Oleh: Bahren Nurdin, MA
Saya menulis artikel ini sambil menyeruput teh panas di sebuah hotel di Kota Muara Bungo. Sruupp…sambil mempersiapkan diri sebagai pemateri pada Training Hypnoteaching di salah satu Pondok Pesantren terkenal di kota ini; Diniyah Al-Azhar. Menikmati akhir pekan dengan terus berbagi untuk kebaikan, insya Allah.
Pada artikel ringan ini, saya juga ingin menemani anda menikmati pagi ini dengan berdiskusi isu ringan tentang perubahan sambil ‘menari’ bersamanya. Harus jujur, dalam banyak hal dan problematika kehidupan tidak semua orang siap dan mampu berdamai dengan perubahan yang terjadi baik pada diri maupun lingkungan hidup. Sementara perubahan itu sendiri adalah sebuah keabadian. Tapi bagi saya, khususnya di kota ini saya hanya ingin mengambil kesempatan untuk menikmati perubahan-perubahan yang dilakukan oleh waktu. Itulah indahnya masa lalu.
Banyak hal yang terjadi seiring waktu yang berlalu. Saya ingin menari bersamanya.
Saya meninggalkan kota tempat saya menulis ini pada tahun 1998. Saya menelusuri seluk beluk kota ini dengan bersepeda ketika masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Saya menghabiskan waktu jauh dari orang tua dan hidup di kota ini dengan penuh kisah-kisah ‘heroik’. Perjuangan seorang anak petani yang ‘nekat’ menjemput impian. Beberapa ‘situs sejarah’ perjalanan itu masih dapat ditemui. Namun, beberapa diantaranya telah lenyap dilahap perubahan. Kota ini benar-benar sudah jauh berubah dibanding 19 tahun lalu. Tetapi memorinya masih tersimpan rapi bak melodi.
Tidak jauh dari hotel mewah ini, syukurnya saya masih bisa bertemu dengan salah satu kantor pemerintah di mana dulu saya menjadi office boy. Saya masih bisa berdiri di depannya sambil menyaksikan bayangan masa lalu yang masih tergambar dengan jelas dan nyata. Sebagai pesuruh, saya menikmati tidur di kursi rapat yang disatukan, menyapu dan mengepel, membersihkan setiap ruangan, menaik dan menurunkan bendera, dan banyak lagi.
Walau pun saya masih bisa menemukan ‘situs’ bersejarah itu, tapi sebagian besar kota ini sudah berubah bentuk. Bangunan-bangunan baru tumbuh. Ruko dan pusat perbelanjaan menjamur. Rumah-rumah mewah berjejer. Jalan-jalan dikembangkan sehingga banyak jalan-jalan baru yang saya tidak lagi tahu tembusnya kemana. Itulah perubahan secara fisik. Belum lagi bicara perubahan secara nonfisik yang juga tidak kalah banyaknya.
“Melodi’ perubahan mengalun bertalu-talu bersama kisah-kisah masa lalu. Saya bagai sebuah jembatan antara masa lalu dan masa sekarang. Apa yang dulu tidak terlihat kini dapat disaksikan. Indahnya menjadi kacung di lapangan tennis, lapangan juga bagian tidak terlupakan dari perjalanan di kota ini. Saya masih menyempatkan diri berdiri di samping lapangan tennis itu. Masih sangat jelas di upuk mata bagaimana bahagianya berlari ke sana kemari mengejar bola dari raket anak-anak yang sedang dilatih.
Siapa mereka yang sedang latihan itu? Mereka adalah adik-adik kelas di sekolah. Mereka beruntung terlahir di tengah keluarga berada, anak-anak pejabat. Walaupun satu sekolah, tapi beda kasta. Termasuk di lapangan tennis itu. Saya kacung mereka yang bermain. Indahnya lari mengejar bola itu ternyata masih tetap menari di upuk mata. Smile!
Waktu terus belalu dan saya harus terus bergerak. Teruslah bergerak sampai nanti dihentikan oleh maut. Tapi jangan lupa menghiasi setiap pergerakan dengan menempatkan Allah sebagai sandaran hakiki. Amin. #BNODOC29321102017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post