Tidak lama lagi, tepatnya di bulan April 2013 mendatang akan tiba masa stress nasional bagi banyak kalangan, dari siswa, guru, sampai orang tua murid untuk menghadapi Ujian Nasional (UN). UN merupakan ‘pengadilan’ hidup mati bagi siswa menentukan masa depan mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, dari Sekolah Dasar (SD) ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), dari SMP ke Sekolah Menengah Atas (SMA), dari SMA ke perguruan tinggi. Jika tidak lulus UN maka terhentilah langkah di salah satu tingkatan tersebut. Pertaruhan inilah kemudian yang menciptakan stress nasional tingkat tinggi bahkan ada siswa yang sampai bunuh diri. Alhasil UN telah menjadi momok yang menakutkan.
Belum lagi cerita tentang kecurangan UN dari tahun ke tahun terus meningkat. Kecurangan yang dilakukan oleh berbagai pihak dari guru hingga siswa. Ada pula yang mencari keuntungan dengan ‘berdagang’ bocoran kunci jawaban. Ada yang menjadi joki, dan lain sebagainya. Jika begitu dapat kita simpulkan bahwa UN selama ini telah banyak menimbulkan kehancuran pada system pendidikan kita. Maka dari itu, sudah saatnya kita mencari format yang paling tepat dan manusiawi untuk menentukan standar nasional pendidikan di negeri ini.
Secara berpikir sederhana saja UN telah menyalahi logika akal sehat. Di sekolah diajarkan begitu banyak mata pelajaran tetapi yang menentukan kelulusan hanya empat mata pelajaran. Logikanya, jika yang hanya menentukan kelulusan itu hanya empat mata pelajaran itu saja, maka tidak perlu ada mata pelajaran lain di sekolah. Artinya, hanya empat mata pelajaran itu saja yang menjadi standar nasional mutu pendidikan kita. Jika baik yang empat mata pelajaran itu, maka baiklah anak bangsa ini. Benarkah demikian? Jika tidak, berarti ada yang salah.
UN harus dikembalikan kepada fungsi utamanya yaitu sebagai salah saatu media untuk melihat standar mutu pendidikan secara nasioanal. Maka harus digarisbahwahi UN TIDAK menentukan LULUS atau TIDAK LULUS tetapi sudah mencapai STANDAR atau belum. Ini dua hal yang sangat berbeda. Jika hasil UN adalah lulus tidak lulus maka sesungguhnya bukan untuk menentukan nilai standar mutu pendidikan nasional tetapi memaksa pencapaian nilai tertentu bagi peserta didik. Ini yang tidak pas karena sarana dan pra sarana juga kwalitas guru di daerah masih jauh dari standar. Di beberapa daerah terpencil misalnya, jangankan komputer dan bahan ajar yang up to date, ruang kelas saja berlantai tanah beratap langit. Sungguh tidak adil, hasil mau disamakan, proses tidak diperhatikan. Lagi-lagi proses berpikir yang tidak logis.
Maka. sudah saatnya menjadikan UN hanya sebagai nilai acuan standar bukan penentu hidup mati lulus atau tidak lulus. Artinya, UN tetap dilaksanakan tetapi dia tidak lagi menjadi ‘pedang’ pembasmi masa depan anak-anak muda bangsa ini. Hasil UN hanya dijadikan acuan standarisasi bagi sekolah dan siswa. Jika suatu sekolah banyak siswanya yang tidak mencapai nilai UN maka sekolah tersebut akan mendapat binaan dari pemerintah (diknas). Secara alamiah pun sekolah tersebut akan mendapat ‘hukuman’ dari masyarakat yaitu tidak banyak orang tua yang mau menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Bagi siswa yang tidak mencapai nilai standar UN maka ia kemungkinan besar tidak bisa masuk sekolah atau universitas favorit yang diinginkan. Tinggal lagi sekolah atau universitas yang menentukan calon-calon siswa atau mahasiswanya. Mau menerima yang tidak mencapai nilai standar UN atau tidak.
Dengan cara ini para siswa tidak perlu stress untuk menghadapi UN. Tidak perlu ada komplotan kejahatan antara guru dan siswa dalam mengerjakan soal. Tidak perlu ada pedagang kunci jawaban. Karena nilai UN bukan hidup mati.
Sebagai pemerhati pendidikan dan sosial, saya menlihat UN selama ini benar-benar telah banyak mendatangkan kehancuran mental dan moral para pendidik dan peserta didik kita. Para pendidik, dari kepala sekolah hingga guru melakukan berbagai kecurangan demi mencapai tingkat kelulusan yang tinggi bagi anak didiknya. Banyak guru yang mengerjakan soal demi membantu siswa mereka. Yang penting lulus tanpa mempedulikan bagaimana caranya. Ini pendidikan yang sangat tidak sehat terhadap anak bangsa. UN telah mengajarkan kita untuk melegalkan kecurangan. Apa jadinya jika guru telah berkomplot dengan siswa untuk melakukan kecurangan.
Jauh dari itu, kita harus ingat bahwa nasip dan masa depan anak bangsa ini tidak boleh dihentikan oleh mahluk yang bernama UN. Banyak kasus kita temukan beberapa tahun terakhir, anak-anak berprestasi di sekolah tidak lulus UN hanya karena pada saat UN yang bersangkutan sedang sakit atau sedang ditimpa musibah. Atau tidak lulus UN hanya terjadi kesalahan teknis seperti pengisian lembar jawaban yang kurang teliti atau kurang tebal saat mengisi bulatan pada lembar jawaban. Hal-hal seperti ini semestinya tidak boleh menghancurkan masa depan anak didik kita. Sungguh sangat kejam jika hanya gara-gara UN tidak lulus mereka tidak bisa melanjutkan pendidikan, tidak bisa melanjutkan proses pencaian impian mereka. UN kemudian menciptakan anak-anak putus sekolah. Kekejaman ini harus dihentikan!
Menjadikan nilai UN sebagai penentu tunggal mutu anak bangsa ini juga merupakan hal yang sangat naïf. Untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat bukan dengan nilai-nilai angka di atas kertas tetapi kita sedang membutuhkan nilai-nilai non angka yaitu moral, mental dan spiritual. Angka-angka hasil ujian tidak menjamin terciptanya anak bangsa yang berkwalitas. Kwalitas tidak ditentukan oleh angka tapi value (nilai-nilai). Angka-angka hasil ujian hanya menciptakan anak bangsa yang pintar tapi bagai robot yang gersang nilai-nilai. Maka jangan salahkan jika suatu saat kita melihat di negeri ini banyak orang pintar tapi tidak bermoral. Orang pintar yang koruptif, menghalalkan segala cara untuk mencai tujuan, mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, diperbudak hawa nafsu, dan lain sebagainya.
Akhirnya, UN harus diformat ulang. UN jangan dijadikan pedang pembasmi masa depan anak bangsa. Nilai UN hanya dijadikan angka standarisasi bukan penentu LULUS atau TIDAK LULUS. Semoga para pembuat kebijakan menyadari hal ini, bahwa UN telah melakukan banyak kehancuran terhadap bangunan moral dan mental anak bangsa. semoga.
Note: tulisan ini telah dimuat di Opini harian pagi Jambi ekspress (JPNN) tanggal 12 April 2013
sumber foto: tempo.co
Discussion about this post