Oleh: Bahren Nurdin, MA
Siapa sebenarnya pemenang sejati itu? Rasanya asyik juga untuk dibahas karena tidak lama lagi ummat Muslim akan menyambut hari kemenangan yaitu hari raya Idul Fitri. Pertanyaan selanjutnya, kemenangan dari apa? Idealnya, seseorang akan disebut pemenang ketika ia mampu menjadi unggul dari yang lain. Pemenang balam perlombaan balap motor ketika ia mampu menjadi yang tercepat. Pemenang dalam pertarungan silat ketika ia menjadi yang terkuat. Pemenang dalam lomba menyanyi ketika suaranya yang paling merdu, dan seterusnya.
Lantas, mengapa seseorang disebut sebagai pemenang ketika merayakan hari raya Idul Fitri? Mana medan juangnya? Ternyata medan juangnya adalah Ramadhan. Jika begitu, untuk melihat kemenangan yang diperoleh pada Idul Fitri, harus pula dilihat bagaimana kisah perjuangannya saat Ramadhan. Jangan-jangan mengaku menang tapi sesungguhnya tidak berjuang. Menang tanpa perjuangan adalah kemenangan semu. Pecundang!
Konsep dasarnya adalah semakin keras perjuangan untuk memperoleh suatu kemenangan itu maka semakin manis pula kemenangan yang didapat. Dan sebaliknya, semakin mudah perjuangan yang dilalui, semakin hambar makna kemenangan yang dirasakan.
Ramadhan memang menawarkan kedua-duanya; keras dan mudah. Pilihannya ada pribadi masing-masing. Sangat bergantung pilihan mana yang hendak ia pilih. Itulah mengapa kemudian melalui hadits agung yang diriwayatkan langsung oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam dari Rabb-nya, bahwa Dia berfirman “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untuk-KU dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung ”. (HR Bukhari). Ini merupakan jalur khusus hubungan personal antara hamba dan Rabbnya.
Disitulah letak keistimewaan Ramadhan. Seseorang memiliki kebebasan untuk menentukan perjuangan yang dia lalui. Dia bisa besungguh-sungguh demi Allah atau berpura-pura demi manusia. Semua memiliki konsekuensi. Jika ia memutuskan menjalankan amalan-amalan di Ramadhan karena Allah maka Allah-lah yang akan menentukan pahala yang ia terima. Dan sebaliknya, jika yang dilakukan hanyalah untuk menutupi aibnya dari orang, maka kemuliaan di mata orang-lah yang ia dapatkan.
Inilah konsep kemenangan itu. Pemenang sejati adalah orang-orang yang mempu menjadi pemimpin atas dirinya sendiri. Ia mampu menaklukkan dirinya untuk menjadi sebenar hamba di hadapan Allah. Mari kita lihat beberapa ciri mental para pemanang sejati. Jika ciri-ciri ini tidak terpenuhi, boleh jadi ia mengaku menang dan ikut merayakan kemenangan, namun sesungguhnya ia sedang merayakan kebohongan dirinya sendiri.
Pertama, menjunjung tinggi kejujuran. Ini adalah mindset-nya para pemenang sejati. Pada konteks Ramadhan, mudah saja untuk membohongi orang lain untuk menunjukkan bahwa dirinya sedang berpuasa. Dengan hanya berpura-pura lemas dan lapar, orang akan percaya bahwa ia sedang berpuasa, walaupun dia sedang kekenyangan. Begitu juga amalan-amalan lain yang sangat mudah untuk ‘dicitrakan’ di mata manusia.
Tapi apakah ia bisa membohongi dirinya sendiri? Tidak akan pernah. Mental seorang pemenang sejati akan mengeluarkan segala daya dan upaya yang ada untuk mengalahkan segala bentuk kejahatan dalam dirinya sebelum kemudian ia mengalahkan kejahatan dari luar (eksternal). Dan ini tidak mudah, bahkan lebih sulit dari menghadapi lawan dari luar.
Berlaku jujur memerlukan perjuangan yang sangat keras. Perjuangan dari dalam diri. Ramadhan kemudian menjadi medan tempur untuk membentuk kejujuran. Ramadhan menjadi media pendidikan untuk tidak membohongi diri sendiri dan orang lain. Jika demikian, apakah masih manis nilai kemenangan yang dirayakan pada saat Idul Fitri jika selama Ramadhan ia sudah kalah melawan kejujuran?
===Bersambung.
#BNODOC17020062017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post