Oleh: Bahren Nurdin, MA
Apa itu toleransi? KBBI memberikan definisi sebagai hal yang ‘bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri’.
Pada saat kita ketemu satu sama lain di tengah masyarakat, saya yakin kita mampu memupuk dan membina toleransi dalam berbagai konteks. Namun saat ini, banyak kita rasakan nilai-nilai toleransi itu seakan terkoyak di dunia maya. Kata dan kalimat yang terucap melalui media sosial tidak lagi ada ‘tedeng aling-aling’. Tidak lagi ada saling menghargai. Main hantam kromo!
Banyak pula yang lupa bahwa dunia maya adalah juga ‘dunia’. Di dunia itu hidup orang-orang yang menghimpun diri dalam sebuah kesamaan pengguna internet atau yang lebih dikenal dengan ‘netizen’ (warga negara internet). Memperhatikan pola komunikasi yang terjadi akhir-akhir ini, banyak warga negara net yang abai akan nilai rasa dan perasaan antar sesama. Nilai-nilai toleransi mulai dikikis sedemikian rupa.
Seolah-olah, jika di dunia maya orang boleh mencaci siapa saja, mengeluarkan kata-kata kotor, menghina, bahkan melakukan pembunuhan karakter, dan lain sebagainya. Ada anggapan yang dibangun ‘kan dak kelihatan juga’. Hanya gara-gara tidak berkomunikasi langsung satu sama lain, lantas orang boleh saling ‘serang’. Salah!
Maka dari itu, hal pertama yang harus sama-sama ditanamkan kepada warga negara net adalah bahwa mereka tidak hidup di ruang hampa yang bebas nilai. Bagaimana pun, kata-kata yang tertulis akan memberikan dampak nyata pada orang lain. Dengan kesadaran ini akan menimbulkan ‘ewuh-pakewuh’ antar sesame warga negara net.
Memang harus disadari pula bahwa warga negara net yang ‘berasal’ dari planet bumi bernama Indonesia adalah mereka yang memiliki berjuta keragaman. Perbedaan-demi perbedaan membentang satu sama lain. Perbedaan itu kemudian ‘dipaksa’ berhimpun dalam ‘kewarganegaraan’ internet. Jadi wajar saja jika banyak ketidaksamaan dalam menjalin komunikasi.
Namun demikian, ketidaksamaan ini harus disikapi dengan bijak sehingga terbangun nilai-nilai toleransi. Toleransi tentunya bukan hanya persoalan agama dan kepercayaan, tapi juga hal-hal lain dalam berkehidupan di tengah masyarakat (termasuk masyarakat maya).
Untuk menyikapi perbedaan-demi perbedaan itu, warga negara net juga harus cerdas dan dewasa. Cerdas dalam arti bahwa mereka tidak boleh mencerna mentah-mentah apa yang ada di dunia maya baik kata mapun foto dan video. Cerdas yang juga memiliki daya kritis terhadap sesuatu yang terjadi di dunia maya. Warga negara yang cerdas tidak akan mudah terpropokasi dengan hal-hal yang tidak jelas keuntungannya (hoax). Mereka akan melakukan ‘usul-paeso’ terhadap suatu sumber kebenaran.
Hal yang dapat dilikukan untuk menghadapi ini adalah dengan menata hati. Jangan sampai komunikasi di dunia maya persis seperti bensin dan api. Begitu dipancing sedikit saja langsung nyambar dan menjadi biang perpecahan. Harus diingat pula bahwa apa yang tertulis dan terbaca, belum tentu sepenuhnya dapat dipahami separti yang ingin disampaikan oleh Sang Penulis. Dunia tulis-baca masih memerlukan ‘terjemahan’ terhadap kata-kata yang ada.
Apa yang sering terjadi adalah banyak masyarakat netizen yang salah paham dalam memaknai kata-kata atau kalimat, bahkan foto-foto yang ditampilkan sehingga kemudian memicu permusuhan dan pertentangan. Maka mereka juga harus menata hati untuk tidak cepat emosi dan spaning terhadap sesuatu yang terjadi di dunia maya tersebut. Harus mampu menahan diri agar tidak menyesal kemudian hari.
Akhirnya, sangat dibutuhkan nilai-nilai toleransi antar sesama penduduk dunia maya agar tidak terjadi kesalahpahaman satu sama lain. Dampaknya tentunya bukan hanya di dunia maya tapi juga dunia nyata. Kata dan kalimat yang tidak baik yang intoleran akan menimbulkan ‘perperangan’ di dunia nyata. Saatnya memupuk toleransi agar pohon persatuan dan kesatuan bangsa semakin subur dan kokoh! #BNODOC24231082017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post