Oleh: Bahren Nurdin, MA
“Bagaimana jika kotak kosong?”. Itulah salah satu pertanyaan kawan-kawan wartawan beberapa hari terakhir menanggapi perkembangan konstalasi politik di Kota Jambi. Pilwako Jambi memang telah banyak menyita perhatian publik walau pun sebenarnya Pilkada serentak 2018 nanti juga ada di Kabupaten Merangin dan Kerinci. Hal ini wajar karena Kota Jambi menjadi ibu kota Provinsi Jambi.
Jawaban pertanyaan ‘bagaimana jika’ tentunya masih berupa kemungkinan-kemungkinan. Bisa jadi ‘ya’ bisa jadi ‘tidak’. Namun demikian, pertanyaan ini tentu hasil dari ‘terawangan’ dinamika politik yang sedang berkembang. Terakhir, petahana Dr. Sy Fasha secara resmi merilis pasangannya yaitu dr. Maulana.
Dengan demikian, kini Petahana telah menunggu di atas ‘ring’. Namun di sisi lain, para penantang belum memunculkan diri. Tidak munculnya para ‘petarung’ lain ini tentunya juga beralasan. Jika dilihat perolehan kursi yang tersedia di DPRD Kota Jambi saat ini, lebih dari separo telah ‘diklaim’ memberikan dukungan kepada petahana. Tersisa hanya beberapa partai saja.
Berita terkini, saat ini pasangan Fasha dan Maulana paling tidak telah memperoleh dukungan dari partai Demokrat (8), Gerindra (5), Hanura (5), Golkar (4), PPP (4), PBB (1), PKPI (1), PKS (1). Jumlah kursi yang dihimpun adalah 29 kursi. Dan, kursi yang tersisa adalah PDIP (6), PAN (5), PKB (4) dan Nasdem (1). (Jambi Ekspres, 03/10/17).
Bagaimana kesempatan dari petahana Wakil Wali Kota Abdullah Sani? Abdullah Sani hanya mendaftar di PDIP dan PAN. Sementara dr. Malulana juga mendaftar di PAN. Artinya, PAN sangat menentukan nasib dari petahana Abdullah Sani. Jika, sekali lagi jika, PAN memutuskan untuk memberikan kursinya kepada dr. Maulana, maka kursi PDIP belum cukupi untuk Wak Dul mendapat tiket bertemu petahana di atas ‘ring’.
Kotak kosong? Tunggu dulu, masih ada jalur perseorangan yang saat ini sedang berjuang mengumpulkan dukungan dan memenuhi segala persyaratan yang ada. Paling tidak yang santer beredar pada jalur ini adalah pasangan H. Saman Abdul Latief dan Hendra Kurniawan. Tunggu saja!
Atau, masih memungkinkankah ada poros lain? Bisa jadi, karena partai-partai yang sekarang ‘diklaim’ mendukung ada juga yang masih dalam proses ‘timbang-timbang’. Kemunculan calon baru pun tidak menutup kemungkinan sampai batas waktu yang telah ditentukan.
Dengan kondisi ini, memang masih terlalu ‘pagi’ untuk mengatakan bahwa petahana Dr. Sy. Fasha dan dr. Maulana menjadi calon tunggal.
Tapi kita kembali pada pertanyaan awal tadi, ‘bagaimana jika’. Jika itu yang terjadi, paling tidak ada beberapa catatan yang dapat dipetik. Pertama, tidak otomatis menang. Walaupun maju melawan kotak kosong, bukan berarti bisa langsung melenggang menjadi pemenang pada pilwako mendatang. Ada sejumlah daerah yang kemudian kalah melawan kotak kosong.
Artinya, masyarakat masih memiliki kesempatan untuk menentukan pilihan hatinya. Ambil contoh yang terjadi di Pati. “Kabupaten Pati hanya mempunyai satu pasangan kandidat, yakni calon petahana Haryanto-Saiful Arifin (Harfin). Jadi mereka diharuskan melawan ‘kotak kosong’. Tapi, setelah penghitungan suara, calon petahana itu justru kalah,” tutur Tjahjo di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (www.tribunislam.com 16/2/2017).
Kedua, kampanye kotak kosong. Kotak kosong sesungguhnya juga merupakan wadah bagi masyarakat yang tidak menjatuhkan pilihan pada calon tunggal yang maju. Artinya, hak-hak mereka untuk memilih dan dipilih masih terakomodir dengan baik (demokratis). Begitu juga dengan mensosialisasikan atau mengkampanyekan kotak kosong. Boleh.
Namun demikian, dalam melakukan kampanye harus diingat pula untuk mengikuti aturan hukum yang berlaku. Jangan sampai mengkampanyekan kotak kosong dengan melakukan ‘black campaign’, ‘money politic’, dan hal-hal yang melanggar hukum lainnya. Para penyelenggara juga tidak memberikan fasilitas untuk melakukan kampanye ini seperti halnya pasangan calon yang maju.
Ketiga, jika kotak kosong menang. Seandainya setelah melewati beberapa tahapan sesuai aturan perundang-udangan dan pada ending-nya tetap kotak kosong yang dinyatakan menang, maka kepala pemerintahan akan diserahkan kepada penjabat (Pj) wali kota yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang sampai pada pemilihan serentak selanjutnya. Tentu, tanpa wakil. Siap?
Akhirnya, dalam percaturan dan dinamika politik semua kemungkinan bisa terjadi dalam hitungan detik. Namun apa pun yang terjadi tentu harus diarahkan kepada kepentingan rakyat. Tentu rakyat menginginkan yang terbaik sehingga dapat mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Pilkada hanyalah cara dan fasilitas untuk memperoleh pemimpin yang diharapkan. Semoga. #BNODOC27705102017
*Akademisi UIN STS dan Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi [KOPIPEDE] Provinsi Jambi.
Discussion about this post