Oleh: Bahren Nurdin, MA
Air hujan yang ‘bertamu’ di Kota Jambi beberapa hari lalu berbisik, “Kalian tidak sediakan ruang dan wadah untuk kami mengalir, jadi jangan salahkan kami jika harus ‘bertamu’ ke rumah kalian, assalamu’alaikum”. Banjir!
Saya ingat pengalaman beberapa tahun silam. Suatu waktu, saya bersama beberapa kawan mahasiswa menunggu bis. Bis yang kami tunggu bernama Rapid-KL. Bis yang biasa menganggkut mahasiswa Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) pulang dan pergi dari kos (flat) ke kampus. Kos kami berada di sebuah kota kecil yang tidak terlalu jauh dari kampus. Ketika menunggu itu, saya memegang beberapa koin dan tanpa sengaja menjatuhkannya ke dalam drainase dimana tempat saya berdiri. Ketika mau mengambil koin tersebut saya baru sadar ternyata saya beridiri di atas drainase yang begitu besar. Dari sela-sela besi penutup drainase itu saya dapat melihat bahwa drainse itu lebar dan dalam, diperkirakan tidak lebih kecil dari sebuah mini bus.
Saya memang kehilangan koin untuk membayar ongkos bis, tapi saya mendapat pengalaman bagaimana negara itu serius menangani masalah drainase. Saya tidak habis pikir, kota sekecil itu memiliki drainase yang sangat ‘serius’. Setelah saya amati lebih jauh, wajar saja drainasenya harus besar karena hampir semua hamparan di kawasan itu telah dibangun flat yang menjulang dan hanya menyisakan beberapa kawasan hijau. Drainase menjadi sangat vital jika tidak mau hujan murka mencari jalan sendiri masuk ke rumah-rumah.
Tidak bermaksud membandingkan ‘apple to apple’, tapi rasanya agak miris melihat apa yang terjadi di negeri ini. Negeri saya tercinta. Bencana mereka buat sendiri, tapi kemudian dengan enaknya menyalahkan alam atau bahkan marah kepada Tuhan.
Coba perhatikan dengan baik. Ruko dibangun semena-mena. Danau-danau atau rawa ditimbun suka-suka. Sungai dipersempit hingga mengecil. Drainase dibangun asal jadi. Perumahan menjamur tanpa izin dan pengkajian dampak lingkungan. Jangan heran jika ada perumahan yang limbah rumah tangganya mengalir ke jalan karena tidak ada drainase. Lahan jijau tinggal gambar di buku-buku anak sekolah. Fasilitas umum hanya ada di atas kertas para pengembang. Faktanya, nihil!
Dengan segala kondisi itu, ketika banjir melanda karena diguyur hujan, semua manusia berteriak menyalahkan alam dan bahkan Allah. Para pemimpin pun kemudian sibuk mencari alibi. Banjir dijadikan media untuk saling berargumentasi dan mencaci maki. Atau, paling pas untuk dijadikan isu politis dan memoles citra diri.
Bukankah manusia di dunia ini tahu bahwa Allah telah mengingatkan di dalam Al-Quran, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Jadi, ambil postifnya saja bahwa kejadian banjir dadakan yang terjadi beberapa hari lalu melanda Kota Jambi dan beberapa kota di Indonesia hanya sebagai bukti bahwa Allah betul-betul menunjukkan ‘akibat perbuatan mereka sendiri’ dan cara-NYA untuk mengajak manusia ‘kembali ke jalan yang benar’.
Jika begitu, seharusnya kejadian itu dijadikan media untuk belajar bagi siapa saja, dari pemimpin hingga rakyat biasa. Semua salah! Semua harus pula memperbaiki diri.
Akhirnya, kepeduliaan terhadap lingkungan itu harus menjadi milik bersama. Jika abai, maka yang terkena dampaknya tidak hanya orang per orang, tapi semua orang. Pemerintah tidak boleh ‘main-main’ dengan pembangunan yang asal jadi. Tegakkan aturan dengan baik. Masyarakat juga harus terus bahu membahu menjaga lingkungan tempat tinggal. Ubahlah mindset bersama bahwa bencana bukan karena alam, tapi ulah tangan kita sendiri!
#BNODOC16616062017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post