Oleh: Bahren Nurdin, MA
Ada berbagai keadaan yang berlaku atas diri kita dalam kehidupan ini. Apa pun kejadiannya dipastikan akan memberi dampak kepada perjalanan hidup itu sendiri, baik secara positif maupun negatif. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam hidup ini, siapa yang paling bertanggung jawab? Respons lazim yang sering dilakukan yaitu menyalahkan orang lain (blaming) dan memastikan orang lainlah yang paling bertanggung jawab.
‘Menuduh’ orang lain yang paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada diri kita adalah salah satu cara yang jamak dilakukan untuk ‘menghindar’ bahkan menutupi segala kesalahan yang terjadi. Dengan menyalahkan seolah-olah kita telah terhidar dari keburukan yang terjadi. Padahal tidak!
Menyalahkan orang lain inilah yang sering disebut mencari ‘mencari kambing hitam’. Dia yang berbuat, kambing yang disalahkan. Lebih parah lagi, jika sekali disebut mencari kambing hitam. Namun jika dilakukan setiap saat, itu berarti sudah ‘memelihara kambing hitam’, atau bahkan beternak ‘kambing hitam’. Tidak hanya dicari, tapi sudah dipelihara dan dikembangbiakkan, hehehe.
Kata sakti yang dimiliki oleh orang-orang yang memelihara ‘kambing hitam’ ini adalah menyalahkan orang lain. Inilah ‘mindset’ atau pola pikir yang perlu ‘diluruskan’. Atau, paling tidak diberi pandangan lain terhadap betapa ‘menyalahkan’ itu adalah salah satu ‘kesesatan’ hidup.
Pertama, dengan menyalahkan orang lain terhadap apa yang terjadi dalam hidup kita, itu artinya kita baru saja menyerahkan hidup kita pada orang lain. ‘Blaming’ yang dilakukan adalah sebuah deklarasi bahwa kita tidak memiliki hidup kita sendiri. Kita dengan bangga mengumumkan kepada orang banyak bahwa ‘saya tidak punya hak atas hidup saya sendiri’.
Buktinya, ketika sesuatu terjadi atas hidup kita, kita mencari orang lain yang harus disalahkan. Orang lain itulah sebenarnya yang memiliki hidup kita. Sangat disayangkan jika kita hidup tapi hakikatnya tidak memiliki kehidupan. Sekali lagi, hidup tapi tidak memiliki kehidupan!
Lebih unik lagi, hidup diserahkan kepada ‘kambing’. Kan, yang paling sering dicari adalah ‘kambing hitam’. Tidak hanya dicari, tapi juga dipelihara. Menyerahkan hidup yang indah ini kepada ‘kambing’ tentunya adalah sebuah kebodohan yang tidak dapat diterima oleh akal sehat. Bukankah Allah telah tetapkan bahwa munusia itu telah diciptakan dengan sebaik-baik kejadian, ahsani taqwim (QS. At-Tin : 4) dengan segala potensi yang dimilikinya. Ingat, ‘kambing hitam’ yang sering dicari atau dipelihara itu biasanya tidak lebih baik dari diri kita sendiri.
Kedua, seharusnya orang yang paling bertanggung jawab atas dari kita ya kita sendiri. Mindset (pola pikir) ini akan mengukuhkan kepemilikan (ownership) akan diri yang berdampak pada pertanggungjawaban segala sesuatu (baik-buruknya) yang terjadi pada diri. Tanpa menyalahkan orang lain, maka kita telah menyampaikan pesan bawa ‘sayalah yang memiliki hidup ini sepenuhnya’.
Dengan cara ini pula akan menumbuhkan kepercayaan diri yang besar untuk membangun kehidupan. Hanya orang-orang besar yang mampu mengemban tugas besar. Dan sebaliknya, hanya orang-orang ‘kerdillah’ yang menyerahkan persoalan hidupnya kepada orang lain, apa lagi meyalahkan.
Ketika control kehidupan itu 100% di tangan sendiri, maka akan dengan mudah menentukan arah perjalanan hidup tersebut. Kitalah satu-satunya pemegang ‘saham’ atas perusahaan kehidupan ini. Untung dan rugi sepenuhnya menjadi tanggung jawab kita sendiri tanpa harus menyalahkan. orang lain di luar diri kita adalah ‘supporting system’ yang tugasnya hanyalah sebagai pendukung.
Akhirnya, menyalahkan orang lain sama saja menyampaikan pesan bahwa kita tidak punya hak atas hidup kita sendiri. Mindset ini harus diubah untuk menciptakan ‘ownership’ akan diri sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan diri dalam mengelola kehidupan ini. Maka, tidak ada gunanya memelihara ‘kambing hitam’, apa lagi kalau sampai ‘beternak’. ‘Kambing hitam’ jenis ini tidak laku dipasaran, hehe. #BNODOC267092017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post