Membangun mental pemenang. Itulah tugas besar bapak dan ibu guru juga dosen saat ini. Zaman sudah jauh berubah dibandingkan dengan apa yang terjadi puluhan tahun silam. Tidak dapat dipungkiri anak-anak hari ini menghadapi situasi-situasi yang jauh lebih berat dibanding dengan zaman dan masanya Bapak dan Ibu guru sewaktu masih di bangku sekolah. Hari ini, generasi muda kita dihadapkan tantangan yang lebih besar. Dunia semakin tanpa batas (borderless). Kemajuan teknologi dan informasi tidak dapat dibendung dengan membawa segala dampak positif dan negatifnya. Persoalan penyalahgunaan narkotika, seks bebas, pembunuhan, perampokan, dan lain sebagainya selalu menghantui kehidupan mereka hari ini. Mental mereka benar-benar ‘diserang’ habis-habisan.
Sementara itu, penelitian di Harvard University menemukan bahwa keberhasilan kerja 85% ditentukan oleh mental, dan hanya 15% ditentukan oleh kepandaian dan pengetahuan. Maka pembangunan mental anak-anak didik kita seharusnyalah menjadi perhatian lebih.
Diberbagai kesempatan seminar dan pelatihan, saya sering sekali menemukan keluhan-keluhan penyakit mental para peserta didik. Predikat utama yang sering muncul adalah kata malas. Malas menjadi momok tersendiri sehingga muncullah sikap malas-malasan. Jika sikap ini terus bercokol pada sikap mental anak didik kita maka ia akan menjadi ‘kanker’ ganas pembunuh segala kreatifitas yang mereka miliki. Saya selalu menegaskan bahwa ‘sukses itu bukan bakat, tapi tekad’. Artinya kerja keras! Tidak ada yang dapat dicapai dengan malas-malasan atau tanpa kerja keras.
Mental kerja keras tidak terbentuk pada anak-anak kita saat ini yang disebabkan berkembang biaknya rasa malas dalam diri mereka. Sementara itu, hilangnya jiwa pekerja keras dan nilai juang yang tinggi dari dalam diri, akan menyuburkan penyakit-penyakit lain seperti negative thinking, tidak disiplin, emosional, mudah tersinggung, mudah mengeluh, bimbang dan ragu, pesimis, takut perubahan, takut tantangan, dan lain-lain.
Penyakit-penyakit ini seyogyanya tidak boleh berkembang biak di dalam diri anak didik kita. Di hadapan kita globalisasi menganga lebar dengan segala konsekuensinya. Pilihannya sedikit sekali; pemenang atau pecundang!
Saya selalu memberikan sebuah analogi sederhana. Tahukah anda pedang terbuat dari apa? Betul. Pedang yang bagus itu terbuat dari sepotong besi. Tapi persoalannya, besi yang bagaimana yang bisa kemudian jadi pedang berharga tersebut? Jawabannya adalah besi yang merelakan dirinya untuk ditempa, dibakar, digerinda, dipukul, dirajam, dan ‘penyiksaan-penyiksaan’ lainnya yang dilakukan oleh si pembuat pedang. Andailah besi tersebut menolak untuk ‘disiksa’ maka ia akan berakhir sebagai sepotong besi tua tanpa harga.
Analogi inilah kemudian yang selalu saya pasangkan kepada para peserta didik kita diberbagai kesempatan. Orang-orang sukses di muka bumi ini adalah orang-orang yang berani melewati berbagai ‘penyiksaan’ kehidupan. Tidak ada kata malas, mengeluh, dan menyerah. Sesakit apa pun harus dilewati karena memang itulah ‘sunatullah’nya. Mau sukeses? Beranilah sakit!
Kepada para pengajar baik di sekolah mau pun di kampus seyogyanyalah memperhatikan hal ini untuk menanam dan memupuk mental pemenang bagi anak didiknya. Kita tidak hanya ditakdirkan untuk mengajar mereka (to transfer the knowledge) tapi jauh dari itu adalah untuk mendidik (to educate). Ini bukan hanya persoalan otak tapi mental. Ke depannya kita membutuhkan para pemenang-pemenang yang tidak larut dalam kehidupan yang serba instan. Yakinlah tidak ada sukses yang sesungguhnya dengan cara instan. Sesuatu yang datang dengan cepat, ia juga akan pergi dengan cepat. Mental pemenang itu teruji oleh waktu dan keadaan.
Lantas, mental yang bagaimana kemudian yang harus ditanamkan kepada anak didik kita? Selain memiliki mental pekerja keras dan tidak tunduk pada rasa malas, para pemenang kita hari ini juga harus ditanamkan kejujuran. Pemenang sejati adalah orang-orang yang menempatkan kejujuran menjadi prioritas dalam hidup mereka. Lihat saja, bagi mereka yang mendapatkan sesuatu dengan mengabaikan kejujuran akan berakhir dengan kehancuran.
Kejujuran menjadi sikap yang sangat langka hari ini. Mencari orang pintar mudah, tapi mencari orang jujur susah. Fameo semacam ini agaknya memang terjadi di tengah masyarakat, dan tidak menutup kemungkinan mental ini telah menjadi penyakit akut di dalam diri anak didik kita. Tantangan besar buat para pendidik untuk menanamkan kejujuran. Tentu, sikap ini diperlukan keteladanan. Tidak mungkin kejujuran ditanamkan oleh bapak dan ibu guru dan dosen yang mereka sendiri tidak jujur.
Kejujuran inilah kemudian akan membangun mental-mental positif lainnya seperti integritas, kesetiaan, keadilan, tanggung jawab, saling hormat, dan lain sebagainya. Nilai-nilai positif ini menjadi sangat penting sebagai bahan bakar utama untuk menggapai kemenangan atau menjadi pemenang.
Akhirnya, saat ini orientasi guru dan dosen seharusnya tidak lagi berorientasi pada pengembangan kemampuan akademis semata, tapi mempersiapkan mental mereka juga jauh lebih penting. Apa pun dan seberat apa pun tantangan zaman di depan, akan bisa dihadang dengan sikap mental yang ‘membaja’. Namun semua itu harus dilakukan dengan satu kata kunci; keteladanan. Jadilah pemenang untuk menciptakan pemenang baru. Semoga.
Discussion about this post