== 1 ==
“kkrrriiiiiii….ttt” Tiba-tiba mobil mewah Honda CR-V seri terbaru itu berhenti mendadak meninggalkan bekas hitam di aspal. Beberapa mobil yang mengikuti di belakangnya juga terpaksa menginjak rem seketika untuk menghindari tabrakan. Paling tidak ada lima mobil mewah berbagai merek lainnya terhenti sejenak dan kemudian melewati mobil mereka.
“Hei..Bung, Lho punya SIM gak? Ngawuur… berehenti kok seenak perut..!!” sumpah serapah beberapa sopir mobil yang mengikuti mereka sambil menutup kemabli kaca mobil mereka.
Zero tak peduli dengan itu. Ia hanya merapatkan keningnya ke stir sambil memeluknya erat. “Mengapa Mas..? Apa yang salah dengan pertanyaan saya tadi? Apa saya tidak boleh bertanya seperti itu?” Pertanyaan Mila bertubi-tubi. Mila pun masih pucat karena Zero hilang kendali saat ia lontarkan pertanyaan yang menurutnya adalah pertanyaan biasa.
“Ah…gak papa.” Zero kembali mengidupkan mobilnya setelah beberapa saat menarik nafas panjang untuk menstabilkan emosinya dan kemudian tancap gas lagi menelusuri jalan raya yang lumayan ramai hari itu. Tapi tidak macet. Ia beberapa kali bersyukur karena bisa memacu mobil sekehendak hati karena ia ingin cepat sampai. Sudah diketahui se sisi dunia ini bahwa Jakarta itu adalah Kota Macet. Bayangkan saja ketika suasana hati tidak enak seperti ini ditambah dengan macet, bisa-bisa dia gila.
Mila yang duduk di sampingnya juga tak banyak bicara. Dia hanya diam sambil menimbang-nimbang bagaimana cara membujuk sopirnya itu untuk bicara. Dia tahu betul saat ini Zero sedang marah besar. Ini adalah kali kedua pertanyaanya dijawab dengan kemarahan. “Mas… Kamu marah ya? Oke deh saya minta maaf. Sekali lagi saya minta maaf. Oya…minggu depan saya mau pergi ma papa ke pesta perkawinan anak temannya. Tolong temani saya ke boutique Annisa ya besok. Bisa kan?” Tanya Mila hati-hati.
“Baik, jam berapa?” Tanya Zero masih kalem dan hormat pada majikannya itu. Tentu ia paksakan walau di hatinya ada gunung kemarahan yang luar biasa. Itu memang resiko menajdi buruh dan pesurh. Orang jawa bilang ‘mendam jero, mikul duwur’, alias makan hati. Hati boleh remuk, marah, benci, tapi wajah harus tetap senang dan ceria. Wajah marah kepada majikan hanya boleh ditunjukkan jika sudah siap untuk dipecat. Kalau belum ada tempat kerja lain, sebaiknya jangan. Dan lagi bagi Zero kalau saja tidak sudah lama kenal dengan bapaknya Mila, pasti Zero telah mengundurkan diri. Tapi Pak Azman sudah terlalu baik dengannya. Selama ini ia telah telalu banyak berkorban untuk menghidupi keluarganya.
“Jam 10 saja. Jam 5 saya ada seminar internsional di UI. Mas antar saya juga ya. Gak papa kan?” Pinta Mila sambil menghadiahkan senyum manisnya. Senyum manis yang telah dihiasi sedikit keriput diwajahnya. Walau sudah dibalut make up mahal, tapi hokum alam tak bisa disembunyikan. Senyum itu terlalu manis bagi Zero. Terlalu manis bila diukur dari derajat majikan tuk budaknya. Sudah dua tahun ia mengenal keluarga ini dan Pak Azman telah terlalu baik padanya.
“Mas bawa saja mobilnya, biar besok lebih cepat” Suruh Mila sambil melihat Zero mengelurkan satu per satu belanjaan yang baru saja mereka beli di Mall termewah di kota yang bermonumen tinggi tapi selalu direndam banjir itu.
“Ah gak usah, saya naik motor saja. Mudah-mudahan saya bisa tepat waktu besok”
“ya udah. Terserah kamu lah. Tapi jangan lupa ya. Ma kasih..” Mila meninggalkan Zero yang sibuk megepas-ngepas bagasi mobil itu. barang-barang belanjaan telah disambut oleh Pak Karim dan Mbok Ipah ke dalam. Zero kemudian membawa mobil ke dalam garasi. Karena tidak terlalu kotor dia tidak perlu mencuci, cukup dilap saja dengan bulu ayam tuk menghilangkan debu. Setelah meyakinkan bahwa mobil itu nyaman untuk dipakai kembali besok, ia menuju Suzuki butut yang ia parkir di teras belakang.
