UMMAT Islam di seluruh penjuru dunia saban tahun merayakan hari raya ‘Idul Adha dengan melakukan penyembelihan hewan qurban. Secara historis, penyembelihan ini merupakan implementasi peristiwa yang terjadi atas dari Nabi Ibrahim as dan anaknya Nabi Ismail as.
Suatu ketika, ribuan tahun lalu, Allah menguji iman mereka berdua dengan sesuatu yang amat sangat berat. Seorang ayah diminta menyembelih leher anak kandung kesayangannya sendiri. Dengan tangannya sendiri. Ujian yang ‘nyaris’ di luar logika manusia.
Namun rupanya Allah memiliki ‘logika’ sendiri dalam menguji keimanan hambanya. Ketika nilai keimanan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as telah teruji sampai pada titik tertentu, maka Allah kemudian memberikan yang terbaik untuk mereka. Leher Ismail as yang sudah berhadapan dengan mata pedang ayah kandungnya diganti dengan leher hewan qurban yang lebih pantas. Allah katakan dalam Al-Quran Surah As-Saffat 107 “Dan kami tebus dia yaitu Ismail dengan sesuatu sembelihan yang besar”.
Maka dengan demikian, leher Ismail as sesungguhnya hanya merupakan simbol yang memiliki nilai luar biasa yang Allah gunakan untuk menguji keimanan hamba-hambanya. Maka, ummat Islam harus pula mampu menggali nilai-nilai simbolik yang terdapat di balik leher dan darah qurban yang mengalir. Bukan darah yang mengalir atau daging hewan itu yang menjadi tujuan dari qurban, tapi sesungguhnya nilai-nilai (keimanan) yang terdapat di dalamnya.
Jika ditelaah lebih jauh, pesan apa yang ingin Allah sampaikan melalui leher Ismail as? Kita semua tahu, Ismail adalah anak yang sangat disayangi oleh Ibrahim. Secara duniawi, rasanya tidak ada yang lebih dicintai oleh Ibrahim as saat itu melebihi kecintaannya kepada putranya itu. Anak semata wayang yang sudah sekian lama didambakan. Anak yang akan dijadikan penerus garis keturunannya. Dan, Allah meminta Ibrahim as untuk memberikan apa yang ia sangat sayangi itu. Sungguh berat!
Maka kemudian dapat dipahami bahwa leher Ismail as adalah simbol yang Allah gunakan untuk menguji keimanan hamba-hambanya.
Beberapa pesan simbolik yang mungikin dapat kita petik melalui leher Ismail as.
Pertama, ‘menyembelih’ apa yang paling kita cintai. Leher Ismail itu secara simbolik bentuknya saat ini bisa berupa harta kekayaan, jabatan, pangkat, anak, isteri, atau berupa sifat-sifat buruk seperti kesombingan, iri, dengki, congkak, kepongahan dan lain sebagainya. Bisa saja benda-benda ini adalah sesuatu yang paling kita cintai. Saking cintanya, kadang ada orang yang rela melanggar aturan Allah untuk mendapatkannya. Demi jabatan dan harta kekayaan misalnya, orang rela harus menjadi maling (baca; koruptor).
Maka, jika sudah terjebak dalam perangkap ‘duniawi ini’, tidak ada pilihan kecuali menjadi ‘Ibrahim’ yang mampu menghunus pedang untuk menyembelih ‘Ismail-Ismail’ itu. Diyakini seseorang tidak akan dapat melakukannya kecuali kecintaan kepada Allah lebih besar dari kecintaan terhadap ‘Ismail’ yang dimiliki.
Kedua, memberikan yang terbaik. Mengapa yang Allah minta adalah leher Ismail? Bukan yang lainnya. Kita yakini, Ibrahim as saat itu juga memiliki benda atau hal lain yang dapat diberikan kepada Allah sebagai bukti keimanannya. Tapi Allah maha mengetahui bahwa tidak ada yang lebih berharga melebihi Ismail anak kandungnya itu.
Ternyata dapat dimaknai bahwa jangan menyebut diri beriman kepada Allah jika belum bisa memberikan (mengorbankan) yang terbaik dari apa yang kita miliki untuk Allah.
Keimanan Ibrahim benar-benar diuji dengan mengorbankan apa yang terbaik yang ia miliki saat itu. Inilah hakikatnya ber-qurban. Seharusnya kita mulai melihat apa yang terbaik pada kita saat ini. Sudah sanggupkan kita berikan yang terbaik itu untuk Allah?
Akhirnya, boleh saja mudah bagi sebagian orang untuk menyembelih hewan ternak untuk berqurban. Tapi sudahkah kita benar-benar mampu menyembelih ‘Ismail-Ismail’ zaman now’ yang kita miliki saat ini untuk Allah?
Discussion about this post