Bangsa ini sedang ‘demam’ pendidikan karakter. Di mana-mana orang sedang berbicara revolusi mental. Seolah-olah kita baru menyadari bahwa selama bertahun-tahun pendidikan kita terlalu mendewakan angka-angka dan ‘mengabaikan’ nilai-nilai kualitatif diri peserta didik. Seorang peserta didik diangap paling hebat jika ia bisa juara satu dengan nilai di raportnya sederetan angka sembilan. Persoalan bagaimana cara ia mendapatkan angka sembilan tersebut, bagaimana tingkah lakunya di dalam dan di luar sekolah tidak menjadi pertimbangan. Nilai tertinggi adalah yang terbaik. Hasilnya, banyak orang pintar tetapi tidak berkarakter, minus moral dan rendah kualitas rohaniyahnya.
Menyadari hal itu, terbentuklah kesadaran kolektif bahwa ternyata proses pendidikan bangsa ini harus mulai dibenahi. Angka-angka yang selama ini diper-Tuhan-kan mulai diubah dengan nilai-nili kualitatif. Bentuk konkret atas kesadaran itu, pemerintah pun kemudian mengeluarkan kebijakan dengan mengubah kurikulum yang ada menjadi kurikulum 2013 (K-13). K-13 memiliki empat aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, aspek sikap, dan perilaku. Lebih jauh, Sikap dan perilaku (moral) adalah aspek penilaian yang teramat penting dan menjadi penentu. Apabila salah seorang siswa melakukan sikap buruk, maka dianggap seluruh nilainya kurang.
Tidak tanggung-tanggung, sampai-sampai Presiden Republik Indonesia pun mengeluarkan Peraturan Peresiden No. 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Pasal 1 ayat 1 disebutkan, ‘Penguatan Pendidikan Karakter yang selanjutnya disingkat PPK adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM)’.
Seperangkat aturan-aturan ini tentunya menunjukkan betapa pentingnya bahkan boleh jadi merupakan suatu yang mendesak (urgent) untuk memperbaiki moral anak-anak bangsa saat ini. Padahal, jika kita tarik ke belakang, negara ini didirikan dan diperjuangkan oleh orang-orang (para pejuang) yang sangat mengedepankan nilai-nilai moral. Namun kini kita dihadapkan dengan krisis moral yang akut. Lihat saja, kasus-kasus korupsi, pembunuhan, pemerkosaan, pelacuran, norkoba, pergaulan bebas, dan lain sebagainya yang jelas-jelas menjadi indikator telah terjadinya degradasi moral.
Berangkat dari kekhawatiran bersama inilah agaknya Organisasi Masyarakat (Ormas) Al-Ittihadiyah (AI), melalui sayap organisasinya Muslimat Al-Ittihadiyah menyatakan diri untuk ikut serta ‘mewarnai’ perubahan mental anak-anak bangsa ini. Merik mencermati apa yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Muslimat Al-Ittihadiyah, Dr. Hartini Salama, baru-baru ini dalam arahannya kepada pengurus wilayah Provinsi Jambi bahwa ‘tanpa mengabaikan peran dan fungsi pendidikan mana pun, sadarkah kita bahwa pembentuk karakrer anak-anak bangsa ini adalah keluarga. Peran keluarga sangat penting’.
Maka konsep yang diusung kemudian adalah ketahanan keluarga. Alur pikir yang ingin disampaikan kepada masyrakat luas bahwa keluarga adalah cerminan bangsa ini. Keluarga adalah organisasi ‘mini’ untuk menggambarkan negara yang besar ini. Artinya, jika setiap anggota keluarga yang ada di negara ini memiliki moral yang baik, maka baiklah moral bangsa ini. Dan, sebaliknya. Maka, untuk mencapai revolusi mental yang diinginkan itu, terlebih dahulu dimulai dari revolusi (mental) keluarga. Muslimat Al-Ittihadiyah kemudian paling tidak melakukan penguatan keluarga pada aspek pembentukan karakter (pendidikan nonformal) dan penguatan ekonomi keluarga.
Keluarga adalah ‘sekolah’ utama bagi generasi muda bangsa ini. Maka guru utamanya adalah orang tua dan anggota keluarga. Orang tua dipastikan akan menjadi pembentuk karakter anggota keluarga (anak). Jika dikerucutkan lagi, tanpa mengecilkan peran seorang ayah, seorang ibu memiliki peran yang sangat vital. Maka tidak salah kemudian program-program yang mereka usung adalah memberikan pendidikan dan penguatan kepada kaum ibu yang notabenenya menjadi ujung tombak pendidikan anak di dalam keluarga.
Orang tua ‘jaman now’ juga harus dibekali ilmu pengetahuan dan keterampilan mendidik anak ‘jaman now’. Tentu saja, perubahan zaman akan menuntut para pendidik untuk merubah cara dalam mendidik. Cara juga menentukan hasil. Jika caranya salah, walaupun tujuannya baik, hasilnya juga akan tidak maksimal. Peran inilah yang ‘dimainkan’ oleh Muslimat Al-Ittihadiyah. Bermain di sektor pendidikan keluarga melalui peningkatan kualitas dan kapasitas hidup ibu-ibu di Indonesia.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah penguatan ekonomi keluarga. Sesungguhnya setiap orang telah dibekali bakat dan keterampilan masing-masing. Tinggal lagi, apakah ‘kekayaan’ diri itu tergali atau tidak. Ini juga menjadi salah satu fokus Muslimat AI yaitu menggali potensi ekonomis yang dimiliki pesertanya. Hasilnya jelas, dalam berbagai perhelatan mereka telah menampilkan hasil karya yang bernilai ekonomis dari busana, kuliner, hingga souvenir dan ‘kerjainan tangan’ lainnya. Potensi-potensi ini diolah dan diorganisir sedemikian rupa sehingga mendatangkan income dan mampu meningkatkan perekonomian keluarga.
Akhrinya, Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang telah disiapkan dengan segala perangkatnya harus dimulai dari organisasi terkecil yaitu keluarga. Di tengah keluargalah sesungguhnya karakter anak-anak bangsa ini dibentuk. Maka tidak salah jika Muslimat AI mengatakan ‘keluarga adalah pembentuk karakter bangsa’!
Discussion about this post