Satu persatu korban jiwa mulai berjatuhan. Selebihnya masih menunggu di Rumah Sakit karena terserang ISPA. Terakhir adalah seorang siswa SMP N 5 Kota Jambi bernama Wahyuni. Berbagai media di Jambi telah banyak memuat beritanya secara massif. Pencemaran Udara di Kota Jambi memang telah kian parah. Saat ini, tidak hanya sekedar asap yang membuat mata perih dan berair disamping susahnya bernafas, tetapi juga sudah disertai debu sisa bakaran yang berterbangan. Debu ini sangat halus yang diyakini dapat masuk ke dalam saluran pernafasan. Rasanya juga tidak ada ubahnya dengan hujan debu vulkanik yang dikirim dari Merapi atau Sinabung.
Jika menilik Keputusan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nomor KEP-107/Kabapedal/11/1997, angka dan ketagori Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) adalah 1-50 baik, 51-100 sedang, 101-199 tidak sehat, 200-299 sangat tidak sehat, dan 300-lebih, berbahaya. Dilansir oleh berbagai media saat ini di Jambi, khususnya Kota Jambi dan beberapa daerah seputaran titik api ISPU telah hampir mencapai angka mematikan; 400 Spi. Dengan angka ini maka tidak lama lagi kuburan massal akan segera digali untuk rakyat Jambi.
Pemerintah Abai
Penderitaan rakyat yang sudah sekian parah ternyata tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan oleh pemerintah khususnya Provinsi Jambi. Di bawah pimpinan Penjabat Gubernur saat ini, pemerintah terkesan abai. Belum terlihat ada kesamaan ‘nasib’ antara pemerintah dan rakyatnya. Rakyat telah ‘megap-megap’ Sang Pj Gubernur malah ‘ngomongin’ reshuffle kabinet. Nampaknya urusan politis lebih penting dari urusan nyawa rakyat; abai.
Memang tidak menafikan dengan usaha yang sedang dilakukan dengan mendatangkan helicopter pemadam kebakaran yang beberapa hari terakhir beroperasi. Namun, usaha ini rasanya tidak sebanding dengan ekspektasi masyarakat yang saat ini benar-benar dalam penderitaan karena susah bernafas di dalam kabut asap yang kian pekat. Masyarakat menginginkan ada usaha yang lebih besar, serius, massive dan reaktif.
Rasanya tidak ada pilihan kecuali Pj Gubernur menyampaikan kepada masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia bahwa masyarakat Jambi saat ini sedang dilanda bencana. Tunjukkan sense of crisis. Kirim pesan SOS. Namun sayang, alih-alih melakukan itu, Sang Pejabat beberapa waktu lalu malah mengeluarkan statement bahwa Jambi tidak terdapat titik api alias nol. Presiden Joko Widodo pun batal ke Jambi.
Kerahkan Seluruh Kekuatan
Asap bukan bencana dari Allah, tapi ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Jika dirunut, asap yang terjadi saat ini adalah akibat perbuatan pemerintah juga baik pusat maupun daerah. Kebakaran yang terjadi disenyalir dilakukan oleh beberapa perusahaan. Izin perusahaan itu dikeluarkan oleh pemerintah. Jadi akarnya adalah pemerintah. Silahkan mengakui atau boleh juga ngeles. Faktanya, asap mengepul di Jambi.
Saat ini, diperlukan kekuatan penuh. Tidak bisa hanya bergantung kepada satu instansi atau SKPD. Pj Gubernur harus mengerahkan segala kekuatan termasuk ‘mengajak’ pemerintah pusat untuk ‘merasakan’ asap Jambi. Tidak dapat dipungkiri, untuk mengatasi asap seperti ini diperlukan biaya yang tidak sedikit, maka dari itulah diperlukan kekuatan yang lebih besar. Maka sebagai front liner, tidak bermaksud mengajari buaya berenang, Pj. Gubernur seharusnya mampu mengambil perhatian dunia untuk mengarahkan mata mereka kepada penderitaan rakyat Jambi. Tinggalkan dulu hal-hal yang bukan prioritas dan bersifat politis. Rakyat sedang menderita, Pak Bro!
Diperlukan Gerakan Sosial
Tulisan ini tidak bermaksud mengajak masyarakat untuk demo. Memang saat ini yang dibutuhkan adalah gerakan massa yang massive untuk menggugah semua pihak bahwa ada keadaan darurat yang sedang dihadapi masyarakat Jambi saat ini. Gerakan massa ini tentunya tidak hanya demonstrasi ke Kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) atau ke Kantor Gubernur Jambi. Ini pun sudah dilakukan beberapa organisasi dan elemen masyarakat. Hasilnya juga belum signifikan. Pemerintah dan pengambil kebijakan agaknya lebih suka mencari alasan ketimbang merasakan penderitaan rakyat. Wakil rakyat masih ‘duduk manis’ menikmati fasilitas yang ada. Mereka seakan lupa siapa yang memilih mereka.
Banyak hal yang bisa dilakukan selain membawa sepanduk ke DPRD atau Kantor Gubernur dan Wali Kota yang pasti dihadang Satpol PP dan Polisi. Mereka sudah terlalu terbiasa, jadi ‘dak ngaruh’ lagi. Bak pepatah ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Alternatif lain yang memungkin untuk dilakukan saat ini adalah ‘demo’ di media-media sosial. Harus ada motor penggerak dan penggagas untuk menggerakkan massa untuk menyampaikan pesan darurat ini.
Gerakan massa saat ini sangat dibutuhkan untuk menarik perhatian masyarakat dunia. Kita telah banyak membuktikan bahwa gerakan sosial mampu ‘mencuri’ perhatian dunia dan kemudian berbuah aksi nyata. Tinggal lagi saat ini mencari volunteer yang tulus untuk menggerakkan massa Jambi untuk melakukannya secara terorganisir dan massif. Jangan anarkis.
Akhirnya, keadaan kabut asap di Jambi saat ini sudah tidak bisa dianggap biasa-biasa saja. Siapa pun yang berada di Jambi saat ini harus sepakat bahwa kita telah berada dalam kondisi darurat alias membahayakan alias mamatikan. Mari kita tingkatkan sense of crisis terhadap kondisi ini. Jika pemerintah (masih) juga abai, tidak lama lagi, mari kita siapkan peralatan untuk menggali kuburan massal. Mati samo-samo!
Discussion about this post