“Mboo…k, ni kunci mobil. Letakin di tempat biasa ya..” Pintanya ke Mbok Ipah. Dan wanita itupun berlari menghampiri Zero. “Lho..gak mampir lagi Mas? Apa gak minum kopi dulu…” Pinta wanita itu sesuai kebiasaan Zero. Biasanya dari bepergian mengantar sang majikan dia lewat garasi belakang dan minta buatkan segelas kopi hangat sebelum pulang kerumah menemui anak dan istri tercinta.
Kali ini ia ingin sekali cepat sampai dirumah. Ia ingin menemui istri tercinta yang tegeletak di tempat tidur. Istri yang menanti kehadirannya. Ya. sudah selama dua tahun terakhir istrinya hanya berada di kasur dan kursi roda. Semua harus dibantu. Dulu mereka satu kantor di perusahaan sawit bersekala nasional. Mereka pun menikah setelah berkenalan di perusahaan tersebut. Tepatnya, Ir. Nurazila, M.Sc, sang istri tercinta adalah atasannya sendiri. Seorang master di bidang perkebunan. Ia ahli penyakit tanaman. Istrinya pun lima tahun lebih tua dari dirinya. Zero beruntung walau hanya tamat SMU tapi dia memiliki performance yang bagus alias ganteng. Itulah pula mungkin yang menjadi alasan bagi Nurazila mau menikah dengan Zero walau dari sisi pendidikan, jabatan, dan kekayaan jauh berbeda. Tapi satu lagi, Zero adalah orang yang penuh perhatian dan pekerja keras. Setahun menikah, mereka langsung dikaruniai seorang anak perempuan cantik seperti ibunya. Keluarga itu berjalan begitu harmonis dan bahagia. Seorang istri memberi perhatian pada suami dan suami mampu mengayomi anggota keluarga. Suami yang mampu menjadi suami bagi istrinya. Ayah yang mampu berlaku seperti ayah bagi anaknya. Anak yang bisa berbudi dan berpekerti seperti anak. Tidak ada suami seperi istri, istri seperti suami, dan anak tidak tahu menjadi anak. “Mas, saya janji akan menjdi isteri Mas di rumah. Lupakan jabatan saya di kantor. Perlakukanlah aku sebagai istri. Yakinlah, hari ini saya sanggup berhenti dari jabatan ini. Hari ini sanggup saya buang segala titel-titel yang menempel di namaku. Samua itu terasa tak berarti Mas, ketika semua itu menghukum jiwaku untuk berbuat bahkan untuk mencintai” Kata-kata itulah yang menguatkan Zero tuk menikahi gadis itu.
Benar! Zila menepati janjinya. Zero menemukan surga dunia. Ia mendapatkan ‘rumahku surgaku’. Zero benar-benar menyadari bahwa ternyata untuk membangun sebuah kelurga sakinah tidak harus memenuhi standar pendidikan yang tinggi. Zero mengingat-ngingat apa yang pernah dia baca “mampu memahami bahwa kita (lelaki dan peremuan) adalah berbeda, itu sudah cukup sebagai syarat untuk membangun hubungan yang baik. Kita berbeda, jadi jangan dipaksakan untuk sama. Jangan samakan tapi pahami perbedaan..” Kata-kata John Gray yang tidak sama persis seperti yang ditulis oleh John Gray dalam bukunya.
Namun kebahagiaan itu mengalami goncangan yang hebat setelah mobil yang mereka kendarai sepulang kerja menabrak truk tanki pengangkut bahan bakar. Syukur mereka tidak ikut terbakar bersama mobil mereka dan truk tangki tersebut. Namun kecelakaan itu telah membuat perubahan yang besar. Nurazila sang istri mengalami luka berat, kedua kakinya harus di amputasi, tangannya sebelah kanan juga harus direlakan untuk dipotong. Sebahagian wajahnya hangus terbakar. Kecantikannya hilang seketika. Ia pun dipaksa mengundurkan diri dari perusahaannya. Jabatan hilang, pekerjaan melayang. Zero pun dipecat karena sering bolos tuk menguru istrinya. Mereka kehilangan semuanya. Harta terjaual untuk perobatan. Jadilah ia kemudian sopir pribadi mantan bosnya Pak Azman. Dia tidak bekerja untuk perusahaan lagi, tapi untuk pribadi Pak Azman. Tapi cinta Zero adalah cinta atas nama cinta, bukan atas nama yang lainnya. Ia tidak luntur bersama potongan kaki istrinya, atau bersama asap yang membakar kecantikan diwajah pujaan hatinya. Cinta tak kan sanggup dibakar oleh api, dipotong oleh pisau, direndam oleh banjir, diterbangkan oleh badai. Cinta adalah adalah rasa yang mengakar di dalam sukma. “Kau adalah diriku, aku adalah hatimu, sayang” Begitu yang sering terucap kepada istrinya ketika ia membantu istrinya dalam banyak hal. Ia memandikan, menyuapin makan, mendorong kursi roda ke depan rumah, dll. Namun dalam kekuarangan itu mereka masih bisa tertawa dan bercanda. “seharusnya cinta tak diabaikan hanya kerena ketidak sempurnaan. Itulah inti komitment. Bertahan saat-saat sulit dan menunggu saat-saat baik muncul bersama. Sekali lagi bersama” Ia benar-benar memegang perinsip ini.
