Oleh: Bahren Nurdin, MA
Banyak diantara kita yang cenderung menyamakan. Paling tidak terus berusaha menyamakan keinginan kita terhadap orang lain. Masalahnya, keinginan kita tidak pernah benar-benar sama. Kalaupun ada, paling ‘dibuat’ sama, atau seolah-olah sama. Kembar siam sekali pun, pasti terdapat berbagai macam perbedaan dalam menjalani kehidupan mereka. Apalah lagi, kita hidup di tengah masyarakat luas.
Jika kita mencoba untuk menyamakan keinginan, seumur hidup kita pun akan mengalami kekecewaan demi kekecewaan. Jadi apa yang harus dilakukan? Solusi yang dapat ditawarkan adalah belajar memahami. Memahami bahwa kita memang terlahir berbeda. Tidak ada yang perlu disamakan, tapi lebih baik sama-sama memahami perbedaan demi perbedaan. Dengan pemahaman yang sama ini pula akan tercipta sinkronisasi atau adjusting hubungan antar manusia.
Artikel ini dikontribusikan untuk menanggapi khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam pelaksanaan ajaran agama di tengah masyarakat yang cenderung memicu perpecahan dan menyemai kebencian. Membicarakan khilafiyah tentu tidak akan habis-habisnya karena memang sudah demikian ‘sunatullahnya’. Jangankan zaman sekarang, pada zaman Nabi masih hidup pun perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan para sahabat pun sudah terjadi.
Saya tidak ingin terlalu jauh membahas khilafiyahnya, tapi saya lebih kepada bagaimana sikap mental menanggapi segala perbedaan tersebut. Suatu waktu, saya menghadiri prosesi pemakaman. Prosesinya sangat sederhana yaitu dengan meletakkan mayit di dalam kubur, ditimbun, berdoa, dan kemudian pulang. Ternyata prosesi seperti ini berbeda dengan apa yang masyarakat umum lakukan, seperti azan dan iqomah di dalam kubur, membaca talqin di atas kubur, dan lain sebagainya. Perbedaan ini kemudian membuat ‘kebisingan’ baik pada saat prosesi pemakaman maupun setelah pemakaman.
Pro dan kontra terjadi. Perbedaan ini nyaris menimbulkan perdebatan hebat antara satu kelompok dengan kelompok lain. Masing-masing memiliki argumentasi. Semua mengaku ummat Muhammad, semua menyebut diri mereka muslim, semua mengaku mengimani Al-Quran dan hadis Rosulullah. Semua sama, kecuali cara pandang mereka terhadap perbedaan. Mereka cenderung menyamakan apa yang sesungguhnya sudah mereka perbedakan (khilfiya).
Di sinilah letak makna memahami. Pahamilah bahwa jika anda memiliki keyakinan yang kuat atas apa yang anda anggap benar, maka orang lain juga demikian, bahkan boleh jadi lebih kuat dari apa yang anda yakini. Jika anda tidak mau mengubah apa yang sudah anda yakini (benar), maka orang lain juga demikian. Makah hal sederhana yang bisa dilakukan adalah mamahami apa yang anda yakini dan pilihlah.
Saya masih ingat beberapa tahun yang lalu ketika merebak munculnya beberapa aliran sesat. Saya mengadakan seminar yang berjudul “Sesatkah Aliran Sesat?”. Sebagai insan akademis, melalui seminar ini saya hanya ingin mengajak kawan-kawan mahasiswa dan kaum intelektual untuk berpikir kritis dalam menyikapi sesuatu dengan modal memahami. Saya katakan saat itu “jika anda tidak mencoba mempelajari dan memahami apa yang anda yakini sesat, jangan-jangan yang sesat itu adalah anda”.
Dengan pola pemahaman semacam ini, masyarakat akan terhindar dari ‘kelatahan’ yang cenderung melakukan pembenaran sendiri. Lebih parah lagi hanya sekedar ikut-ikutan (taqlid buta).
Akhirnya, akhir-akhir ini banyak sekali perbedaan-perbedaan pandangan di tengah masyarakat tentang banyak hal, dari urusan sehari-hari, politik, hingga masalah keagamaan. Perbedaan itu memang sudah terlahir jauh sebelum kita lahir. Jangan sekali-kali menyamakan perbedaan karena itu hanya akan menciptakan perpecahan dan kebencian. Apa yang bisa dilakukan adalah memahami, memilih dan menetapkan. Pahami apa yang anda yakini benar dan tetaplah pada pilihan itu tanpa harus mengganggu apa yang orang lain yakini.
#BNODOC14728052017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post