak bersalah. “Buktikan dulu” Kata mereka. Ya siapa yang bisa membuktikan wong buktinya sudah dimusnahkan tterlebih dahulu. Jadilah kasus korupsi di Indonesia seperi kentut. Bau busuk ada tapi tak kelihatan.
“Aku harus menangkap basah Aini” Dalam hatinya. Tapi untuk apa? Apa pedulinya? Kalau pun ia berhasil menangkap basah Aini, akan diapakan? Haruskah ia mempermalukan temannya sendiri? Rasanya tidak bijak. Tapi di sisi lain ia juga harus saling mengingatkan. Aini harus diingatkan. Masih bersyukur yang mengetahui kasus ini hanya dirinya dan dua atau tiga orang lainnya, bagaimana jika seluruh mahasiswa Indonesia tahu? Bukannkah ini akan mencoreng nama organisasi, agama dan bangsa. Ini harus di cegah. Negara Indonesia telah terlalu banyak tercoreng oleh tangan-tangan anak bangsanya sendiri. Muka negeri itu telah terkoyak oleh noda-noda hitam kejahatan. Bahkan di negeri Melayu ini, Ibu Pertiwi tidak labih nilainya dari sebuah negeri buruh. Aini tidak boleh menambah daftar kelam ini. Paling tidak inilah alasan Aan tuk mengingatkan Aini. “Maafkan aku Aini..” dalam hatinya.
Seperti yang telah ia rencanakan sendiri, sore ini ia kan mengungkap ‘kejahatan’ Aini. Sudah tiga minggu terakhir setiap malam minggu Aini selalu datang ke perpustakaan ini dengan cowok. Ia harus buktikan dan mungkin inilah cara untuk menyelamatkannya. Paling tidak dia tidak ingin gadis itu jatuh ke dalam jurang yang telalu dalam. Paling tidak masih bisa diselamatkan. Ini bukan dengki atau berkeinginan menguak aib orang lain. Tidak. Ini salah satu dakwah mencegak perbuatan amar ma’ruf nahi munkar. Mudah-mudahan Aini mampu memahami niatnya.
Lima belas menit ia menuggu, tepatnya pura-pura menuggu bis di halte bis itu, apa yang ia tunggu benar-benar datang. Sebuah sedan mewah yang dulu ia lewati berhenti sekitar 20 meter dari halte. Nampaknya usahanya kali ini tak kan sia-sia. Remang lampu jalan mampu memberikan cahaya untuk melihat dari jauh siapa yang ada di dalam mobil itu. Aa tidak ingin aksinya diketahui dengan pura-pura melihat mobil lain. Ia lihat seperti biasa di dalam mobil itu ada dua orang, laki-laki dan perempuan. Itu pasti Aini dan Mr. X. Tak lama kemudian aksi dimulai. Si Mr. X melakukan hal yang dulu peranah ia lihat. ““Astaghfirullah al-‘Azim” dalam hatinya. Tak lama kemudian mereka kelur dari mobil dari pintu yang berbeda. Perhatiannya dia coba alihkan ke Mr. X. Wow…bukan orang melayu tapi berpostur Arab. Luar biasa. Tapi memang sepadan dengan Aini yang juga tinggi semampai, berjilbab besar dan panjang. Jika Aini memakai cadar atau orang Arab menyebutnya niqob, pasti tak ada yang tahu Aini anak Jawa Barat. “Aku harus beraksi..” Aan menguatkan diri.
Setelah mengunci mobil mereka pun akan menyebrang jalan dari tempat parkir mobil yang ada disisi lain jalan itu. Perpustakaan itu berada di sisi kanan jalan sementera mereka parkir di sisi kiri jalan. Aini langsung saja menyambar tangan si Mr. X tanpa ragu. Wow..seperti suami istri yang sudah menikah puluhan tahun. Si Mr. X pun tidak memegang tangan Aini tapi malah merangkul bahunya mesra. Lagi-lagi Aan ber-isitighfar dalm hati.
“Aini, tunggu….” Teriak Aan sebelum mereka melangkah menyebrang jalan. Orang yang dipanggil pun menoleh namun tampak bingung. Aan jalan terus mendekat kearah mereka. Mencoba tenang dan wibawa, Aini dan lelaki itu pun tak melangkah. Mr. X masih saja merangkul bahunya. Aan tak peduli, ia terus mendekat. Tapi sempat gentar juga dalam hatinya. Jika Cowok itu marah dan memukulnya nanti pasti berabe. Rasanya jauh lebih besar dari dirinya. Jangkung dan kokoh. Aini yang menurut ukuran orang Indonesia sudah semampai saja dengan enak dirangkul bahunya.
