Oleh : Bahren Nurdin, MA
Saya yakin kita semua sudah sangat hafal dengan apa yang Allah sampaikan melalui Al-Quran, Surah Al-Hajj berikut ini, “Daging-daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik“ ( Al Hajj : 37 ).
Di berbagai tempat dan kesempatan ayat ini sudah banyak dibahas dan didalami khususnya menyambut hari raya Idul Adha seperti saat ini. Namun, apa kita benar-benar telah mengambil hikmah dari ayat ini? Ayat ini tentunya sangat lugas dan tegas. Ada dua bagian poin penting yang dapat digaris bawahi. Bagian pertama adalah ‘darah dan daging’ dan bagian kedua, ‘ketakwaan’.
‘Darah dan daging’ qurban sesungguhnya hanyalah media atau bahkan hanya sekedar symbol (kuantitatif) ketaatan kepada Allah. Dan, Allah ternyata sama sekali tidak membutuhkan benda-benda konkret ini. Allah tidak butuh darah dan daging dari hambanya. Artinya, mau menyemblih hewan qurban seberapa banyak pun Allah tidak akan peduli jika bukan karena ketakwaan.
Jadi poin pentingnya bukan pada darah dan daging, bukan seberapa banyak, bukan seberapa besar, bukan seberapa sering, bukan seberapa mahal, dan hitungan-hitungan kuantitatif lainnya. Bukan!
Tapi seberapa taqwa!
Nilai taqwa itu kualitatif dan tidak bisa dihitung dengan ukuran statistik. Itulah mengapa kemudian Allah tegaskan dalam Al-Quran surah Al-Hujarat, “sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu (Al-Hujarat: 13).
Jika begitu, seluruh amaliah (ibadah) harus berlandasan ketakwaan. Tidak boleh yang lain, termasuk di dalamnya untuk riya’, pamer, biar dianggap darmawan, karena tidak enak dengan orang, biar dianggap ini dan itu, dan lain sebagainya.
Apa lagi qurban yang niatnya hanya supaya bisa selfie dengan hewan qurbannya dan share foto-foto di media sosial. Lantas, yang untuk Allahnya mana? Maka, yang didapat hanya foto-foto, darah dan daging itu saja!
Justru, qurban pertama yang harus dipersembahkan kepada Allah adalah ‘menyembelih’ diri sendiri dari berbagai bentuk penyakit diri seperti riya’, angkuh dan sombong sehingga terciptanya ketakwaan kepada Allah. Sebelum menyembelih hewan qurban, sembelihlah diri dan jiwa.
Ketika mampu ‘menyembelih’ itu semua, maka putuslah hubungan diri dengan segala bentuk penyakit tersebut dan yang tersisa adalah nilai-nilai ketakwaan di dalam diri. Agaknya itulah yang terjadi dengan diri Nabi Ibrahim. Beliau sudah sukses ‘menyembelih’ dirinya sehingga tidak lagi hidup hal-hal negatif dalam diri.
Jika sudah sampai pada level ini, maka tidak ada lagi yang berharga pada dirinya kecuali ketakwaan kepada Allah. Lihatlah, rasanya hanya Ibrahim yang mampu mengikuti perintah Allah untuk menyembelih anak yang sangat ia disayangi, dinanti bertahun-tahun, permata hati, penerus keturuan dan harapan jiwa. Begitulah nilai ketakwaan itu berperan dalam diri Beliau.
Maka, jangan sekali-kali berani menyebut sudah berkorban jika belum mampu memberikan apa yang terbaik dimiliki oleh diri, apa yang paling disayangi, yang paling dicintai. Apa yang bisa melakukan itu semua cuma satu yaitu ketakwaan kepada Allah.
Akhirnya, letakkanlah pisau tajam itu dileher hewan kurban, tapi jangan lupa juga untuk ‘menyemblih’ sifat-sifat jahat dalam diri. Sembelihlah segala bentuk kejahatan itu agar mereka mati dan yang tersisa hanya satu; ketakwaan kepada Allah. Selamat Hari Raya Idul Adha! #BNODOC24301092017
* Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post