Oleh: Bahren Nurdin, MA
Artikel ini merupakan satu kesatuan dengan tulisan yang sebelumnya telah saya sampaikan melalui beberapa media yang berjudul “Toko Tradisional Semakin Tertinggal”. Harus diakui bahwa keberadaan minimarket waralaba yang semakin menjamur di berbagai kota di Indonesia, telah mengancam keberadaan pedagang kecil yang selama ini hidup di tengah masyarakat Indonesia.
Dengan kekuatan modal (capital) yang besar, keberadaan toko modern berhasil merubah pola belanja masyarakat. Jika selama ini masyarkat suka bertransaksi di warung-warung kecil di lingkungan tempat tinggal mereka, berubah menjadi lebih suka belanja di toko modern dengan alasan kenyamanan dalam berbelanja. Toko modern menyediakan tempat belanja yang nyaman, bersih, dan pelayanan yang baik. Dan sebaliknya, toko-toko tradisional cenderung ‘seadanya’.
Persoalan ini agakanya harus menjadi perhatian pemerintah agar toko modern tidak serta merta ‘membunuh’ pedagang kecil. Para pelaku usaha kecil juga harus dapat tumbuh sebagai sumber penghidupan bagi keluarga. Memang tidak ada yang boleh melarang orang untuk mencari penghidupan di negeri ini selagi tidak melanggar aturan yang ada. Baik yang modern maupun yang tradisional memiliki hak yang sama untuk mencari keuntungan.
Maka, sebagaimana telah saya tegaskan pada artikel sebelumnya bahwa “sesungguhnya bukan minimarket modern yang harus dihadang tapi toko-toko tradisional yang mesti didorong untuk memiliki kualitas yang sama”. Di sinilah campur tangan pemerintah sangat diperlukan untuk membantu para pedagang kecil tumbuh mengikuti kehendak pasar dan ‘melawan’ serangan toko-toko modern yang semakin menggurita.
Paling tidak, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai instansi terkait. Pertama, permodalan. Sering kali para pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) terkendala permodalan. Bagaimana mau membuat warung yang bebas debu, ber-AC, indah, dan barang dagangan yang lengkap seperti toko-toko modern sementara modal ‘pas-pasan’. Disinilah uluratan tangan pemerintah melalui berbagai lembaga keuangan yang ada untuk memberikan para pedagang kecil untuk memiliki modal yang cukup.
Kedua, membuat aturan perundang-undangan (perda) yang mengatur keberadaan toko-toko modern sehingga tercipta persaingan yang sehat antara toko modern dengan toko teradisional. Tidak melarang, tapi mengatur dan menata. Misalnya, adanya aturan yang jelas jarak antara satu toko modern dengan toko yang lainnya. Begitu juga barang-barang yang diperjual belikan diatur dengan jelas. Melalui peraturan daerah bisa diatur apa saja yang boleh diperjual belikan oleh toko-toko modern dan toko tradisional.
Seperti yang saya temukan di Pekanbaru ada toko modern yang menjual siomay, gorengan, rujak, dan lain-lain. Ini tentu akan membunuh tidak hanya warung tradisional tapi juga pedagang gorengan dan siomai keliling. Dalam waktu dekat, kita tidak akan mendengar suara tek tek tek kentongan tukang siomay lewat di depan rumah. Anak-anak akan rindu teriakan Mang Udin “Siomaaay…”.
Sekali lagi, bukan melarang toko modern menjual apa yang sesungguhnya bisa menjadi sumber penghidupan bagi pedagang kecil tapi mengaturnya sedemikian rupa sehingga masing-masing memiliki domain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kita yakin bahwa masing-masing usaha ini akan berkontribusi untuk menopang perekonomian negeri ini.
Ketiga, pelatihan dan pembinaan. Saya sering terlibat dalam memberikan pelatihan dan pembinaan kepada pelaku UMKM khususnya dalam hal ‘mind-setting programming’. Dua hal yang sangat mereka butuhkan yaitu pengetahuan tentang manajemen (pengelolaan) keuangan dan kemampuan non teknis (soft skill). Sering terjadi di lapangan, modal yang diberikan kepada pelaku usaha kecil tidak terkelola dengan baik yang pada akhirnya merugi dan tutup. Begitu juga halnya dengan kemampuan soft skill. Mereka sangat haus akan ilmu-ilmu non tekhnis seperti kemahiran dalam berkomunikasi dan melayani, menjalin hubungan dengan orang lain, membuat jaringan kerja sama, dan lain sebagainya.
Dengan cara-cara inilah tentunya diharapkan toko-toko tradisional dapat bertahan hidup (survival) di tengah hantaman gelombang kaum pemodal (kapitalis). Para pemodal akan memanfaatkan peluang sekecil apa pun yang mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. Tidak ada larangan orang untuk berjualan siomay, tapi tidak dapat dibayangkan nasip para pedagang keliling jika masyarakat lebih suka makan siomay sambil beli rinso di minimarket modern.
Akhirnya, semua harus mendapat perhatian serius dari pemerintah (daerah) baik yang modern mau pun yang tradisional. Semua memiliki kontribusi untuk bangsa dan negara ini. Maka, dengan pengelolaan yang baik melalui aturan-aturan hukum yang jelas (perda) masing-masing pengusaha dapat dengan tumbuh dengan baik tanpa harus saling ‘bunuh’. Semoga.
#BNODOC7113032017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Provinsi Jambi
Discussion about this post