Oleh: Bahren Nurdin, MA
Sigmund Freud merumuskan Id, ego dan super ego sebagai tiga bagian dari aparatus psikis dalam model struktur jiwa. Menurut model dari jiwa, id adalah himpunan tren insting tidak terkoordinasi, ego adalah bagian, terorganisir realistis, dan super-ego memainkan peran kritis dan moral.
Lebih lanjut, mengutif wikipedia.com, Ego adalah struktur psikis yang berhubungan dengan konsep tentang diri, diatur oleh prinsip realitas dan ditandai oleh kemampuan untuk menoleransi frustasi. Ego diatur oleh prinsip realitas yang berkaitan dengan apa yang praktis dan mungkin, sebagai dorongan dari id. Ego terikat dalam proses berpikir sekunder -mengingat, merencanakan, dan menimbang situasi yang memungkinkan kompromi antara fantasi dari id dan realitas dunia luar. Ego meletakkan dasar untuk perkembangan yang disadari tentang perasaan diri sebagai individu yang berbeda.
Ego kemudian menjadi jembatan dan pengatur antara id (yang sering tidak terkendali) dengan super-ego yang memainkan peran kritis dan moral. Tidak perlu terlalu jauh dengan teori ini, mari kita lihat secara singkat bagaimana kemudian ego berubah menjadi mental block (blok penghalang) mental seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Namun saya ingatkan, sesungguhnya apa yang telah Allah berikan pada diri manusia itu adalah baik. Namun manusia diminta untuk mengelolanya dengan baik pula. Mengelola dalam artian mengikuti aturan main yang telah Allah tetapkan dalam undang-undang hakikinya yaitu Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Itulah sebaik-baik aturan hidup di muka bumi ini.
Pada diskusi seputaran mental block, ego kemudian menjadi sangat negatif pengaruhnya kepada diri sesorang jika tidak terkelola dengan bijaksana. Ada beberapa kondisi yang sering dialami. Pertama, Selalu menyalahkan orang lain dan melihat dirinya paling sempurana. Orang ini membangun logika sendiri atas dirinya. Mencoba membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain dan mengambil kesimpulan sendiri bahwa dirinyalah yang lebih unggul dari yang lain.
Tidak ada persoalan dengan itu. Sah-sah saja. Namun, hal ini menjadi sangat merusak jika logika yang dibangun itu salah dan ia menutup diri dari pendapat orang lain. Ketika menganggap dirinya paling benar, maka selanjutnya muncul sikap anti maaf. Sulit memaafkan kesalahan orang lain. Apa yang ada dalam benaknya bahwa orang lain tidak semestinya berlaku salah dan lihatlah dirinya yang ‘sempurna’. Tidak dapat melihat kelemahan diri sendiri!
Kedua, membangun kepercayaan diri dengan merendahkan diri orang lain. Mental orang semacam ini, dia akan merasa unggul ketika ada orang lain yang ‘tersiksa’ atas keunggulan dirinya. Ia tidak segan mencaci maki orang hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya hebat. Dia buka ‘borok’ orang lain hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya ‘bersih’. Dia jelekkan semua orang untuk menampakkan kebaikannya.
Celakanya, apa yang dia anggap jelek, borok, atau caci maki itu belum tentu benar. Saat itu orang tersebut akan mendapat perlawanan dari orang lain. Mental semacam inilah yang kemudian membuat ia terpenjara dengan egonya sendiri dan sulit untuk berkembang. Biasanya, orang semacam ini lebih banyak ‘lawan’ ketimbang ‘kawan’ yang ia miliki.
Ketiga, selalu berorientasi pada apa yang saya peroleh, bukan apa yang saya berikan. Saya dapat apa tanpa peduli apa yang bisa saya berikan. Akhirnya, orang semacam ini selalu memiliki ‘kalkulator’ hidup yang rijit dan ‘njelimet’. Yang dipikir cuma untung dirinya tanpa mau rugi. Untung orang lain tidak pernah masuk dalam hitungan hidupnya. Kecenderungannya adalah pamrih. Jangan berharap ia akan melakukan sesuatu tanpa mendapat apa pun, terutama materi.
Tenaga, pikiran, waktu, ide dan lain sebagainya yang ia miliki selalu dihitung dengan materi (uang) baik langsung maupun tidak langsung. Jika dianggap tidak menguntungkan dirinya, apa pun kata orang dia tidak peduli; tinggalkan. Resikonya, sudah dapat dipastikan orang semacam ini nilai kehidupannya hanya dipresentasikan oleh materi (uang).
Ia lupa bahwa banyak hal dalam hidup ini yang tidak bisa dibeli oleh uang!
Akhirnya, blok ego adalah salah satu benteng kokoh dalam diri manusia yang jika tidak dikelola dengan baik dan bijaksana akan menjadi perusak mental dan kehidupan banyak orang. Tidak ada yang salah dengan ego yang merupakan proses berpikir sekunder -mengingat, merencanakan, dan menimbang situasi. Namun jangan sampai proses itu malah menjadi perusak dirinya sendiri. #BNODOC22211082017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post