Saya teringat melewati hari-hari ketika baru saja lulus dari perguruan tinggi pada pusaran tahun 2003. Saat itu saya sadar betul bahwa saya seorang fresh graduate yang masih gamang melihat dunia dan diri sendiri. Tapi, satu hal yang paling mengganggu pikiran saya saat itu adalah bagaimana orang menilai saya. Bagaimana saya diberi nilai. Dan, yang paling saya takuti adalah saya dinilai dan diukur dengan materi.
Ada rasa cemas dan takut yang luar biasa jika suatu saat orang ‘melihat’ saya dari rumah yang saya diami, kendaraan yang saya tunggangi, uang yang saya miliki, bentuk fisik yang saya punyai. Pokoknya dari sesuatu yang bersifat materi. Mengapa saya takut? Sederhana saja, karena saya tahu bahwa semua yang bernilai material akan mudah menghilang dan musnah dimakan masa. Sesingkat dan sekerdil itukah saya dinilai?
Secara gamlang paling tidak ada dua nilai penting dalam kehidupan kita yaitu nilai yang bersifat material dan immaterial. Nilai material (nilai jasmani) adalah nilai yang berwujud, dapat diraba dan dilihat yang memiliki karateristik mudah berubah wujud karena sebab tertentu. Lapuk dimakan usia. Nilai material contohnya rumah, gedung, jembatan, kendaraan, uang, alat-alat elektronik, karya seni, pakaian dan lain sebagainya.
Sedangkan nilai immaterial (nilai rohani) adalah nilai yang menggunakan nurani dan juga indera, akal, perasaan, kehendak dan keyakinan. Nilai material adalah nilai yang sulit untuk berubah, contohnya ideologi, keyakinan, gagasan (ide), pemikiran (ilmu pengetahuan), sistem politik, peraturan-peraturan, dan lain sebagainya yang bersifat abstrak.
Mungkin terlalu sempit jika artikel singkat ini harus mengupas tuntas tema yang sesungguhnya tidak sederhana. Namun, saya ingin membuatnya sederhana dalam konteks pandangan kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari. Bagaimana nilai-nilai itu bisa kita rasakan dalam pergaulan sehari-hari, baik bergaul dengan orang lain maupun diri sendiri.
Nilai-nilai immaterial mulai tergerus karena kehidupan masyarakat kita saat ini sudah terlalu ‘terbius’ oleh segala sesuatu yang bersifat materi (materialistik).
Ada pula kecenderungan untuk mengabaikan hal-hal yang tidak kasat mata. Jika tidak nampak atau tidak dapat diraba, dianggap tidak ada. Dampaknya, penilian-penilian yang dilakukan hanya berdasarkan yang nampak saja.
Celakanya, cara berpikir ini dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menonjolkan yang nampak saja alias pencitraan. Dengan menggunakan berbagai media, pecitraan dapat dilakukan untuk menunjukkan yang luaran belaka. Kualitas sebenarnya ditutupi sedemikian rupa.
Melalui tulisan singkat ini, saya ingin kembali mengingatkan kita semua untuk tidak abai terhadap sesutu yang bersifat immaterial (kualitas). Tidak ada yang salah dengan membangun rumah megah, membeli mobil mewah, harta melimpah tapi harus diingat bahwa semua itu akan ‘rusak’ pada masanya.
Kita seharusnya lebih banyak membangun sesuatu yang bernilai immaterial seperti gagasan, ide, ilmu pengetahuan dan seterusnya.
Inlah sebaik-baik warisan yang bisa kita tinggalkan ketika harus berpisah dengan dunia yang fana ini. Gagasan-gagasan dan ide brilian yang ditinggalkan akan hidup bertahun-tahun, mungkin ribuan tahun setelah kepergian kita nanti, sementara yang bersifat material akan lapuk dimakan usia.
Kesimpulannya, di tengah arus globalisasi pemikiran saat ini dimana masyarakat selalu disuguhkan pemikiran yang bersifat materialistik, kita tidak boleh terlena dan terbawa arus apa lagi terjerumus.
Yakinlah bahwa meninggalkan gagasan dan ide sebagai warisan di dunia ini adalah salah satu warisan terhebat karena ia ‘tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan’. Sesuatu yang tidak nampak bukan berarti tidak ada.
Discussion about this post