Oleh: Bahren Nurdin, MA
Kita mengenal pribahasa ‘sediakan payung sebelum hujan’. Pribahasa ini tentunya memiliki nilai-nilai luhur yang memberi tuntunan dalam tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan. Ia mengajarkan anak negeri ini untuk waspada terhadap segala sesuatu yang akan terjadi. Bahasa lainnya mempersiapkan diri. Secara alamiah ‘seblum hujan’, alam akan mengirim tanda-tanda seperti langit yang gelap, mendung, angin yang berhembus kencang, petir dan kilat, dan lain-lain. Tanda-tanda inilah yang kemudian mengharuskan orang untuk mempersiapkan diri agar tidak basah kehujanan.
Tapi kini agaknya pribahasa ini sudah mulai diabaikan. Pada konteks penanganan banjir yang sedang tarjadi di beberapa daerah saat ini, masyarakat dan pemerintah baru ‘kalang kabut’ mempersiapkan diri setelah banjir menerpa. ‘Hujan’ sudah membasahi badan baru sibuk mencari ‘payung’. Korban sudah berjatuhan sana sini baru ‘rebut’. Selalu saja terlambat!
Jika kita amati, secara garis besar ada dua jenis banjir yang terjadi. Pertama, banjir luapan sungai. Banjir ini lebih dominan karena faktor alam dan musim. Ketika musim hujan berkepanjangan maka air sungai akan meluap hingga melewati tebing sungai dan masuk ke pemukiman warga. Banjir ini sering terjadi di daerah pedesaan yang berada di pinggir sungai (Daerah Aliran Sungai).
Dahulu kala, ketika ekosistem masih terjaga, terutama saat hutan masih belum dijarah dan dijajah, banjir luapan sungai masih jarang terjadi. Hutan-hutan yang lebat masih mampu ‘mengendalikan’ curah hujan yang akan mengalir ke sungai. Kini pohon-pohon sudah menghilang, hingga menyisakan tanah tandus nan gersang. Air hujan tak bisa dihadang hingga tidak jarang berubah menjadi banjir bandang nan garang. Masyarakat pun meradang. Jangan salahkan Tuhan, karena mungkin tangan kita sendiri yang menyumbang.
Kedua, banjir genangan. Ini sering terjadi di wilayah perkotaan. Akibat hujan deras yang mengguyur dan debit air tidak mampu diarili oleh drainase yang ada, maka terjadilah banjir. Banjir jenis ini bolehlah dikatakan seratus persen banjir buatan alias banjir dibuat sendiri. Banjir jenis ini tidak perlu menunggu musim hujan yang berkepanjangan. Cukup dengan durasi satu atau dua jam, banjir pun akan datang.
Dibuat sendiri dan dinikmati sendiri. Coba amati beberapa penyebabnya. Tuntutan kebutuhan masyarakat akan lahan membuat hilangnya daerah resapan. Semua lahan dibangun manjadi gedung-gedung atau perumahan-perumahan mewah. Rawa-rawa atau payau ditimbun, sungai dibendung, kanal dimatikan sehingga air hujan ‘kebingungan’ hendak mengalir ke mana. Semua sudah ditutup tembok dan aspal. Akhirnya ia memilih masuk rumah warga. Tanpa mengetuk pintu ia menyelinap dari dapur hingga kamar tidur. Jangan salahkan hujan karena ia nikmat dari Tuhan.
Lihat pula drainase yang tersedia. Ukurannya mungil terkadang tidak hadir sama sekali. Beberapa perumahan tidak memiliki aliran air sedikit pun. Belum lagi sampah yang melimpah ruah bertebaran di semua arah. Ketika hujan datang, sampah-sampah ini pun ‘demo’ ke sana ke mari. Sedikit saja celah pasti mereka manfaatkan untuk didiami. Maka berkumpullah bereka bersama air hujan yang menggenang; banjir.
Apa korelasi dengan pribahasa di atas? Pemerintah, masyarakat, dan kita semua baru sibuk mencari antisipasi banjir ketika banjur sudah melanda. Lebih miris, ketika banjir sudah memakan korban. Seyogyanya tidak demikian. Hulu persoalan banjir itu harus terus secara berkelanjutan diselesaikan.
Pendirian bangunan atau perumbahan harus benar-benar melalui kajian dampak lingkungan. Jika memang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan dikhawatirkan akan menimbulkan dampak pada perusakan alam, maka izin untuk mendirikan bangunan atau kawasan perumahan tidak diberikan. pengawasan oleh pihak-pihak terkait atas fasilitas bangunan seperti drainase dan fasilitas umum lainnya wajib dilakukan. Pengelolaan sampah tidak boleh diabaikan. Masyarakat bahu membahu membersihkan lingkungan tempat tinggal mereka.
Sekali lagi, kegiatan-kegiatan ini tidak dilakukan pada saat musim hujan tapi jauh sebelum musim itu datang. Dilakukan secara terus menerus tanpa henti.
Jika begitu, banjir yang sekarang kita nikmati itu adalah hasil buatan kita sendiri. Ternyata kita bisa mendesain sendiri mau seperti apa banjir yang kita inginkan. Jika mau banjir yang lebih besar maka jangan berhenti menebang pohon, tutup semua daerah resapan, tidak perlu ada drainase, buang sampai di mana suka termasuk ke dalam sungai, dan seterusnya. Atau sebaliknya, jika kita tidak ingin didatangi air di dalam kamar tidur, maka harus diusir jauh sebelum ia datang. Alirkan ia pada tempatnya dengan pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan penuh kesadaran.
Akhirnya, ternyata kitalah designer banjir itu. Banjir itu kita buat sendiri sesuai keinginan; mau besar atau kecil. Berdiskusi dan menyelesaikan masalah banjir itu seharunya jauh sebelum banjir itu datang dan secara terus menerus. Sudah seharusnya pula kita merubah pola pikir kita semua untuk tidak membicarakan banjir pada saat banjir!
Discussion about this post