Oleh: Bahren Nurdin, MA
Dalam keseharian yang dijalani, yakinlah ada orang-orang yang membuat kita menjadi marah, kesel, sedih, bahkan membuat kita menangis. Ya, begitulah hukumnya mahkluk sosial yang selalu hidup bersama orang lain. Tidak semua orang yang bergaul dengan kita membuat kita senang dan bahagia, tapi kita memang harus hidup dan bergaul bersama mereka dengan berbagai alasan dan kondisi.
Lingkungan terkecil dalam keluarga, agak besar di tengah masyarakat, dan lebih luas lagi pergaulan dunia maya (medsos). Banyak hal yang dapat memicu perselisihan dan pertentangan dalam suatu pergaulan, dari hal remeh-temeh hingga yang besar lagi berat. Terkadang, masalah-masalah itu muncul dan berlarut-larut bukan karena masalah itu sendiri, namun sikap terhadap masalah tersebut yang tidak benar.
Hal yang paling sering sebagai pemicu perselisihan adalah keinginan untuk menyampaikan apa yang dipikirkan dengan maksud menjelaskan. Namun dalam kondisi-kondisi tertentu ternyata penjelasan yang ingin disampaikan belum tentu dianggap baik oleh orang yang mau dijelaskan. Inilah kemudian memicu terjadinya perdebatan dan adu argument.
Ketika masing-masing pihak merasa ‘perlu’ menjelaskan dan bertahan dengan pandangan juga pendapat sendiri, maka terjadilah perdebatan yang ternyata beda tipis dengan bertengkar. Pertengkaran (saling serang dan adu argument) yang terjadi tidak jarang pula berujung dengan saling menyakiti. Hal ini bisa terjadi secara langsung maupun di dunia maya.
Pada kondisi ini, diam adalah solusi. Inilah masalahnya. Ternyata diam dan menahan diri untuk tidak menjelaskan apa pun, sangatlah tidak mudah. Sangat berat.
Lebih-lebih yang dituduhkan kepada kita itu tidak benar. Apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak sama dengan apa yang dipersangkakan. Apa lagi, kata-kata yang dilontarkan kepada kita sangat menyakitkan. Ditambah pula, apa yang telah kita perbuat dianggap tidak berarti. Rasanya ingin berteriak. Inilah yang membuat diam itu tidak mudah. Memang, pada kondisi seperti ini, diam hanya mampu dilakukan oleh orang-orang pilihan.
Orang seperti apa yang mampu diam menghadapai kondisi seperti ini? Orang yang telah menyediakan dirinya untuk ‘enjoying the pain’. Mereka yang telah dengan tenang menikmati rasa sakit. Rasanya memang sakit sekali ketika kita diabaikan, tidak dianggap, diremehkan, dibandingkan, dicaci, dihina, difitnah, dan sebagainya. Semua rasa ‘sakit’ itu dinikmati dengan diam. Keren.
Apakah diam dapat menyelesaikan masalah? Minimal tidak menambah masalah. Karena pada kondisi emosi yang meninggi, akan ada kecenderungan mengeluarkan kata-kata atau perbuatan-perbuatan yang di luar kendali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi rambu-rambu, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Pilihannya cuma satu diantara dua, berbicara baik atau diam. Jika tidak mampu berkata baik, maka diam. Jika tidak mampu diam maka barkatalah dengan baik. Pada kondisi normal mungkin mudah. Tapi jika sedang emosi, pasti berat, apa lagi harus berkata baik. Maka diamlah!
Jika diurai lebih jauh, sebenarnya banyak juga fungsi diam dalam kondisi seperti ini, diantaranya diam bisa memberi jeda pada emosi yang sedang memuncuk untuk meredam. Diam bisa mengurangi stress atas ketidakterimaan perlakuan dari luar diri. Diam bisa dijadikan kesempatan untuk mengatur srtategi penyelesaian masalah. Diam membuat susah ditebak. Dan sebagainya.
Akhirnya, di dunia ini tidak semua harus dijelaskan dengan kata-kata. Tidak semua pula harus diketahui orang lain, kebaikan sekali pun. Di dunia ‘hiruk-pikuk’ saat ini, tidak salah menjadikan ‘diam’ sebuah solusi. Menahan diri sambil belajar menikmati rasa sakit (enjoying the pain) agar menjadi orang-orang luar biasa dengan kualitas sabar yang hebat. Sstt.. diam! #BNODOC2819102017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial JambiArtikel No. 281/2017
===============
MINDSET: DIAM SEBUAH SOLUSI
Oleh: Bahren Nurdin, MA
Dalam keseharian yang dijalani, yakinlah ada orang-orang yang membuat kita menjadi marah, kesel, sedih, bahkan membuat kita menangis. Ya, begitulah hukumnya mahkluk sosial yang selalu hidup bersama orang lain. Tidak semua orang yang bergaul dengan kita membuat kita senang dan bahagia, tapi kita memang harus hidup dan bergaul bersama mereka dengan berbagai alasan dan kondisi.