Masih tersisa beberapa meter di hadapan Aan, tiba-tiba bis RapidKL melintas dan berhenti di halte tersebut. Aan tak peduli. Dia tidak sedang menuggu bi situ, tapi mau meyelesaikan urusan yang lebih penting. Urusan meyelamatkan nama baik bangsa dan agama. Dia tidak ingin si Arab ini menginjak-nginjak harga diri gadis negerinya.
“Anda panggil kita?” Tanya Aini.
“Aini…kamu lupa aku?” Tanya Aan heran. Masak Aini lupa dirinya? Wah gawat nih. Mentang-mentang dengan pacarnya, Aini pura-pura tidak tahu dengan dirinya.
‘Aini..? apa awak cakap?” Tanya Aini lagi. Aan tambah bingung dan mulai kesel. Tapi dia tidak boleh cepat naek darah. Ia harus sabar menghadapi sandiwari Aini. Sekarang Aini telah berbahasa Melayu. Namun beberapa saat kemudian….
“An…hei…lagi ngapain?” Suara itu mucul dari belakangnya. Dari salah seorang yang baru saja turun dari bis RapidKL. Ia hapal suara itu.
“Antum gak ikut rapat PPI ya? Kok masih di sini? Suara itu semakin mendekat.
Aan terpaksa menoleh ke sumber suara.
“Subhanallah…Aini…?” Aan kaget luar biasa. Kagetnya Aan juga diikuti kaget dua orang yang ada dihadapannya. Aini pun kaget tidak ketulungan.
“Bagaiman bisa kita mirip seperti ini..?” teriak Aini kaget dan sekali lagi memperhtikan wanita yang ada dihadapannya.
“Masya Allah… Allahu Akbar…ini kuasa Tuhan” Jawab Mr. X yang baru saja melepaskan tangannya dari bahu “Aini”.
“Kenalkan, ini isteri saya Nurul. Saya Fazli..” Mr. X memperkenalkan isteri dan dirinya dengan logat Melayu totok. Kemudain mereka saling berjabat tangan. Kecuali Aini tentunya yang tak mau menjabat tangang Fazli. Aan salah, bukan orang Arab tapi nampaknya orang Melayu keturunan India plus Arab.
“Saya Aini, Ni teman saya Aan. Kami dari Indonesia…, kita mirip ternyata.” Balas Aini sambil berjabat tangan dengan Nurul saudara ‘Kembarnya”.
“Wah..malam ini saya dapat dua..hhhaaa….” Jawab Fazli, Encik Fazli berseloroh ramah. Aan masih saja senyum-senyum melihat kejadian ini. Ia seakan tak percaya. Kalu lah ini bukan kuasa Tuhan, mungkin ia akan protes. Bagaimana mungkin Aini mirip persis Nurul bak ping dibelah dua.
“Oh..ya kami ke perpus dulu ya. Saya buat master di FSSK. Bila da kelapangan kita berbual lagi…” Pamit Nurul.
“Ni kad nem saya. Boleh kol saya bila-bila. Ok. Asslamu’alaikum” sambung Encik Fazli setelah menyerahan kartu namanya ke Aan yang masih saja senyum-senyum sendiri. Bingung, seakan tak pecaya, dan entah apa lagi yang ia rasakan.
“Wa’alaikum salam” Jawab Aan dan Aini serentak. Menyaksikan dua suami istri itu menyebrang jalan dengan bergandeng tangan.
“Hoi…jangan diliatin. Mereka halal lagi… dosa lamaan liatnya” Bentak Aini melihat Aan yang masih saja senyum-senyum melihat kedua orang itu.
“Eh Aini aku minta maaf ya…”
“Maaf apaan. Iya nih lho udah telat rapatnya. RapidKL udah gak ada lagi loh. Udah pegi sana. Ana mau temui teman dulu di perpus. Nanti hasil rapatnya muat di milis ya…Ok. Moga sukses. Asslamu’alaikum”
“Waalaikumsamal” Jawab Aan sambil melangkah menuju halte sambil menuggu RapidKL selanjutnya. Aini pun melangkah menuju perpustakaan tanpa tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
“Aini… moga ini bukan bagian dari dosa. Aku yakin suatu saat nanti kan kucetirakan ini pada mu… Maafkan aku, Aini”…(Bhn)
Malaysia, 7 Agustus 2008 (o1:13)
Discussion about this post