Oleh: Bahren Nurdin, MA
Saya bersyukur dan merasa sangat bahagia menemukan sebuah foto yang telah usang dimakan usia. Sana sini sudah tidak lagi sempurna. Di sebuah rumah berdindingkan papan, duduk pasangan suami isteri muda dengan seorang bayi yang sedang merangkak (tengkurep) di hadapan mereka. Dengan penuh kesederhanaan dan kesahajaan, senyum bahagia tergurat dari wajah kedua orang tua ini.
Itulah kedua orang tua saya, dan bayi itu adalah saya. Jika yang terlihat di foto itu adalah bayi berumur lebih kurang satu tahun, berarti foto itu diambil sekira tahun 1980. Dengan melihat foto tersebut, dapatlah sedikit saya menelusuri potongan waktu yang tersisa pada masa itu. Betapa saya bangga melihat ayah saya yang masih muda gagah dan bersahaja. Begitu pula sang bunda nan cantik rupawan (dimasanya hehe).
Kini foto itu tinggallah sebuah kenangan karena ayahanda telah tiada dan ibunda mulai menua. Begitulah sebuah foto yang telah menyimpan penggalan kisah saya di waktu kecil. Sadarlah saya bahwa sebuah foto tidak hanya sekedar ‘melukis’ sebuah gambar, tapi lebih dari itu, ia mampu merekam masa yang terlewati dan memotret makna-makna. Foto menjadi sangat indah dan menarik jika ia kemudian diberi makna (meaning).
Apa makna difoto yang tersisa itu? Dari gambar yang terekam, saya menjadi tahu bahwa kami pernah tinggal di sebuah desa terpencil nan jauh dari hiruk pikuk kota. Tidak ada listrik atau televisi. Rumah kami rumah panggung berdindingkan papan dan beratapkan genteng. Dari busana yang ayah dan bunda pakai, tidak terlihat mereka mengenakan pakaian yang mewah dan mahal. Singlet yang ala kadarnya dipakai sang bayi mungil itu pun jelas menunjukkan ‘kesederhanaan’ (baca: kemiskinan) keluarga kami. Tapi senyum tulus ayah dan bunda menyampaikan pesan mendalam bahwa kemiskinan tidak menghalangi kami untuk bahagia. Keep smiling…
Itulah seni fotografi atau seni memahami foto. Berdiskusi banyak hal tentang dunia fotografi, saya beruntung kemarin bertemu, berdiskusi dan dapat menimba ilmu dari seorang fotografer senior Kota Jambi Sakti Alam Watir (5AW). Saya diajak ‘tour’ menikmati suguhan keindahan seni fotografi yang dipajang di galeri istimewa yang ia miliki. Banyak ilmu dibagi.
Sebagai orang awam yang sangat tertarik pada dunia fotografi, saya sebenarnya sudah jauh lebih dahulu ‘berkenalan’ dengan karya-karyanya ketimbang fotografernya. Tidak tahu pasti dari kapan, namun saya sejak lama telah menikmati hasil jepretan-jepretan yang ia miliki. Foto-foto yang indah dan penuh makna telah bayak dipajang di berbagai tempat baik di dalam maupun di luar kota Jambi.
Pertemuan itu mengajarakan saya banyak hal. Ternyata, foto yang indah terkadang tidak hanya terlihat pada keindahan objek foto yang direkam, tapi makna-makna atau pesan-pesan yang ada pada foto itu. Makna sebuah foto, seperti halnya juga karya sastra, baru akan didapat setelah dilakukan pengkajian dan pemaknaan yang baik. Artinya, ‘mata telanjang’ belum cukup mampu menangkap makna yang tersimpan. Bisa saja foto yang nampaknya ‘bagus’ tapi sesungguhnya meaningless (minim makna). Atau sebaliknya, sebuah foto yang terkesan sederhana dan simple, tetapi menyampaikan pesan yang mendalam.
Selain ilmu fotografi itu sendiri, pemahaman dan pemaknaan sebuah foto juga diperlukan ketulusan jiwa dan nurani. Sangat diperlukan sentuhan batin untuk mendapatkan ‘sense’ dari sebuah jepretan. Jepretan yang ‘tangguh’ adalah yang mampu mengabadikan momentum pada saat yang tepat. “Foto yang baik pasti penuh perjuangan. Terkadang tidak hanya sekali ambil, tapi berkali-kali”, tutur 5aw berbagi ilmu. Sebuah potret sangat perlu sentuhan dan ‘polesan’ juga perjuangan untuk mendapatkan ‘angle’ yang tepat.
Akhirnya, fotografi tidak hanya bercertia tentang apa dan bagaimana mengambil foto tapi lebih dari itu merupakan seni yang mampu merekam waktu yang berlalu dan memotret makna-makna (photo talks). Foto yang hebat ternyata tidak hanya yang indah dipandang mata tapi yang mampu menyentuh jiwa dan rasa; juga asa.
#BNODOC20222072017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post