Mengganti ‘DNA’ (Deoxyribonucleic Acid). Itulah kesuksesan terbesar dalam hidupku. Kedengarannya agak ekstrem. Jika disederhanakan, kira-kira maksudnya adalah ‘merubah keturunan’ atau ‘merubah jalan hidup’. Yang saya maksud dengan ‘merubah keturunan’ ialah, jika saya menyebutkan diri saya ‘anak petani’, maka mulai saat ini anak saya menyebut dirinya ‘anak dosen’. Apakah perubahan sebutan tersebut merupakan prestasi terbesar dalam hidup saya? Tidak pula demikian. Perubahan sebutan itu sesungguhnya hanyalah hasil dari sebuah proses kehidupan. Jadi yang menjadi kesuksesan besar dalam hidup saya adalah prosesnya; bagaimana saya berjuang sehingga mampu mendapatkan hasil itu dan dampaknya bagi orang-orang sekitar saya dan masyarakat luas. Kesuksesan saya telah merubah paradigma dan pola pikir orang banyak terutama bagi orang kampung saya bahwa ‘anak petani miskin ternyata bisa jadi dosen’, bisa jadi apa saja, bisa sekolah setinggi-tingginya, bisa pergi keluar negeri sejauh-jauhnya. Mereka telah melihat buktinya! Sekarang mereka percaya.
Masih terngiang di telinga ucapan pesimistik salah seorang orang kampung saya pada tahun 1998 silam yang mengatakan “sudahlah, anak petani miskin seperti kita jangan bermimpi terlalu tinggi. Anak petani tetaplah jadi petani”. Saya tidak iba hati atau marah mendengarnya. Yang saya ingat waktu itu, saya hanya tidak percaya dengan ucapan itu. Fakta bahwa saya terlahir dari keluarga miskin, ya. Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa tidak ada biaya untuk sekolah apa lagi kuliah. Saya tahu bahwa, menurut orang kampung saya, sekolah dan menjadi pintar hanya milik orang kaya dan orang kota. Saya tahu itu semua. Tapi saya tidak percaya. Bersyukur kepada Tuhan saya mempunyai ayah luar biasa. Saat itu almarhum berkata “Nak, kita memang keluarga miskin. Ayah minta maaf karena tidak punya uang utuk menyekolahkanmu. Satu harapan ayah, sekolahlah, Nak. Setinggi yang kau bisa”. Ternyata semangat yang dikobarkan beliau itu sudah lebih dari cukup untuk menghadapi ‘medan perang’ menuntut ilmu.
Proses perjuangan itu memang terlalu panjang dan telah menguras keringat dan air mata. Tidak pula bermaksud bernostalgia, tapi paling tidak saya masih bisa berbagi cerita bagaimana jalan-jalan itu ditapaki dengan penuh perjuangan. Sewaktu Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) saya habiskan bersama orang tua dan keluarga di kampung halaman. Tapi kehidupan saya waktu itu ternyata memang berbeda dari teman-teman sebaya. Jika kawan-kawan sepulang sekolah bisa bermain di lapangan atau di taman, saya harus langsung ke ladang atau ke sawah. Ayah dan Emak sudah menunggu di ladang walau sekedar mengusir burung dari hamparan padi kami. Sore hari ada sapi bantuan pemerintah (Sapi bandes) yang harus saya ingun. Malam antara magrib dan isya menghabiskan waktu di surau belajar sembahyang dan mengaji. Tidak jarang di waktu libur sekolah, saya harus membantu ayah mencari nafkah dengan mengumpulkan papan-papan sisa sawmill (perusahaan kayu) untuk dijual. Di sekolah saya sudah belajar berjualan kerupuk dan permen. Semua terlewati. Kini ceritu itu mengharukan, dulu betul-betul memilukan.
Masa Sekolah Menengah Atas (SMA) juga tidak kalah ‘menantang’. Jika mau sukses, hijrahlah. Entah dari mana pula saya dapatkan kata itu. Yang ada dibenak saya saat itu, saya harus keluar dari kampung. Saya harus merantau. Tentu saja tidak diizinkan oleh orang tua, terutama ibunda tercinta. Ibu mana yang mau melepas anaknya mengarungi ‘bahaya’. Merantau tanpa biaya itu sama saja mengejar malapetaka. Dengan segala alasan mereka merestui juga. Masuklah ke SMU N 2 Muara Bungo.
Masa SMA dilalui dengan segala macam ‘pertempuran’ pula. Tekad sudah dibulatkan bahwa sedapat mungkin tidak meminta kiriman dari orang tua. Tinggallah di sebuah kantor pemerintahan yaitu Kantor Sosial Politik Kabupaten Bungo Tebo (Sekarang jadi kantor KPU Kab. Bungo). Sebagi office boy (OB) tugas rutin sudah jelas nyapu, ngepel, membersihkan ruangan, naik dan menurukan bendera, dan lain-lain. Dilakukan subuh dan malam hari. Sepulang sekolah menjadi kacung di lapangan tenis. Tidak ada uang untuk ongkos angkot, cukup naik sepeda. Sebagai tambahan biaya sekolah, jadi buruh bangunan, jadi tukang kebun, dan banyak lagi. Namun semua itu tidak menghalangi untuk jadi juara di sekolah. Rangking lima besar selalu di tangan; dari kelas satu hingga kelas tiga. Ahamdulillah.
