Oleh: Bahren Nurdin, MA
Beberapa waktu lalu, seorang teman yang juga berprofesi sebagai dosen ‘menyentil’ saya di media sosial. Dengan lantang Sang Dosen menegaskan bahwa tulisan saya baru kelas lokal, ecek-ecek dan tidak berkualitas.
Apakah saya marah? Tentu tidak, karena apa yang disampaikan itu adalah sebuah kebenaran. Ibu dosen itu benar. Apa lagi yang dijadikan pembanding adalah Goenawan Mohamad, Umar Kayam, Dahlan Iskan, dan lain-lain.
Disandingkan dengan kualitas tulisan dan ilmu mereka tentu apa yang saya miliki belum sebesar biji zarahnya. Masih sangat jauh. Jadi wajar saja jika dosen tersebut mengatakan tulisan saya ecek-ecek. Saya berterima kasih karena itu motivasi bagi saya untuk terus memperbaiki kualitas tulisan yang saya hasilkan.
Hal ini saya ungkapkan melalui artikel ini untuk memotivasi adek-adek mahasiswa dan kawan-kawan yang selalu ‘curhat’ akan banyaknya ‘serangan’ kepada mereka yang baru saja belajar merangkai kata mencari makna. Ada bebeberapa yang memiliki semangat membaja sehingga apa pun bentuk serangan itu dapat dihalau dengan baik. Namun tidak jarang pula, sebagian dari mereka terpukul mundur yang berakhir dengan ‘mematikan laptop’.
Sedikit bercerita, saya menyukai dunia tulis menulis itu sejak di Sekolah Menengah Atas (SMA). Pernah beberapa kali ikut lomba penulisan karya ilmiah, tapi tidak pernah menang. Jujur saja, saya tidak terlalu suka dengan ‘pakem-pakem’ kepenulisan. Saya hanya ingin mengembara dengan gaya dan cara saya sendiri. Saya ingin bebas mencurahkan ekspresi yang saya miliki.
Ya, memang demikianlah adanya. Saya sepakat dengan Mas Arif, “seorang penulis, haruslah otonom, bebas, dan merdeka. Ketika seseorang menulis, maka ia harus menentang ide sebebas-bebasnya tanpa dikendalikan oleh kekuatan lain di luar dirinya” (M. Arif Hakim. 2005).
Beberapa kali saya dipesankan oleh tokoh-tokoh politik atau orang-orang tertentu untuk menuliskan sesuatu dengan maksud sesuatu alias tulisan ‘pesanan’. Saya tolak. Banyak pula yang mengira ketika saya menulis sesuatu yang sedikit ‘keras’ (biasanya keritikan) karena saya suka dan tidak suka dengan seseorang. Salah besar.
Sampai detik ini, saya tidak pernah menulis karena ‘dorongan dari luar diri saya’. Saya bertanggung jawab dengan apa yang saya tulis karena tulisan saya adalah ‘rentang ide sebebas-bebasnya tanpa dikendalikan oleh kekuatan lain di luar diri saya’. Tulisan kemudian saya jadikan ‘wisata’ ide dan gagasan. Saat menulislah saya menemukan betapa kayanya kata dan luasnya makna. Saya mengembara ke dunia bebas dimana diri saya pun tak kan sanggup menapaknya.
Maka dari itu, perlu saya ingatkan kepada kawan-kawan yang baru saja ‘buka laptop’ untuk menulis. Tulis saja. Sekali lagi, tulis saja dan jangan hiraukan apa pun kata meraka. Menulis adalah salah satu cara untuk memerdekakan diri. Merdekakan diri dan pikiran dengan mengemukakan ide-ide dan gagasan. Percuma anda menulis, jika ternyata anda masih ‘terjajah’.
Jangan pula pedulikan apakah mereka suka atau tidak suka dengan tulisan anda. Janganlah menulis untuk membuat orang lain suka. Jika itu yang terjadi, anda akan sangat kecewa jika ada diantara mereka yang tidak suka. Mereka suka atau tidak suka, dibaca atau diabaikan, disimpan atau dibuang, jangan hiraukan. Tugas anda hanya menulis. Titik.
Akhirnya, menulis adalah cara ‘hebat’ untuk menjadikan diri merdeka dan otonom. Melalui tulisan kita bisa mengekspresikan ide dan gagasan sebebas-bebasnya secara bertanggungjawab dan bermartabat. Jangan pusingkan apa kata mereka. Jika anda masih terganggu dengan penilaian orang (pujian atau cacian) berarti anda belum merdeka. Merdeka! #BNODOC27028092017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post