Oleh: Bahren Nurdin, MA
[Pertama; jika ditelusuri asal katanya, ‘mudik’ ternyata memiliki akar kata dari berbagai daerah. Masing-masing daerah memiliki versi sendiri-sendiri. Orang Jawa menganggap kata ‘mudik’ berasal dari suku kata ‘mulih’ dan ‘udik’ yang artinya pulang kampung. Sementara Melayu Jambi mengartikan kata ‘mudik’ pulang ke hulu. ‘Mudik’ berlayar kea rah hulu sungai]
Apa pun asal katanya, agaknya kita sepakat bahwa saat ini kata ‘mudik’ sudah menjadi bahasa Indonesia yang dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesa yang berarti pulang kampung sebagaimana telah tercatat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tidak perlu pula diperdebatkan apakah ‘mudik’ itu harus ke hulu atau ke hilir. Mudik itu artinya pulang kampung!
Jika begitu, kapan pun anda pulang kampung dari rantau disebut mudik. Ya, betul. Tapi mengapa harus waktu lebaran? Ini hanya soal momentum saja. Mudik kemudian menjadi trend dan mencapai euphorianya pada saat lebaran (hari raya Idul Fitri). Namun dimikian, saat ini kata ‘mudik’ juga sudah digunakan secara luas oleh penganut agama selain Islam dalam rangka memeriahkan hari besar agama yang di anut. Saat ini sudah muncul kata ‘mudik’ natalan. Juga tidak perlu diperdebatkan.
‘Mudik’ kemudian menjadi kekayaan kearifan local (local wisdom) bangsa ini. Ia menjadi kebanggaan dan khasanah yang telah pula berkontribusi untuk menyatu padukan berbagai macam unsur perbedaan dan keragaman. Maka mudik harus dilihat sebagai nilai-nilai. Mengapa harus mudik? Untuk menjaga nilai-nilai kearifan itu.
Pertama, nilai silaturrahim. Allah memang memerintahkan manusia untuk bertebaran di muka demi bumi mencari rizki. Bumi Allah ini memang luas. Dengan kemudahan transportasi saat ini, ummat manusia memungkinkan untuk mencari penghidupan walau sampai ujung dunia (dunia bulat, jadi tidak ada ujung, hehe). Firman Allah, berterbaranlah kalian di muka bumi ini untuk mencari rizki yang halal seperti yang tertulis pada surah Al-Jumu’ah ayat 10, “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung”.
Ketika mereka telah jauh menjelajah dunia Allah yang luas ini, maka ‘mudik’ memanggil mereka kembali ke pangkuan kampung halaman. Mudik kemudian mempererat nilai-nilai silaturrahim. Sebuah nilai yang harus tetap terjaga. Bayangkan saja jika tidak ada tren mudik, berapa banyak orang yang tidak lagi mengenal tanah kelahirannya.
kedua, nilai berbagi. Berbagi tentunya tidak selalu identik dengan THR (tunjangan hari raya). Bisa berbagi apa saja. Berkumpulnya keluarga dan sanak saudara yang setelah lama terpisah, mudik menjadi momentum untuk berbagi cerita, pengalaman, motivasi, dan sebagainya. Dengan cara inilah kemudian keakraban dan kebersamaan terbina dan terjaga. Nilai ini pula yang telah menjadi pengikat kuat persatuan dan kesatuan bangsa ini. Itu berarti ‘mudik’ juga telah mejadi kearifan yang patut dikelola dengan baik.
Ketiga, nilai-nilai kemanusiaan dan universalitas. Tren ‘mudik’ telah pula menimbulkan multiplier efek terhadap berbagai lini kehidupan bangsa ini. Euphoria mudik tidak hanya dirasakan oleh umat muslim saja tapi semua masyarakat Indonesia. Ditengah berbagai perbedaan yang ada, masayarakat mampu mempersatukan diri dalam kegembiraan dan kebahagiaan mudik.
Akhirnya, mudik tidak hanya sekedar pulang kampung. Mudik adalah salah satu kekayaan kearifan lokal bangsa ini. Berbagai nilai tersampaikan melalui pesan mudik. Seharusnyalah kekayaan budaya ini terpelihara dan terkelola dengan baik. Semua masyarakat dan stakeholder juga pemerintah harus menjadikan event mudik ini sebagai sesuatu yang postif. Selamat Mudik dan hati-hati di jalan, Brai!
#BNODOC168182017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post