Puncaknya, tahun 1998 saya terpilih menjadi mahasiswa undangan dari dua universitas yang diajukan. Dari Universitas Jambi dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarata. Di terima di universitas sekelas UGM tanpa tes adalah impian setiap anak bangsa ini. Siapa yang tidak menginginkannya? Tapi bagi saya waktu itu, surat undangan itu adalah gendrang perang melawan kemiskinan. Berangkat tidak ada biaya, tidak berangkat ‘mati’ sia-sia. Pilihan cuma dua waktu itu, mati di rantau atau sukses membawa toga. Kepada orang tua hanya diminta restu dan doa.
Merantau ke Jogja sudah dapat dipastikan memperluas ‘medan tempur’. Empat tahun dan empat bulan masa studi di UGM dilalui penuh dengan ‘pertumpahan darah’. Satu keyakinan yang kuat dalam diri bahwa untuk menuntut ilmu pasti ada jalan. Keyakinan itu betul-betul menjadi ‘tank baja’ penghancur segala macam rintangan. Tinggal bersama induk semang. Semua kerja dilakoni. Jual koran, roti bakar bandung, air mineral galon, dan lain-lain. Lagi-lagi semua itu tidak membuat urusan akademik terabaikan. Beberapa organisasi masih bisa diikuti. Untuk membayar SPP saya mendapat beasiswa bernama Beasiswa Kerja Mahasiswa, kerja sama UGM dengan AUS-AID (Australia) – mahasiswa diberi beasiswa tapi harus bekerja paruh waktu (part-time) di lingkungan kampus. Pahit manis kehidupan dinikmati jua. Tidak ada kata mengeluh apa lagi mengalah. Akhirnya, semua duka selama hampir lima tahun itu seolah terbayar lunas ketika mampu membawa kedua orang tua menghadiri wisuda. Ayah dan bunda menangis haru melihat anaknya mengenakan toga; Sarjana Sastra (SS). Lebih-lebih ketika mereka berdua diminta berdiri sebagai orang tua dari mahasiswa yang masa studinya tercepat diangkatan itu, Fakultas Ilmu Budaya.
Hanya berselang empat bulan setelah wisuda, September 2003 ayahnda tercinta kembali kepangkuan Yang Maha Esa. Sebelum kepergian beliau masih sempat berpesan “sekolahkan adikmu dan tuntutlah ilmu. Orang berilmu itu lebih bijaksana”. Selamat Jalan dan terima kasih, Ayah. Selesai S1 ternyata perjuangan menuntut ilmu belum berhenti sampai di situ. Tahun 2006 saya diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil, Dosen IAIN STS Jambi. The next war is master. Mana uangnya? Tidak ada pilihan lain kecuali menggadaikan SK untuk biaya kuliah. Terbanglah ke Malaysia dengan meninggalkan SK PNS di Bank Syariah Mandiri.
Di Malaysia kembali melanjutkan perjuangan untuk bersekolah. Gaji sudah tidak ada lagi karena sudah dipotong bank. Tunjangan tidak diberikan selama masa studi. Beasiswa provinsi tidak diberi karena dianggap terlalu ‘vocal’ beropini di surat kabar. Terbiasa dengan kehidupan yang penuh perjuangan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, maka pantang bagiku menyerah pada ketidak benaran. Tidak akan menyembah kezholiman. Hanya karena sebuah tulisan di koran, saya diharamkan mendapatkan beasiswa oleh penguasa saat itu. Namun pertolongan Allah selalu terbuka di atas kebenaran dan perjalanan menuntut ilmu. Tanpa beasiswa dari mana pun, dengan kerja keras masa dua tahun terlewati sampai akhirnya memperoleh gelar Master of Art (MA).
Apa makna perjalanan panjang ini? Perjalanan dan perosesnya itulah kesuksesan terbesar dalam hidupku. Maka di dalam berbagai kesempatan semimar motivasi pendidikan saya selalu tegaskan ‘jangan jadikan kemiskinan kambing hitam untuk tidak menuntut ilmu setinggi-tingginya’. Sayalah si miskin itu, dan saya sudah melewatinya.
Perjuangan memang belum berakhir. Insya Allah tiga tahun mendatang saya optimis akan bercerita bagaimana manisnya memperoleh beasiswa dari LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) dalam menggapai mimpi sebagai doktor (Ph.D) di luar negeri yang jauh di ujung dunia sana. Saya akan ceritakan pada dunia, betapa besar peran lembaga ini mengantarkan saya ke ‘garis finish’. Saya sampaikan pula kepada orang kampung saya, anak petani miskin boleh memperoleh beasiswa ini. Semoga.
Discussion about this post