Oleh: Bahren Nurdin, MA
Banyak orang mau berubah. Dia tahu persis bahwa banyak hal yang ada pada dirinya tidak baik. Banyak pula tindakan dan perbuatannya tidak ia inginkan bahkan membahayakan dirinya sendiri. Dia tahu persis.
Hal yang paling sederhana minsalnya, merokok. Saya sangat yakin bahwa semua perokok pasti sudah tahu bahwa merokok itu tidak baik untuk kesehatan. Dia melarang anaknya merokok. Kampanye-kampanye larangan merokok yang dilakukan oleh banyak pihak juga sudah perokok ketahui dan pahami. Tapi yang paling sering didengar di tengah masyarakat adalah “mau berhenti, tapi belum bisa!”
Mengapa belum bisa? Inilah pokok masalahnya. Ternyata diri manusia itu sering sekali terperangkap di dalam pikiran dan dirinya sendiri. Ia tunduk dan patuh terhadap situasi mental yang ia miliki atau apa yang disebut dengan ‘mental block’. ‘Mental Block’ adalah program pikiran manusia yang melalui proses sedemikian rupa sehingga kemudian mempengaruhi perbuatan dan prilaku hidupnya.
Adi W. Gunawan (adiwgunawan.com) menjelaskan, “Proses pemrograman pikiran sebenarnya telah terjadi sejak seorang anak masih di dalam kandungan ibunya, sejak ia berusia 3 bulan. Pada saat ini pikiran bawah sadar telah bekerja sempurna, merekam segala sesuatu yang dialami seorang anak dan ibunya. Semua peristiwa, pengalaman, suara, atau emosi masuk dan terekam dengan sangat kuat di pikiran bawah sadar dan menjadi program pikiran”.
Celakanya, jika yang ‘di-install’ dalam program pikiran itu adalah sesuatu yang salah maka akan berdampak sangat negatif pada diri seseorang. Inilah yang paling sering terjadi pada masyarakat kita saat ini sehingga banyak pula yang ‘terkerangkeng’ dengan pikiran itu dan bahkan sampai mati pun ia tetap berada pada ‘penjara’ pikirannya sendiri.
Paling tidak ada lima blok (‘block’) penghalang dalam mental yaitu blok persepsi, emosi, kultur (lingkungan), intelektual dan ego. Masing-masing blok ini memiliki penjelasan yang rumit dan kompleks.
Blok Persepsi.
Orang yang hidup dalam perangkap persepsi dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, Adanya human memory system, membuat seseorang mengharapkan / mengartikan sesuatu seperti apa yang ada dalam memorinya. Apa yang bercokol di dalam dirinya, itulah yang ia harapkan, padahal belum tentu begitu yang orang lain lakukan terhadap dirinya karena ia hidup bermasyarakat. Harapan ini kemudian menjadi blok untuk menjalin hubungan dengan orang lain atau paling tidak ia merasa orang lain tidak ‘pas’ dengan dirinya. Jika ia gagal mengurai persepsi ini, maka gagallah ia keluar dari kerangkeng pikirnya sendiri.
Kedua, Kurang teliti akan informasi karena asumsi yg tidak akurat. Dunia sosial saat ini memberi kontribusi sangat besar terhadap penyebarluasan suatu informasi. Negatifnya, informasi-infomasi ini berubah menjadi persepsi dan asumsi. Informasi-inforamasi yang datang setiap detik ke dalam layar ‘smartphone’ masyarakat saat ini bisa saja menjadi sumber mental blok karena program pikiran itu boleh datang dari mana saja. Jika kurang teliti atau setiap saat ‘mengkonsumsi’ informasi yang tidak tahu kejelasannya (hoax), maka akan sangat berpengaruhlah pada mental blok ‘konsumennya’.
Bayangkan saja jika ada berita hoax tentang sesorang yang digambarkan sangat negatif (pembunuhan karakter) dan anda percaya pada berita tersebut. Apa yang terjadi kemudian adalah persepsi anda terhadap orang tersebut dipastikan akan berubah. Anda menjadi berpandangan negatif dan membenci terhadap itu. Faktanya, boleh jadi tidak seperti yang anda persepsikan.
Ketiga, tidak dapat melihat masalah dari berbagai aspek. Hanya mau melihat apa yg ingin dilihat. Hal ini juga merupakan blok mental yang cukup berbahaya. Bahasa awamnya ‘memakai kaca mata kuda’. Dia hanya melihat satu arah saja. Sementara hidup ini multi-demensi. Bisa saja suatu perkara dianggap salah dari satu sudut, dan dari sudut pandang lain bisa saja ada kebenaran dalam ‘kesalahan’ tersebut. Jika terjebak dalam ‘kaca mata kuda’ ini maka susahlah sesorang untuk berkembang.
Lebih-lebih kepada seorang pemimpin. Pemimpin harus benar-benar keluar dari kurungan persepsi semacam ini. Seorang pemimpin harus melihat sautau persoalan dari berbagai aspek dan sudut pandang secara baik, bijaksana dan komprehensif.
Keempat, prasangka. Tidak kalah berbahaya jika mental sesorang terbiasa dengan prasangka. Orang-orang yang selalu memiliki prasangka (buruk) selalu bermain dengan pikirannya sendiri tanpa ingin mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya. Bahayanya lagi, pransangka tersebut menjadi program pikirannya. Jadi apa pun yang orang katakana untuk membenarkan yang dia prasangkakan, tetap ditolak. Mental semacam ini sangat berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat. Dampaknya, ia kan tersiksa dengan prangsangkanya sendiri.
Akhirnya, tidak ada pilihan kecuali keluar dan hancurkan segala yang menjadi penghalang di dalam diri jika ingin terus bertumbuh dan menjadi yang terbaik dalam menjalankan kehidupan ini. Terperangkap dalam ‘mental block’ persepsi hanya akan ‘menganiaya’ diri sendiri. Hancurkan!
#BNODOC21030072017
*Akademisi UIN STS dan Praktisi Hypno-Motivation Jambi
Foto:
www.kajianpustaka.com
Discussion about this post