Dalam salah satu grup diskusi media sosial Whatssap Group (WAG), salah seorang peserta berkata ‘mengubah mindset masyarakat tentang ‘money politic’ tidak semudah menulis’. Hal ini mengemuka untuk mendiskusikan tulisan saya yang berjudul ‘Euporia Politik Studi Jalanan’.
Menanggapi hal tersebut, saya agaknya tertarik juga untuk menjelaskan beberapa hal penting tentang menulis. Ini juga menyangkut mindset masyarakat. Jangan sampai salah dalam memahami sesuatu, atau paling tidak, mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya sesuai porsinya. Jika masih banyak yang melakukan money politic, bukan berarti tulisan saya tidak berguna, kan? Hehe…
Catat baik-baik, menulis tidak untuk mengubah orang. Dalam sejarah Islam, tentu kita masih ingat salah seorang paman Rosulullah yang sampai akhir hayatnya tidak menjadi pemeluk Islam. Itu kelas Rosul Allah yang ternyata tidak mampu mengubah seseorang. Apalah lagi saya yang hanya kelas ‘tungau’. Mohon garisbawahi, satu-satunya yang mampu mengubah seseorang hanyalah Sang Khaliq, pencipta manusia itu sendiri!
Lantas untuk apa tulisan? Saya beranalogi, suatu ketika hendak shalat Jumat, saya melewati perkebunan singkong. Saya melihat Sang Petani masih khusuk dengan pekerjaannya. Di atas motor saya teriak, ‘sebentar lagi shalat Jumat, ayo shalat’. Saya pun berlalu menuju mesjid tanpa peduli dia dengar atau tidak. Singkat cerita, beberapa bulan kemudian saya bertemu lagi dengan Sang Petani, ‘Pak, terima kasih sudah diingatkan. Saya betul-betul lupa. Jika tidak Bapak teriak, hari itu mungkin saya tidak shalat jumat’.
Maksud saya, dia mau shalat jumat atau tidak, itu bukan urusan saya. Bahkan, saya tidak tahu dia dengar atau tidak karena tidak ada sahutan balasan saat itu. Tugas saya mengingatkan saja. Yang menggerakkan Si Petani itu untuk shalat Jumat adalah Allah. Bukan saya!
Dalam kehidupan sosial masyarkat Jambi, ada pepatah yang berbunyi, ‘Si Buta peniup lesung, Si Lumpuh menghalau ayam, dan Si Pekak peniup bedil’. Artinya, masing-masing orang memiliki peran dan fungsi sesui potensi yang dimiliki. Si Pekak (tunarungu) tidak akan kaget ketika melepaskan tembakan meriam karena ia tidak mendengar apa-apa. Maka, jika peran dan fungsi itu dijalankan dengan baik dan tanpa menyalahkan orang lain, maka akan tercipta satu ‘irama’ yang harmoni untuk kemaslahatan bersama.
Saya katakan, jika tujuan menulis untuk mengubah orang, itu adalah tujuan yang keliru. Saya pasti akan sangat kecewa jika saya tahu para pembaca artikel-artikel saya tidak mau berubah. Saya akan berhenti menulis ketika saya mendapati tidak ada orang yang berubah setelah membaca tulisan saya. Sama sekali tidak. Jika anda pernah membaca artikel saya yang berjudul ‘Mengembaralah Kata-Kata’, pasti sudah mengerti mengapa saya masih menulis sampai hari ini.
Meminjam istilah Pramoedya, tulisan itu adalah anak idiologis. Tugas saya melahirkan saja. Persoalan dia menjadi apa di kemudian hari biarkanlah dia menemukan ‘takdirnya’ sendiri. Jika kemudian dia dicaci atau dipuji, tidak perlu dikahwatirkan. Selain itu, saya menulis karena ingin sehat.
Baru-baru ini Mahatir Muhammad (berumur 93 tahun), Perdana Menteri Malaysia juga pernah berkata yang dimuat di berbagai media, “Jika Anda tidak menggunakan otak Anda, Anda tidak berpikir, Anda tidak menyelesaikan masalah, Anda tidak membaca, Anda tidak menulis, otak mundur dan Anda menjadi pikun. Jadi selalu aktiflah”. Saya berdoa supaya tidak pikun, dan akan terus menulis.
Bahkan penyakit ‘Psikosomatis Malignant’ yang diderita oleh Mr. President BJ Habibie di awal kehilangan isteri tercinta sembuh karena menulis. Buku ‘Habibie & Ainun’ pun lahir dan laris manis sehingga menginspirasi banyak orang.
Kesimpulannya, saya tidak pernah menulis untuk mengubah siapa pun. Artikel-artikel yang saya ‘lahirkan’ tidak pernah saya pedulikan akan jadi apa kelak. Cacian dan pujian adalah ‘takdirnya’ sendiri. Yang saya tahu, saya ingin melahirkan sebanyak mungkin anak-anak ideologis sebelum ajal menjemput. Berdoa ‘anak-anak’ itu akan menjadi ladang amal untuk akhirat kelak. Amin.
Discussion about this post