Setiap orang pasti pernah merasakan emosi ‘negatif’ seperti kesedihan, jijik, ketakutan, kemarahan dan kekecewaan. Ada juga emosi bahagia yang sering diperlihatkan dengan perasaan senang, ceria, puas, gembira dan sejahtera. Paling tidak inilah beberapa emosi dasar yang dimiliki oleh manusia.
Karena emosi-emosi ini merupakan sifat bawaan setiap manusia, maka dia tidak bisa dihindari tapi bisa dikelola. Aritnya, tidak ada orang yang tidak marah. Pasti pernah marah atau kecewa. Tapi ada orang yang mampu mengelola amarahnya sehingga terlihat seolah-olah dia tidak pernah marah atau kecewa.
Artikel singkat ini hanya akan mendiskusikan satu saja: kecewa. Bagaimana mengelola perasaan kecewa.
Kecewa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perasaan kecil hati; tidak puas (karena tidak terkabul keinginannya, harapannya, dan sebagainya), atau tidak senang.
Coba lihat beberapa contoh kasus;
‘Saya kecewa karena dia gak bayar hutang sesuai janjinya’
‘Papa kecewa karena kamu tidak jadi juara kelas’
‘Mama kecewa. Kamu tidak mau menikah dengannya’
‘Saya kecewa karena omset perusahaan kita menurun drastis bulan ini’
‘Saya kecewa karena sebagian besar mahasiswa tidak mengerjakan tugas sesuai petunjuk’
‘Kami kecewa karena anggota dewan banyak yang absen di rapat paripurna kali ini’;
dan seterusnya.
Mari pelajari contoh-contoh kasus itu dan padu padankan dengan definisi ‘kecewa’ yang diberikan oleh KBBI di atas. Jelas bahwa ada garis singgung yang nyata yaitu; tidak puas. Mengapa tidak puas? Karena ada harapan dan keinginan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Inilah sebenarnya penyebab utama kecewa. Sekali lagi, ada harapan yang tidak terpenuhi. Itu berarti, jika tidak ada harapan maka tidak ada kecewa. Batul. Tapi, masalahnya adalah bahwa ‘berharap’ juga merupakan salah satu sifat manusia. Tidak mungkin orang tidak berharap.
Maka yang harus dilakukan adalah dengan mengelola dan menekan kekecewaan itu sehingga ia berada pada porsinya; tidak lebih dan tidak kurang.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menekan kekecewaan adalah dengan satu frasa ‘tidak harus’. Coba perhatikan baik-baik. Ternyata harapan dan keinginan itu bentuknya ‘keharusan pihak lain terhadap diri kita’. Coba lihat contoh-contoh di atas. Semua ternyata adalah keharusan. ‘Papa kecewa karena kamu tidak jadi juara kelas’. Mengapa kecewa? Karena Sang Papa mengharuskan anaknya juara kelas. Andai tidak ada keharusan itu, maka Papa tidak kecewa.
Sekali lagi, kita kecewa karena ada kata ‘seharusnya’. Ada keharusan pihak lain terhadap pemenuhan keinginan kita. Ketika keharusan itu tidak terpenuhi maka ia akan berubah menjadi emosi / perasaan. Itulah kecewa.
Jadi sekarang kita sudah tahu kata kunci pengelolaan kekecewaan itu adalah ‘tidak harus’. Untuk tidak kecewa pada orang lain atau mencari porsi yang pas, ‘tidak harus’ mereka memenuhi keinginan kita. Untuk tidak kecewa dengan keadaan, ‘tidak harus begitu’ dan menerima kondisi yang ada.
Pada level yang lebih tinggi, ‘tidak harus’ sudah harus diubah menjadi ‘harusnya saya’. Sekarang dibalik. Tidak hanya menuntut pihak lain ‘tidak harus’ tapi menempatkan diri sendiri sebagai orang yang ‘seharusnya’. ‘Papalah yang seharusnya membimbingmu biar juara kelas’.
Menempatkan diri sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap situasi yang tidak diinginkan. Ini tentu berat. Berat sekali untuk menekan emosi dengan menjadikan diri sendiri sebagai orang yang dipersalahkan. Apa lagi, kesalahan itu jelas-jelas berada pada pihak lain, tapi dengan tulus ikhlas mengakui atau mengambil alih bahwa salah itu ada di diri kita. Berat!
Tapi yakinlah, dengan cara ini akan dapat menghindari rasa kecewa. Di level satu saja ‘tidak harus’ kita sudah bisa tenang, apa lagi di level dua ‘harusnya saya’. Tenang dan menenangkan. Perasaan yang muncul kemudian pasti besar hati, puas dan senang.
Berat bukan berarti tidak bisa. Bisa, tapi kita perlu latihan. Ibarat pilot, kita perlu jam terbang dan harus mempu melewati berbagai situasi sulit. Pilihannya juga pahit. Jika kita tidak mau ‘berdamai’ dengan rasa kecewa dan terus menerus menempatkan ‘seharusnya’, maka kita akan selalu hidup dalam kekecewaan. Dan, itu lebih berat lagi. Semua orang pasti mengecewakan, semua keadaan tidak menyenangkan, semua tempat menyebalkan. Dunia penuh kebencian.
Bagaimana supaya tidak kecewa? Katakan pada diri kita sendiri bahwa mereka ‘tidak harus’. Justeru, ‘sayalah seharusnya’. Selamat mencoba.
*Ditulis oleh: Bahren Nurdin (Akademisi UIN STS Jambi dan Mindsetting Programmer )(motivator).
Discussion about this post