Oleh: Bahren Nurdin, MA
Manusia itu mahluk sempurna yang telah Allah ciptakan. Coba perhatikan apa yang Allah wahyukan melalui Al-Quran, “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.(Q.S Assajadah 7-9). Paling tidak ada unsur roh, pendengaran, penglihatan dan hati.
Unsur-unsur inilah kemudian yang akan membedakan manusia dengan mahluk ciptaan Allah lainnya. Jika manusia mampu menggunakannya sesuai peruntukan yang telah Allah gariskan maka manusia itu akan menjadi hamba Allah yang luar biasa bahkan kualitasnya bisa melebihi malaikat. Dan sebaliknya, jika manusia abai dan menggunakan fasilitas ini tidak sesuai ketentuan maka kualitas dirinya akan lebih jelek dan dan hina dari binatang ternak. Bersyukur atau kufur.
Keseluruhan unsur ini merupakan bagian dari bangunan intelektualitas (akal) sebagaimana yang Allah tegaskan dalam Al Quran Surah Az-Zumar ayat 18, “yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”.
Bentuk kesyukuran itu adalah dengan menggunakan intelektualitas yang dimiliki untuk mengabdi kepada Allah dengan tunduk dan patuh atas aturan yang telah ditetapkan. Artinya, jangan sampai kecerdasan yang dimiliki malah digunakan untuk melawan Allah. Sehingganyalah, semakin tinggi ilmu seseorang, semakin dekat dengan Allah karena ia menyadari betapa ilmu yang ia miliki adalah milik Allah. Keluarlah istilah ilmu padi, ‘semakin berisi semakin merunduk’.
Namun demikian, tidak dipungkiri pula sebagian besar manusia terjebak oleh intelektual mereka sendiri. Jebakan ini sering terjadi karena ia merasa apa yang ia pikirkan dan ia yakini adalah sebuah kebenaran ‘mutlak’ sehingga cendrung menutup diri dengan apa-apa yang datang dari luar dirinya. Ada semacam keyakinan ‘hakiki’ dalam dirinya sehingga muncul istilah, ‘orang kalau terlalu pintar susah menerima masukan dari orang lain’.
Inilah yang dimaksud dengan jebakan intelektualitas. Kecerdasan (otak) yang dimilikinya menjadi penjara bagi dirinya sendiri. Dia kemudian memblokade dirinya dan merasa paling hebat dari orang lain. Pola pikir yang dibangun biasanya, ‘benar atau salah, tetap harus begini’. Kerangkeng intelektual semacam ini sesungguhnya akan mengkerdilkan dirinya sendiri.
Orang semacam ini sering terjebak dengan logikanya sendiri. Dengan intelektualitas (otak) yang ia miliki, ia akan membangun logika sendiri sesuai dengan apa yang ia pahami dan yakini. Jika ada logika lain yang ditawarkan kepadanya, biasanya akan ditolak karena ia merasa sudah cukup cerdas untuk memikirkannya. Padahal serharusnya tidak demikian karena bisa saja logika tersebut dibangun hanya dari satu perspektif (sudut pandang), sementara hidup ini harus dilihat diri berbagai ‘angle’ untuk mendapatkan ‘gambar’ yang utuh dan sempurna.
Apa yang terjadi kemudian adalah orang semacam ini melakukan sesuatu karena kebiasaan bukan karena ‘tepat dan berguna’. Istilah yang muncul ‘dari dulu memang sudah begini, mengapa harus diubah?’. Ide-ide pembaharuan ditolak dengan logika dan intelektual yang dibangun sendiri.
Sehingga, orang semacam ini lebih suka membenarkan kebiasaan bukan membiasakan kebenaran.
Akhirnya, merasa diri paling pintar dan hidup dengan ‘kecerdasan’ sendiri dengan menutup diri dari masukan-masukan orang lain adalah salah satu bentuk perangkap ‘intelektualias’ yang menjadi blok (mental block) bagi dirinya untuk tumbuh dan berkembang. Salah satu kesempurnaan seorang manusia itu terletak pada kegigihannya dalam menuntut ilmu. ‘Menuntut ilmu’ dapat dilakukan dengan membuka diri dan tidak membatasi diri dangan apa yang diyakini sendiri. #BNODOC219082017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post