Oleh: Bahren Nurdin, MA
Beberapa tahun silam, ketika sedang ‘terbenam’ di depan layar komputer di ruang dosen, saya kedatangan dua orang mahasiswi. “Apakah bapak masih ingat dengan kami?”. Tentu saja saya tidak ingat dan tidak tahu karena memang mereka bukan mahasiswa saya. Walaupun terkadang kesulitan menghafal nama, tapi saya masih bisa mengenali begitu banyak mahasiswa saya. Kemudian mereka memperkenalkan diri dan menceritakan panjang lebar kisah ‘pertempuran’ yang sedang mereka jalani dalam menempuh pendidikan. Saya menikmati cerita mereka.
Kedatangan mereka kemudian memaksa saya me-refresh ingatan pada masa yang telah berlalu. Suatu hari saya diundang untuk mengisi seminar di sebuah sekolah yang jauh dari hiruk pikuk kota. Untuk mencapai sekolah itu saya menempuh perjalanan panjang. Dari Kota Jambi saya naik kendaraan umum. Sesampai di ibu kota kabupaten, saya kemudian dijemput oleh dua orang panitia dengan menggunakan sepeda motor. Tantangan dimulai saat kami harus melintas anak sungai dengan menggunakan kendaran air tradisional bermesin. Tidak terlalu menakutkan tapi cukup mendebarkan karena perahu mesin yang kecil itu harus dimuat beberapa motor dan pengendaranya. Tentu tidak ada standarisasi atau pun manipes-nya. Jika karam dan tenggelam, itu berarti ajal menjemput.
Kemudian perjalanan ditempuh dengan menggunakan sepeda motor dengan medan ‘adventure’ yang menantang. Jalan kecil dan berlumpur dilewati dengan penuh ekstra hati-hati. Ceroboh sedikit saja, dipastikan hidung bertemu lumpur. Bersyukur panitia yang menjemput saya cukup mahir dan nampaknya terbiasa menjadi ‘penakluk’ medan seperti ini. Beberapa perkampungan dilewati. Kebun pinang dan hamparan perkebunan kelapa dilintasi. Kanal-kanal kecil sebagai akses pengangkutan hasil tani dan kebun penduduk kami sebrangi dengan jembatan seadanya. Perjalanan panjang itu berakhir dengan disambut oleh wajah-wajah ceria anak-anak desa.
Ternyata, dua mahasiswi tersebut adalah bagian dari anak-anak desa itu. Impian yang saya jemput beberapa tahun silam itu. “Kami tahu, ini berat pak. Tapi kami sedang berjuang. Kami juga ingin membuktikan apa yang dulu bapak sampaikan. Jangan jadikan kemiskinan untuk tidak kuliah”. Ungkap mereka bersemangat dan sesekali menahan air mata haru. Saya tahu persis apa yang mereka rasakan, seperti dulu halnya apa yang pernah saya lewati. Itulah indahnya perjuangan untuk menggapai impian.
Itulah bagian terindah dari berbagai seminar motivasi yang saya datangi di berbagai pelosok negari ini. Pesan yang selalu saya sampaikan sesungguhnya sangat sederhana. Saya hanya ingin meyakin anak-anak negeri ini untuk tidak bertekuk lutut dihadapan kemiskinan harta dan keadaanyang serba kekurangan. Saya tanayakan pada setiap seminar, siapa sebenarnya orang miskin itu? Orang yang tidak ada uang untuk sekolah? Salah!
Ternyata orang miskin itu bukan yang kekurangan harta tapi yang memiliki mental miskin berikut ini; malas, lemah, letih, letoy, loyo, negative thinking, tidak disiplin, mudah tersinggung, emosional, takut tantangan, mengeluh, bimbang/ragu, tidak punya dedikasi, pesimis, apatis, takut perubahan, dan lainnya. Sebanyak apa pun uang yang dimiliki, tapi jika masih memiliki mental-mental ini, dialah si miskin itu. Artinya, jika berhasil menyingkirkan tabi’at ini, anda orang kaya.
Ketika pesan ini disampaikan kepada mereka, alangkah bahagianya melihat mereka bersemangat menghadapi masa depan. Harapan dan impian mereka membubung tinggi ke angkasa. Semangat berkobar membara. Daya juang menyala-nyala. Tidak jarang mereka tersedu-haru untuk meyakinkan diri melangkah maju.
Perjalanan menjemput harapan-harapan itu memang masih terlalu panjang. Belum sebesar biji zarah pun yang telah saya perbuat untuk menjemput jutaan impian mereka dari segala penjuru negeri ini. Tapi saya berkeyakinan, dari desa-desa inilah akan lahir pemimpin-pemimpin hebat yang menjunjug tinggi harkat dan martabat bangsa. Mari bersama-sama menjemput impian dari desa. Semoga.
#BNODOC9102042017
*Akademisi dan Motivator Pendidikan
Discussion about this post