Oleh: Bahren Nurdin, MA
Ada yang tau asal kata ‘mudik’? Saya yakin sebagian besar dari kita tidak terlalu memperdulikan katanya berasal dari mana atau bahasa siapa. Pasti anda lebih penting tiket mudik ketimbang susah-susah mencari asal kata itu. Baiklah, minimal sambil menanti kendaraan mudik, bisa juga menikmati tulisan ringan ini, hehehe.
Saya menelusuri beberapa sumber untuk mendapatkan landasan akademis dari mana sebenarnya kata ‘mudik’ itu berasal. Ternyata, banyak sumber dan banyak versi. Namun saya belum menemukan naskah akademik yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (online) pun memberikan definisi yang singkat yaitu, 1, (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman): 2. pulang ke kampung halaman.
Saya coba generalisir saja. Ada yang mengatakan bahwa ‘mudik’ itu berasal dari Bahasa Jawa ‘udik’ atau kampung. Kata ‘mudik’ kemudian di artikan ‘mulih udik’ yang artiknya ‘mulih’ sama dengan pulang, ‘udik’ sama dengan kampung. Jadi ‘mudik’ adalah akronim (gabungan kata) dari ‘mulih udik’ yang berarti pulang ke kampung.
Sebagai orang melayu Jambi, saya agak berbeda pendapat. ‘Mudik’ tidak berasal dari kata ‘mulih udik’. Saya rasa, kami memiliki makna sendiri atas kata ini. Kata ‘mudik’ dalam bahasa Melayu Jambi berarti ‘hulu’.’Hulu’ sangat berkonotasi dengan ‘hulu sungai Batang Hari’. Orang Jambi pasti sudah tahu bahwa jika menyebut dirinya ‘orang mudik’ itu berarti mereka berasal dari daerah hulu Sungai Batang Hari seperti Kab. Tebo, Bungo, Sarolangun, Merangin, dst. Lawan dari kata ‘mudik’ adalah ‘hilir’. ‘Hilir’ berarti daerah-daerah yang berada di muara Sungai Batang Hari seperti Kab Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Ma. Jambi, dst.
Tapi kata ‘mudik’ dalam konteks pulang kampung sebenarnya tidak mengacu pada tempat (hulu dan hilir). ‘Mudik’ agaknya mengacu pada ‘perbuatan’. Bagi orang Jambi, orang yang pergi meninggalkan rumah (merantau) itu selalu disebut pergi ‘ilir’. Hal ini tidak salah, karena dulu transportasi yang digunakan oleh masyarakat Jambi melalui air (Sungai Batang Hari). Jadi jika mereka hendak pergi merantau dapat dipastikan akan pergi ke hilir dengan menggunakan perahu atau kapal. Bahkan sampai saat ini, sesekali masih terdengar pertanyaan “bilo ilir ke Jambi?” (kapan berangkat ke Jambi?). Masih ada kata ‘ilir’ padahal tidak lagi menggunakan kendaraan air.
Karena mereka pergi meninggalkan rumah itu menuju ke hilir sungai, maka ketika suatu saat mereka hendak kembali kerumah atau pulang dari perantauan dapat dipastikan harus mudik menuju hulu sungai. Pulang dari rantau pastilah mereka mudik. Pada masanya memang harus mudik menelusuri arus balik Sungai Batang Hari. Agaknya inilah asal muasal kata ‘mudik’ bagi masyarakat melayu Jambi.
Namun kemudian, perubahan zaman terjadi dan kemajuan teknologi tak dapat dihindari. Transportasi air tidak digemari lagi. Arah perantauan mereka pun tidak harus pergi ke hilir. Ada juga yang merantau ke hulu (ke Barat) seperti ke Sumbar, Medan, Riau, dan seterusnya. Daerah-daerah ini notabenenya barada di hulu. Tapi ketika pulang merantau dari daerah-daerah ini masyarakat pun tetap meyebutnya mudik, padahal secara geografis mereka menuju hilir ketika hendak pulang ke Jambi.
Pada konteks inilah kemudian ‘mudik’ tidak lagi mengacu pada ‘daerah geografis’ tapi berada pada konteks budaya. Kata ‘mudik’ mengalami perluasan makna menjadi ‘pulang ke kampung halaman’, tidak peduli dari hulu ke hilir atau sebaliknya. Tapi mengapa ‘mudik’ identik dengan lebaran? ===Bersambung.
#BNODOC167172017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post