== 2 ==
“Kita kemana?”
“Jalan Sudirman”
“Lho..bukannya Boutique Annisa di….?”
“Kita makan siang dulu. Ada yang harus aku bicarakan”
Sesuai perintah, Zero tentu tidak bisa membantah. Dia tinggal menimbang-nimbang jalan mana yang bisa dilewati agar tidak terjebak macet. Kalu pun harus macet, paling tidak tidak ber jam-jam.
“Sudah di restoran depan saja, nampaknya lebih nyaman” tiba-tiba Zila meminta Zero untuk berhenti. Zero mulai bingung karena tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi dengan gadis anak bosnya ini. Gadis? Ya tentu dia masih gadis walau tidak lagi berumur bagaimana layaknya gadis. Tentu predikat gadis yang ia sandang saat ini hanya karena dia belum menikah. Jika seorang gadis biasanya dipanggil dek, atau mbak, tapi Zila 95 % orang telah memanggilnya Buk.
“Eh…Mas jangan di sana. Di sini saja satu meja dengan saya” Ucap Mila saat melihat Zero datang kemudian setelah memarkir mobil dan melihat-lihat meja kosong yang akan ia duduki. Pertama ia mengira bahwa Mila sudah ada janji dengan teman-temannya bertemu di restoran ini. Tapi…
“Mas, aku mohon kali ini Mas jangan marah ke aku. Mohon Mas. Kita diskusi saja” Mila memulai pembicaraan ketaka makanan dan minuman yang dipesan telah datang satu persatu. Mila mulai memasukkan satu persatu potongan buah segar yang ada dihadannya ke mulutnya.
“Emang apa salah saya? Kamu gak suka ma saya ya?”
“Bukan…, bukan itu yang saya maksud. Apa harus saya udalangi lagi pertanyaannya saya kemaren? Harus berapa kali lagi mas aku menanyakanya? Tidak kasiankah Mas dengan saya?”
“Mila… jika saya menjadi Pak Azman, saya pasti kecewa sekali. Sudah berapa banyak uang yang dihabiskan untuk menyekolahkan mu? Tapi kau tak berpikir dengan logika sesuai title mu. Mila.. apa kau lupa bahwa kau itu adalah seorang Doktor tamatan luar negri?”
“Tunggu Mas….” Dia menunduk diam. Nampak dia mengontrol emosinya untuk tidak menagis. Tapi, wanita adalah wanita yang selalu akrab dengan air mata.
“Mas…tahukah kau, dibalik title-titelku SE, MBA, DR ada penjara batin yang membelenggu…” Lagi-lagi Mila menghapus air matanya. Ia seakan tak sanggup melanjutkan kata-kata itu. Bagi Mila, membahas masah yang satu ini memang tidak semudah menyampaikan makalah “Mengapa Harga Minyak Duania Naik?” di hadapan forum internasional. Tidak semudah mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Tidak semudah ujian disertasinya yang berbahasa Inggris. Tidak semudah menjawab pertanyaan professor, Doktor yang menguji tesisnya. Tidak semudah menghapal angka-angka statistic. Ini lebih sulit dari segalanya. Ini masalah hati.
“Mas…mohon pahami aku, asal Mas tahu saja, untuk berbagi rasa dan sekedar curhat saja, orang-orang tidak mau mendengarkan saya. Gelar Doktor saya telah membuat jarak dari bathinku sendiri… telah memisahka aku dengan diriku sendiri”
Zero hanya diam dan sedikit persimpati kepada Mila. Kasian sekali. Dia tidak pernah tahu selama ini bahwa ternyata ada perkara serius dibalik kesuksesan kademik dan karirnya. Dia dulu hanya membayangkan bahwa jika perempuan memiliki title tinggi dia akan mudah mendapat jodoh. Tapi ternyata sebaliknya, semakin tinggi title seorang perempuan semakin susah mencari jodoh. Secara logika matematis mungkin benar. Jika seorang perempuan memiliki title S1 maka kemungkinan yang akan berani untuk menikahinya adalah peria bertitiel S1 dan S2. Masih besar peluang untuk dilamar. Karena di Indonesia masih banyak pria yang memiliki title S1. Jika perempuan bergelar S2, kemungkinan yang akan melamarnya adalah Doktor atau Professor. Peluang semakin sempit. Hitung berapa banyak Doktor di Indonesia? Nah sekarang jika seorang perempuan seperti Mila yang memiliki gelar Doktor? Siapa yang akan berani melamarnya? Paling tidak Doktor atau Professor. Ada berapa orang? Kesempatan itu sempit sekali tentunya.
