Sudah sama-sama kita ketahui bahwa ketika pemilihan kepala daerah (Pilkada) dihelat, sering terjadi tanda tangan kontrak politik antara pemilih dengan para calon kepala daerah. Sudah sangat jelas kontrak ini akan berlaku jika pasangan calon yang berjanji itu terpilih dan ditetapkan menjadi kepala daerah. Ada semacam transaksi politik, ‘jika kami memilih anda, anda akan memberikan apa’? Semua dituangkan dalam bentuk janji yang berbungkus ‘jika’. Jika terpilih, jika tidak, ya haw..haw..
Pertanyaannya sederhana, ‘apa pentingnya kontrak politik’? Dasar pemikiran terjadinya kontrak politik tentunya ingin membuat semacam ikatan tertulis antara calon pemimpin dengan para pemilih (masyarakat). Calon pemimpin ingin dipilih, para pemilih ingin ‘diperhatikan’. Teransaksi terjadi. Agar tidak saling melupakan di kemudian hari, maka dibuatlah ‘hitam di atas putih’ sebagai bentuk ril perjanjian bersama. Pada dasarnya perjanjian ini penting karena bisa dijadikan dokumen tertulis untuk saling mengingatkan.
Tidak dipungkiri, bagi mereka yang memiliki syahwat politik yang besar seringkali memanfaatkan kontrak politik sebagai ‘jalan pintas’. Maka ketika musim kampanye datang beberapa diantara mereka sengaja membawa materai banyak-banyak untuk membuat kontrak politik. Jadilah masa kampanye dimanfaatkan untuk jualan kontrak (politik). Kontrak sana, kontrak sini. Atau sebaliknya, masyarakat ‘menghadang’ kedatangan para calon dengan kontrak yang telah disiapkan. Ditodong!
Namun sayang, beberapa fakta menunjukkan bahwa sebagian besar kontrak politik hanya dijadikan alat untuk ‘merayu’ para pemilih. Kebanyakan dari mereka setelah terpilih tidak jarang melupakan janji-janji politik yang telah disepakati tersebut. Dari sekian banyak janji-janji yang disepakati belum tentu ada satu atau dua poin yang mempu mereka penuhi. Tanpa bermaksud berprasangka buruk, sering mereka berkata, ‘apa pun permintaan masyarakat ‘diiyakan’ dulu saja. Yang penting terpilih. Persoalan pemenuhan janji politik, itu urusan belakang’. Berjanji untuk membuat tangga ke langit pun mereka sanggup!
Pada tataran inilah yang perlu kita persoalkan. Pertama, adakah kekuatan hukum dalam sebuah kontrak politik? Mungkinkah seseorang (kepala daerah terpilih) dapat dijerat hukum (pidana atau perdata) apabila mereka tidak memenuhi janji politik yang tertuang di dalam naskah kotrak yang ditandatangani dan dibubuhi materai tersebut? Sebagian pakar hukum berpendapat tidak bisa karena kata ‘kontrak’ dalam kontrak politik ini tentunya tidak sama dengan istilah ‘kontrak’ dalam hukum perdata. Ada beberapa syarat yang tidak terpenuhi seperti kejelasan subjek-subjeknya, distribusi hak dan kewajiban para pihak, dan sebagainya. Intinya, jika ada yang melanggar maka tidak bisa ‘diseret’ ke ranah hukum. Tidak bisa diperkarakan di pengadilan.
Karena namanya adalah ‘kontrak politik’ maka hanya bisa diseret ke ranah politik. Paling ‘banter’ yang dapat dilakukan jika terjadi pelanggaran atas kontrak pilitik adalah dengan ‘menghakimi’ secara politis. Hukum terberat yang kemungkinan dapat dilakukan adalah dengan tidak memberi kesempatan pada periode selanjutnya. Pada konteks ini, tepatnya bukan kontrak politik, tapi kontrak sosial.
Harus diakui pula bahwa tidak terpenuhi janji-janji politik oleh pasangan kepala daerah terpilih tidak hanya persoalan personal bahwa mereka tidak mau memenuhi janji tapi ada begitu banyak faktor yang menjadi penghalang seperti keterbatasan anggaran, berbenturan dengan regulasi yang ada, tarik menarik kepentingan partai pendukung, dan lain-lain. Memang memenuhi janji tidak semudah membuat janji itu sendiri.
Kedua, kekuatan isi kontrak. Perjanjian yang tertuang dalam kontrak politik manjadi sangat penting maka harus benar-benar diperhatikan antara para pihak yang berjanji. Sudah sama-sama kita ketahui bahwa ‘politisi itu akan berjanji membuat jembatan walaupun tidak terdapat sungai di daerah itu’. Maka masyarakat sebagai salah satu pihak juga harus cerdas dalam menimbang-nimbang mana janji yang bisa terpenuhi mana yang hanya akan menjadi janji palsu.
Butir-butir perjanjian itu seyogyanyalah harus melalui kajian-kajian objektif dan terukur. Ukuran janji politik itu bisa ditunaikan atau tidak paling tidak dapat dilihat dari regulasi yang ada (melanggar atau tidak), ketersediaan anggaran (APBD atau APBN), kepentingan politis Sang Calon dengan satakeholder lainnya (eksekutif-legislatif), dan lain-lain. Pertimbangan-pertimbangan ini penting sekali sehingga kontrak politik itu dapat dijalani oleh masing-masing pihak.
Akhirnya, kontrak politik memang tidak memiliki kekuatan hukum yang memungkinkan untuk menyeret para pelanggarnya ke meja hijau pengadilan. Belum ada kepala daerah, anggota legislatif, juga masyarakat yang dihakimi karena melanggar pasal perjanjian dalam kontrak politik. Hukuman yang memungkinkan diberikan baru sebatas vonis politis dan sosial. Maka dari itu, sekedar mengingatkan, masyarakat harus dicerdaskan untuk tidak terlalu percaya dan banyak berharap kepada kontrak politik!
Discussion about this post