Oleh: Bahren Nurdin, MA
Dalam pergaulan sehari-hari, dapat dipastikan kita hidup di antara orang-orang yang memiliki rasa suka dan benci. Istilah populernya ‘lover’ dan ‘hater’. Dua kelompok manusia ini sesungguhnya sangat bermanfaat dalam kehidupan kita baik langsung maupun tidak langsung. Maka kita tidak boleh pula meletakkan sikap cinta hanya kepada para pecinta (lover) atau bengis kepada para pembenci (hater), tetapi harus mampu mengelola kedua kelompok ini menjadi energi positif untuk kemajuan diri.
Belumlah seseorang itu disebut berjiwa besar sebelum ia mampu mencintai para pembenci seperti ia mencintai para pecintanya. Hayo, bisakan?
Maka, hal yang perlu dihindari adalah mencoba mengubah sikap mereka sesuai yang diinginkan. Tidak perlu. Kita akan menguras tenaga dan rasa jika mencoba mengubah sikap para pembenci menjadi pecinta. Salah-salah bersikap dan bertindak kitalah yang akan menjadi pembenci. Harus diingat, sikap mereka terhadap kita adalah hak dan pilihan mereka. Artinya, merekalah yang memutuskan apakah mereka akan menjadi pecinta atau pembenci. Maka fokusnya bukan kepada mereka, tapi pada diri kita sendiri. Kita menentukan sikap kita sendiri dan biarkan mereka menentukan sikap terhadap kita. Adilkan?
Para pembenci datang dari berbagai kalangan, dari awam hingga intelektual. Jangan dikira para intelektual yang notabenenya kaum terdidik tidak bisa menjadi pembenci. Bisa. Sekedar contoh (tidak bermaksud pula membenci), ada seorang dosen di sebuah perguruan tinggi yang memiliki pendidikan tinggi, menyebut dirinya aktivis perempuan, aktivis lingkungan, pejabat kampus, penulis, peneliti dan sebagainya. Tapi kalimat-kalimat yang tertulis di FB nya selalu saja bernuansa kebencian. Setiap hari kerjanya menyalahkan dan menyerang orang lain. Semua status orang lain di FB dikomentari dengan nada sinis medan antipati. Untuk menyampaikan informasi baik pun menggunakan kata-kata negatif. Bahkan, tidak jarang kemarahan dan caci maki itu dia berikan pada dirinya sendiri. Kasihan.
Ada apa? Maka harus dipahami pula, orang yang belum selesai dengan dirinya, pasti bermasalah dengan orang lain. Ada ‘ketidak beresan’ hubungan dengan dirinya sendiri. Konflik internal (kejiwaan) sangat berdampak terhadap hubungannya dengan orang lain.
Biasanya,Pertama, mahal kata ‘maaf’. Orang seperti ini sangat susah untuk memaafkan. Tidak hanya pada orang lain, termasuk pada dirinya sendiri. Yang diinginkannya, orang lain harus ‘sengsara’ di tangannya jika melakukan kesalahan. Kedua, merasa paling benar. Dia merasa paling benar dan paling sempurna di muka bumi ini. Atas rasa kebenaran itulah dia merasa punya hak untuk menyalahkan orang lain. Ketiga, iri melihat keberhasilan orang lain. Rasa ini muncul ketika melihat dirinya hebat maka orang lain tidak boleh melebihi dirinya. Keempat, selalu ingin menarik perhatian orang lain (eksis). Sedapat mungkin dialah yang berhak diperhatikan. Untuk mendapatkan itu, ia harus ‘tampil beda’ dengan membenci semua orang. Kasihan.
Atas semua sikap itu, jangan tunjukkan perlawanan. Semakin dilawan semakin menjadi. Dipastikan dia tidak mau kalah. Maka cara terbaik adalah dengan belajar memahami dan mencintainya. Tata hati untuk bergaul dengan orang-orang seperti ini. Hati kita, bukan hati mereka.
Apakah para pembenci ini diperlukan dalam hidup kita? Sangat diperlukan. Sama perlunya kita terhadap para pecinta. Jika para pecinta akan memberikan energi postif yang selalu mendukung dan memuji, maka para pembenci akan bertindak sebagai pengontrol dan pembasmi rasa sombong dalam diri kita. Tidak mudah memang mencintai orang yang membenci. Tapi paling tidak janganlah ikut membenci karena mereka juga berkontribusi pada kesuksesan kita. Maka cintailah para pembenci.
#BNODOC10112042017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post