Mungkinkah muncul calon perseorangan (independent) pada Pilkada mendatang? Secara umum tentu peluang itu ada karena sistem demokrasi kita memang menjamin setiap warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Syarat yang ditetapkan oleh undang-undang pun tidak begitu sulit. Cukup mengumpulkan sejumlah foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai bukti dukungan. Jumlah dan prosentasenya pun sudah ditetapkan . Ada peluang!
Namun, persoalannya tidak hanya masalah peluang untuk mengikuti atau menjadi peserta, tapi juga harus membaca peluang untuk memenangkan kompetisi tersebut. Pada titik ini memang harus dikaji secara baik agar tidak asal maju, khususnya jalur perseorangan.
Berbeda dengan jalur partai politik (parpol), jalur perseorangan itu boleh dikatakan ‘single fighter’ alias petarung sendiri. Jika melalui jalur parpol, para calon memiliki mesin politik untuk memperoleh dukungan masyarakat. Masing-masing parpol telah memiliki kader dan simpatisan yang dapat dimanfaatkan untuk mendulang suara. Namun, pada jalur perseorangan mesin ini tidak ada. Satu-satunya kendaraan yang dimiliki adalah masyarakat.
Jadilah jalur perseorangan sebuah peluang sekaligus tantangan. Peluang, karena beberapa daerah berhasil memenangkan pertarungan dengan jalur perseorangan. Artinya, ada contoh kemenangan dengan jalur ini. Pada Pilkada serentak tahun 2015 misalnya, tercatat beberapa kepala daerah yang memenangkan pertarungan melalui jalur perseorangan seperti di Kota Bukittinggi (Sumbar), Kabupaten Rembang, Wali Kota Bontang, dan lain-lain.
Yang kalah juga tidak sedikit. Terbaru pada Pilkada serantak 2017 lalu, di Kabupaten Ma. Jambi terdapat satu pasang calon perseorangan yang mendapat suara minim. Itulah tantangannya.
Namun demikian, walaupun prosentasenya tidak besar, tapi peluang kemenangan selalu terbuka.
Lantas apa sebenarnya faktor dominan kemenangan jalur ini? Faktor utamanya adalah ketokohan atau populeritas calon di tengah masyarakat. Artinya, peserta pemilu yang memilih jalur ini harus memiliki percaya diri yang tinggi bahwa dirinya cukup dikenal di tengah masyarakat. Dan, tidak hanya dikenal tetapi juga memiliki reputasi dan prestasi.
Maka, politik pencitraan tidak akan berkontribusi banyak terhadap perolehan suara. Tokoh ini tidak boleh hanya ‘didup’ di baliho-baliho, spanduk, atau iklan media masa. Dia memang harus ‘hidup’ di tengah masyarakat secara nyata. Perbuatan-perbuatannya bukan polesan atau by design yang disengaja. Bahkan, biasanya tokoh ini tidak terlalu berambisi untuk maju menjadi kepala daerah (kada). Dia maju karena memang berangkat dari keinginan masyarakat atas dirinya.
Pertanyaan untuk Pilkada mendatang, adakah toko-tokoh seperti ini? Saya belum melihat ada tokoh-tokoh yang memiliki figuritas yang kuat untuk muncul sebagai calon perseorangan. Nama-nama yang mencuat ke tengah masyarakat saat ini sebagian besar adalah nama-nama yang penuh dengan manipulasi dan pencitraan.
Mereka baru muncul dan ‘berbuat’ di baliho-baliho yang menghiasi kota dan kabupaten. Tapi di dunia nyata mereka menghilang entah kemana. Buktinya, wajah dan nama mereka baru ada beberapa saat sebelum Pilkada ini. Selama ini di mana mereka? Apa yang telah mereka perbuat untuk masyarakat Jambi?
Sebagai bagian dari anggota masyarakat ‘milinial’, agaknya penduduk orang Jambi sudah ‘melek’ politik. Tokoh-tokoh politik yang hanya melakukan pencitraan akan ditinggalkan oleh masyarakat. Mereka sudah sangat cerdas untuk melihat mana tokoh yang benar-benar berbuat untuk masyarakat dan mana yang hanya mengejar kekuasaan.
Akhirnya, peluang untuk maju menjadi melalui jalur perseorangan pada Pilkada mendatang sungguh sangat terbuka dan dilindungi oleh undang-undang. Namun faktor dominan yang menjadi pertimbangan adalah ketokohan calon yang muncul. Politik pencitraan tidak akan berkontribusi terhadap perolehan suara jalur mandiri ini. Saya melihat, sampai saat ini Jambi belum memiliki figure ini. Menurut anda?
*Akademisi UIN STS dan Sekjen Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi [KPPD] RI.
Discussion about this post