Lingkungan terkecil dalam keluarga, agak besar di tengah masyarakat, dan lebih luas lagi pergaulan dunia maya (medsos). Banyak hal yang dapat memicu perselisihan dan pertentangan dalam suatu pergaulan, dari hal remeh-temeh hingga yang besar lagi berat. Terkadang, masalah-masalah itu muncul dan berlarut-larut bukan karena masalah itu sendiri, namun sikap terhadap masalah tersebut yang tidak benar.
Hal yang paling sering sebagai pemicu perselisihan adalah keinginan untuk menyampaikan apa yang dipikirkan dengan maksud menjelaskan. Namun dalam kondisi-kondisi tertentu ternyata penjelasan yang ingin disampaikan belum tentu dianggap baik oleh orang yang mau dijelaskan. Inilah kemudian memicu terjadinya perdebatan dan adu argument.
Ketika masing-masing pihak merasa ‘perlu’ menjelaskan dan bertahan dengan pandangan juga pendapat sendiri, maka terjadilah perdebatan yang ternyat beda tipis dengan bertengkar. Pertengkaran (saling serang dan adu argument) yang terjadi tidak jarang pul berujung dengan saling menyakiti. Hal ini bisa terjadi secara langsung maupun di dunia maya.
Pada kondisi ini, diam adalah solusi. Inilah masalahnya. Ternyata diam dan menahan diri untuk tidak menjelaskan apa pun, sangatlah tidak mudah. Sangat berat.
Lebih-lebih yang dituduhkan kepada kita itu tidak benar. Apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak sama dengan apa yang dipersangkakan. Apa lagi, kata-kata yang dilontarkan kepada kita sangat menyakitkan. Ditambah pula, apa yang telah kita perbuat dianggap tidak berarti. Rasanya ingin berteriak. Inilah yang membuat diam itu tidak mudah. Memang, pada kondisi seperti ini, diam hanya mampu dilakukan oleh orang-orang pilihan.
Orang seperti apa yang mampu diam menghadapai kondisi seperti ini? Orang yang telah menyediakan dirinya untuk ‘enjoying the pain’. Mereka yang telah dengan tenang menikmati rasa sakit. Rasanya memang sakit sekali ketika kita diabaikan, tidak dianggap, diremehkan, dibandingkan, dicaci, dihina, difitnah, dan sebagainya. Semua rasa ‘sakit’ itu dinikmati dengan diam. Keren.
Apakah diam dapat menyelesaikan masalah? Minimal tidak menambah masalah. Karena pada kondisi emosi yang meninggi, akan ada kecenderungan mengeluarkan kata-kata atau perbuatan-perbuatan yang di luar kendali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi rambu-rambu, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Pilihannya cuma satu diantara dua, berbicara baik atau diam. Jika tidak mampu berkata baik, maka diam. Jika tidak mampu diam maka barkatalah dengan baik. Pada kondisi normal mungkin mudah. Tapi jika sedang emosi, pasti berat, apa lagi harus berkata baik. Maka diamlah!
Jika diurai lebih jauh, sebenarnya banyak juga fungsi diam dalam kondisi seperti ini, diantaranya diam bisa memberi jeda pada emosi yang sedang memuncuk untuk meredam. Diam bisa mengurangi stress atas ketidakterimaan perlakuan dari luar diri. Diam bisa dijadikan kesempatan untuk mengatur srtategi penyelesaian masalah. Diam membuat susuah ditebak. Dan sebagainya.
Akhirnya, di daunia ini tidak semua harus dijelaskan dengan kata-kata. Tidak semua pula harus diketahui orang lain, kebaikan sekali pun. Di dunia ‘hiruk-pikuk’ saat ini, tidak salah menjadikan ‘diam’ sebuah solusi. Menahan diri sambil belajar menikmati rasa sakit (enjoying the pain) agar menjadi orang-orang luar biasa dengan kualitas sabar yang hebat. Sstt.. diam! #BNODOC2819102017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post