Yang lebih mengerikan lagi kebanyakan para pria yang bergelar Doktor dan Professor adalah orang-orang pilihan yang cerdas dan biasanya memiliki jabatan di suatu institusi atau perusahaan. Secara materil, mereka mampu menghidupi keluarganya tanpa harus mendapat bantuan dari seorang istri. Jadi banyak sekali di antara mereka yang lebih memilih istri yang biasa-biasa saja. Artinya memilih istri yang bisa mengurusi anak di rumah agar mereka bisa tumbuh dengan kasih sayang ibunya. Ayahnya sudah jelas sibuk.
Jadi jika demikian adalah wajar akan kegelisahan Mila. Peria yang bertitel lebih rendah dari dirinya takut atau minder untuk menikahinya. Sementara peria yang bertitel tinggi lebih memilih istri yang biasa-biasa saja. Tidak yang sibuk di luar karena mengejar karir. Karena sudah dapat dipastikan jika ibu bapaknya sibuk dan jarang di rumah, maka anak-anak akan menjadi korban alias broken home. Untuk apa kesuksesan ibu bapaknya jika kemudian diikuti oleh kehancuran anak-anaknya. Sebuah pemikiran yang logis.
“Mila…” Zero lagi-lagi memberikan empati pada gadis itu. “Kau tahu persis siapa aku. Aku tidak perlu lagi menjelaskannya ke kamu siapa aku. Sekarang bayangkan apa perasaan istriku jika saya terima tawaran Mila…”
“Mas… saya sudah bicarakan ini dengan Mba Zila… dan..”
“Apa..? kau gila Mil..”
“Mbak Zila setuju jika mas mau menikahi saya..” Jawab Mila tak gentar
“Mila…! Itu tidak mungkin..! Tidak mungkin. Aku tidak akan..”
“Mas…saya paham. Tapi apakah kau tidak kasian terhadap kami? Oke bukan Mak Zila dan Aku, tapi Putri. Saya bersedia mengurusi Putri sampai kapan pun. Aku berjanji kita bisa hidup serumah berempat. Mas…”
“Mila…ini gila. Di mana kecerdasan mu? Di mana logikamu? Sekali lagi, apa makna Doktormu jika kau kalah menghadapi ini…?
“Mas…aku sadar, aku menapak di awan. Saya kira dulu, saya telah membubung tinggi dangan title-titel yang saya miliki. Tapi aku ternyata salah. Semakin aku terus menggapai awan, samakin aku sadar aku tak bisa birjalan di atasnya. Mega itu putih dan indah tuk dilihat Mas, tapi ternyata aku tak bisa berjalan di atasnya. Telah kucoba berjalan di atasnya, tapi aku jatuh. Semakin tinggi kuterbang menggapai awan semakin sakit kurasakan jatuhnya…”
Zero diam seribu bahasa. Dia bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di depan jendela restoran yang ada di sisi meja tempat mereka makan. Dia bingung. Satu sisi dia telah berjanji tidak akan ada orang lain tuk mengisi hatinya. Tak akan ada setelah Zila. Tapi, Mila benar juga, Putri membutuhkan seorang ibu yang lengkap. Yang bisa mengajaknya jalan-jalan ke mall, mengajarinya PR, yang tidak hanya bergelut dengan kursi roda. “Putri, Ayah sayang Putri… tapi ayah juga tidak mampu menduakan ibumu? Putri…” Lirih dihatinya.
Di tengah gegalauan itu, Zero mengelurkan kuci mobil yang ada di sakunya dan kemudian diletakkannya di hadapan Mila. “Mila Maafkan aku… sampaikan salamku pada Pak Azman, ayahmu… saya minta maaf”
“Mas…..” Mila setengah beteriak tapi tak sanggup menghentikan langkah Zero menuju pintu keluar. Dia juga tidak mungkin mengejar atau berteriak lebih keras lagi karena restoran itu sudah dipenuhi pengunjung lain. Zero berlalu dengan sejuta tanda tanya…. (bhn)
Malaysia, 26 Juli 2008 (12:20)
Discussion about this post