Prihatin! Mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kekecewaan masyarakat akan tabi’at buruk sejumlah oknum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi. Sebagaimana dilansir oleh jamberita.com bahwa “Belum Sebulan Menjabat, 8 Orang Anggota Dewan Sudah Absen di Paripurna DPRD Provinsi” (18/09/2019). Kata kids jaman now ‘wow emejing…’
Apakah rapat ini dianggap tidak penting? Apa rapat yang lebih penting dari Rapat Paripurna? Tidak ada. Lebih-lebih agenda kali ini adalah penetapan pimpinan definitif dan pembahasan tata tertib (tatib). Sangat penting!
Jika rapat sangat penting seperti ini sudah ditinggalkan, lantas apa lagi yang bisa diharapkan? Bayangkan, dari prosentase yang ada, berarti lebih dari 10% tidak hadir. Memang rapat memenuhi kuorum dan bisa dilanjutkan, tapi secara etika mereka yang tidak hadir telah menunjukkan pengabaian terhadap tugas, tanggungjawab dan fungsi.
Tidakkah mereka malu? Harusnya mereka malu dengan gaji, tunjangan dan segala fasilitas yang diberikan oleh negara, namun tidak menjalankan tugas dengan baik. Apa pun alasannya, tentu tugas negara semacam ini harus ditempatkan di atas segalanya sebagai mana sumpah mereka yang baru saja dilafaskan. Belum sebulan sudah ‘makan sumpah’ sendiri!
Padahal, citra buruk DPRD Provinsi Jambi belum hilang dari ingatan masyarakat atas kasus Operasi Tangkap Tangan oleh KPP atas persekongkolan Uang Ketok Palu. Seharusnya mereka benar-benar serius membenahi diri dan dimulai dari membenahi absensi. Paling tidak untuk mengobati kekecewaan hati masyarakat.
Lantas bagaimana memberikan hukuman kepada para Anggota Dewan pemalas seperti ini? Jika berbicara aturan dan perundang-undangan tentu panjang sekali prosesnya. Dipastikan tipis sekali peluang untuk memberikan hukuman kepada mereka, karena mereka sendiri yang membuat tatib dan undang-undang tersebut. Tidak mungkin mereka menjerat diri sendiri. Begitu juga aturan partai, nyaris tidak akan ada peluang jika hanya persoalan absensi pada Rapat Paripurna.
Bisakah mereka di-PAW (diberhentikan) jika tidak menghadiri sejumlah Paripurna? Tanya aja sendiri gaeyss…
Lalu, apakah masyarakat cukup diminta mengurut dada sambil geleng-geleng kepala? Jika aturan formal tidak memungkinkan, paling tidak masih ada satu jalan lain yaitu hukuman sosial (social punishment). Ini lagi-lagi jika masih ada diantara mereka yang ingin menegakkan kebenaran, terutama para pimpinan.
Apa contohnya? Pertama, umumkan kepada masyarakat nama-nama mereka yang tidak hadir. Kemudahan penyebarluasan informasi melalui media sosial saat ini rasanya akan memudahkan mengumumkan siapa saja mereka yang tidak hadir. Kirim foto dan partai mereka. Ini paling tidak menjadi referensi masyarakat di masa yang akan datang. Bisa juga dijadikan catatan hitam (black track record) mereka selama menjabat. Nanti masyarakat bisa menghitung sendiri selama lima tahun berapa kali mereka mangkir. Jangan dipilih lagi!
Kedua, tidak perlu dihormati. Sebagai masyarakat kita harus menghormati Anggota Dewan karena mereka adalah pejabat negara yang dilantik dan dibayar oleh negara. Namun, haruskah kita tetap menghormati orang yang dibayar dengan duit negara tapi melanggar aturan negara dan bahkan tidak menjalankan tugasnya kepada negara? Cukup beralasan, mereka yang nyata-nyata terbukti malas menjalankan tugas akan kehilangan kehormatan di tengah masyarakat. Tidak perlu dihormati sebagaimana mestinya. Jelas, semakin sering mereka menyakiti hati rakyat, mereka akan kehilangan simpati dari rakyat.
Akhirnya, ketidakhadiran sejumlah oknum Anggota Dewan ini nyata-nyata melukai hati rakyat. Mereka dibayar negara untuk membicarakan kepentingan rakyat tapi malah mangkir. Jika hukuman formal sulit menjerat mereka, maka hukuman sosiallah yang harus diambil. Masyarakat berhak menghukum mereka karena mereka dipilih oleh rakyat. Namun demikian, tentu saja masyarakat tidak akan putus harap semoga ke depan mereka masih bisa berubah dan kembali ke jalan yang benar. Semoga!
Discussion about this post