Oleh: Bahren Nurdin, MA
Secara garis besar kita bisa mengartikan emosi adalah perasaan jiwa yang dalam terhadap seseorang atau sesuatu (keadaan) yang dapat menimbulkan reaksi dari dalam diri. Manusia memiliki beberapa jenis emosi seperti marah, malu, takut, rasa sayang (cinta), cemburu, dengki, dan sebagainya. Semua ‘rasa’ ini sangat berkaitan dengan perasaan. Baper!
Lagi-lagi, persoalannya ada pada pengendalian. Jika tidak bisa mengendalikannya dengan baik dan tepat, maka ia akan menjadi penghalang bagi seseorang untuk bertumbuh menjadi lebih baik. Itulah yang kita kenal dengan ‘mental block’. Ya, salah satu perangkap ‘mental block’ adalah perangkap emosi.
Dewasa ini dikenal dengan sebutan kecerdasan emosi (emotional quotient). Menghimpun berbagai sumber, wikipedia.com kemudian menyimpulkan “Kecerdasan emosional (bahasa Inggris: emotional quotient, disingkat EQ) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya. Dalam hal ini, emosi mengacu pada perasaan terhadap informasi akan suatu hubungan”.
Pada tahun 1995, seorang penulis Amerika, Daniel Goleman, mempopulerkan pula istilah “Emotional Intelligence” (EI) melalui bukunya dengan judul yang sama. Namun istilah ini sebenarnya telah dimunculkan terlebih dahulu oleh Michael Beldoch pada tahun 1964. Emotional Intelengence diartikan sebagai “the capability of individuals to recognize their own and other people’s emotions, discern between different feelings and label them appropriately, use emotional information to guide thinking and behavior, and manage and/or adjust emotions to adapt to environments or achieve one’s goal(s)” (Coleman, Andrew (2008).
Silahkan saja mau memakai istilah yang mana; Emotional Quotient (EQ) atau Emotional Intelligence (EI). Intinya adalah bagaimana kemampuan mengendalikan emosi yang ada di dalam diri. Emosi yang tidak terkendali akan menjadi ‘barrier’ bagi seseorang untuk menggapai kesuksesannya.
Ada beberapa hal yang termasuk ‘mental block’ di ranah emosi. Pertama, takut membuat kesalahan. Melakukan sesuatu dengan benar adalah sebuah keharusan. Tapi juga harus ingat, terkadang segala sesuatunya memerlukan proses. Proses tersebut boleh jadi melalui serangkaian ‘kesalahan’. Itu artinya, jika orang terperangkap dalam blok mentalnya yang takut membuat kesalahan maka ia telah menutup dirinya untuk berproses.
Rasa takut (kadang ketakutan itu tidak pernah terjadi) yang bercokol dalam diri akan menjadi tembok yang akan menghalangi diri seseorang dengan impian yang ingin ia gapai. ‘Tembok’ ini harus dihancurkan dan keluar dari ‘blokade’ yang ciptakan. Ingatlah, tidak ada manusia yang sempurna, tapi kesempurnaan itu terletak pada kemampuannya untuk berproses menuju yang lebih baik.
Kedua, tidak menyadari bahwa kita selalu punya pilihan dalam menentukan reaksi atas suatu peristiwa. Banyak yang tidak menyadari hal ini sehingga tersendera dalam perangkap emosinya sendiri. Pilihan ada di tangan kita atas reaksi yang akan kita ambil, termasuk dalam mengelola emosi. Untuk bersedih, marah, bahagia, cinta, dan rasa-rasa yang lain, sesungguhnya adalah sebuah pilihan. Jika anda marah dan meledak, itu berarti pilihan yang diambil. Atau sebaliknya, ketika menghadapi situasi yang memungkinkan untuk marah, tapi malah yang dimunculkan adalah senyum dan kedamaian. Itu pilihan.
Ketiga, Kurangnya kebesaran hati, empati dan penghargaan dalam diri sendiri. Inilah beberapa penyebab mengapa terkadang orang sering terperangkap dalam blok mental sehingga tidak bertumbuh menjadi lebih baik. Kebesaran hati (bisa saja bentuknya memaafkan orang yang berbuat salah pada dirinya) sangat diperlukan lebih-lebih dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Orang-orang yang memiliki hati yang ‘besar’ tidak akan pernah dikecilkan – ia akan selalu besar.
Begitu juga empati dan penghargaan yang merupakan kebutuhan bathin manusia. Tanyalah kepada semua orang di dunia ini, adakah yang mau dilecehkan, direndahkan atau dihinakan? Pasti tidak ada. Semua orang ingin dihargai dan diberi perhatian.
Akhirnya, berbagai macam emosi di dalam diri harus terkendali dengan baik agar tidak menjadi ‘mental block’ yang akan menjadi tembok penghalang kesuksesan. Blokade itu harus segera dihancurkan dengan mengelola rasa takut, menentukan pilihan-pilihan atas emosi yang hendak diluapkan, dan tentunya harus memiliki kebesaran hati juga empati. Semoga.
#BNODOC21131072017
*Akademisi UIN STS dan Praktisi Hypno-Communication Jambi
Discussion about this post